Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mereguk Inspirasi Menulis dari Lima Konten Terbaik di Kompasiana

20 Januari 2018   23:17 Diperbarui: 20 Januari 2018   23:26 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang tau nggak, yang membedakan antara zaman prasejarah dengan "zaman now"? Jawabnya pada tulisan. Zaman prasejarah ditandai dengan tidak adanya tulisan. Semua peristiwa yang penting yang terjadi pada waktu itu tidak diabadikan dengan tulisan sehingga tidak diketahui oleh generasi sesudahnya. Baru setelah ditemukan batu bertulis, peristiwa penting masa lalu akhirnya dapat diketahui dan manusia meninggalkan zaman prasejarah untuk memasuki zaman sejarah.

Penyataan di atas ikut membuktikan jika perkara tulis-menulis itu bukanlah perkara sepele.  Ia  bisa merubah dari satu zaman ke zaman lainnya, menembus ruang dan waktu karena dapat dibaca dan dipahami oleh orang yang berada di berbagai tempat pada waktu sekarang dan yang akan datang. Misal banyak kita jumpai buku-buku yang ditulis berabad-abad yang lalu yang masih dapat dibaca dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat "zaman now".  Seandainya saja tidak ada yang mau menulis, tentu kita akan tetap berada pada zaman prasejarah.

Pada dasarnya perkara tulis-menulis itu adalah hasil dari pemikiran manusia, yang di dalamnya ada mencatat, merekam, mengungkapkan, dan melaporkan "sesuatu" dengan cara tertentu agar pembacanya terangsang dan kemudian merespons. Sesuatu di sini bisa berupa peristiwa, pengalaman, opini, pengetahuan dan imajinasi , yang saya pikir akan sangat krusial bila dikaitkan  dengan "zaman now".

Betapa tidak, di "zaman now" kita hidup dalam abad bahasa yang menuntut kita untuk piawai mengekspresikan pikiran kita dalam bentuk tulis-menulis. Tanpa kepiawaian itu, kita akan menjadi sekedar "pengunyah" pikiran orang lain tanpa mampu meresponnya secara kritis dalam bentuk tulisan. Di sisi lain, kita juga akan dianggap sebagai "pemain pinggiran" di tengah perkembangan dahsyat inteletualisme global dewasa ini.

Tentu kita tak ingin hanya dianggap sebagai "pengunyah"  dan "pemain pinggiran kan"!

Banyak sudah bukti kepiawaian menulis di "zaman now" membuat penulisnya menjadi terkenal, kualitasnya meningkat tinggi dan mendatangkan rizeki ataupun pundi-pundi rupiah. Di samping itu juga dapat mengajarkan dan mencerdaskan masyarakat, dan bahkan bisa juga sekedar memuaskan diri dan menghilangkan stres karena sudah mengekspresikan gagasan. Seperti yang diutarakan oleh Kompasianer Indria Salim, bahwa manfaat kebiasaan menulis itu antara lain, mengurangi stres. Dia mengharapkan, dengan membiasakan diri menulis teratur, dapat "menyembuhkan" kebiasaan lain yang tampaknya menjadi penyakit umum, yaitu suka menunda pekerjaan.

Sebagaimana sudah dibuktikan, jika menulis tidak dapat dipisahkan dari aktivitas membaca dan berfikir. Ketiga-nya sangat berkaitan dan mempunyai hubungan timbal balik bagi yang melakukannya. Dengan membaca akan dapat menambah wawasan dan mengetahui informasi-informasi yang dibutuhkan. Dari situ  orang-orang yang memiliki passion menulis, akan berfikir jika wawasan dan informasi yang diperoleh dari hasil bacaan dapat dituliskan dalam berbagai macam bentuk tulisan seperti artikel  dan karya ilmiah yang berkualitas. Intinya makin terampil berfikir, makin bening jalan pikirannya, dan makin jelas pula dalam menulis.

Tampaknya ke tiga hal di atas disadari betul oleh Kompasianer Nahariyha Dewiwiddie, menurutnya, betapa membaca, menulis dan berfikir itu saling bersinergi dan berhubungan. Dia mengajak para penulis untuk memanfaatkan ketiga hal ini, karena terbukti dapat tercipta tulisan-tulisan yang lebih dahsyat.

Saya pikir agar tercipta tulisan-tulisan yang lebih dahsyat, seorang penulis juga memerlukan sejumlah potensi pendukung, karena kita tahu bahwa menulis itu adalah sebuah keterampilan. Sebagai keterampilan, sama seperti keterampilan yang lain, yang untuk mencapainya diperlukan kesungguhan, ketekunan, kemauan keras, harus belajar dan berlatih dengan sungguh-sungguh dan terus menerus dalam waktu yang cukup lama.

Hal ini dapat terjadi karena untuk mempersiapkan sebuah tulisan sejumlah komponen harus dikuasai, mulai dari hal-hal yang sederhana, seperti memilih kata, merakit kalimat, sampai ke hal-hal yang agak rumit, yaitu merakit paragraf.

Dalam mempersiapkan sebuah tulisan, saya sendiri menerapkan konsep ungkapan Jawa 3 N, yaitu Niteni, Nirokake,dan Nambahi, yang  berarti 'Memperhatikan, Mengingat-ingat, Menirukan dan Menambahkan'.

Memperhatikan dan mengingat-ingat adalah konsep atau tahap yang paling mudah, semua orang bisa melakukannya. Lalu bagaimana dengan meniru? Dalam menulis saya pikir meniru tidak harus malu, karena meniru di sini bukan berarti nyiplak atau plagiat kata demi kata atau kalimat demi kalimat. Yang kita tiru adalah pola pikirnya, cara sang penulis memulai tulisan, memilih kata dan menyusunnya menjadi kalimat. Kemudian bagaimana sang penulis menguraikan isi, membeberkan masalah, merakit paragraf, hingga cara mengembangkan gagasan dan mengakhiri tulisanya. Hal-hal itulah yang perlu kita tiru.

Seperti  keterampilan berbicara yang kita peroleh sedari kecil melalui mendengar, menyimak dan menirukan. Proses penguasaan keterampilan menulis sama saja dengan keterampilan berbicara. Hanya bedanya menulis itu perlu membaca. Makin sering membaca, maka makin sering menirukan yang dibaca itu. Lambat laun keterampilan menulis akan segera dikuasai.

Kompasianer Nahariyha Dewiwiddie dalam artikelnya sempat bercoloteh, "Pengen nulis tapi malas baca, apa kalian bisa? Itu mustahil!"

Kemudian ada satu tahap lagi yakni Nambahi. Bukankah kita sebagai penulis memang harus punya "simpanan bahan" untuk ditambahkan? Betapa tidak, dalam menulis kita mengeluarkan gagasan dan simpanan dalam otak kita. Ibaratnya menabung, kita punya simpanan jika kita menabung. Jadi  makin banyak simpanan, makin mudah atau lancar kita nambahi dan menuangkan gagasan secara tertulis.

Simpanan di sini adalah berupa pengalaman, hasil pengamatan, pendapat atau opini, eksperimen dan daya khayal atau imajinasi. Lho kok ada eksperimen dan imajinasi? Saya pikir kedua-nya itu penting, karena akan membuat wawasan seseorang menjadi lebih luas.

Sebagaimana pandangan dari mbak Nahariyha Dewiwiddie dalam artikelnya yang berjudul ''Dengan Menulis, Kita Bisa Meniru Layaknya Ilmuwan Kok!"Dia beranggapan bahwa dalam menuliskan artikel, tak cukup bermodalkan riset dan membaca beragam referensi semata, namun harus ada "eksperimen". Menurutnya "kegiatan eksperimen menulis dapat menguatkan topik dan isi tulisan, karena ada sisi pengalamannya, sehingga pembaca dapat merasakan apa yang dialami penulisnya secara langsung. Dengan kata lain, kegiatan bereksperimen itu bisa menciptakan pengalaman baru bagi si pelakunya".

Kemudian terkait imajinasi, mbak Nahariyha ini juga dalam tulisannnya yang berjudul "Ketika Membaca, Menulis dan Berfikir Saling Bersinergi". berhasil menguraikan bagaimana imajinasi berperan penting dalam menghadirkan sebuah tulisan yang berkualitas dan menarik.

Pada paragraf 9 dan 10, penulis menjelaskan bahwa imajinasi itu tak hanya berlaku di dunia fiksi. Pada penikmat buku non-fiksi juga akan mendapatkan sensasi yang sama. Intinya, pada saat membaca, pikiran harus akan mengembara, menciptakan khayalan, dan diwujudkan serupa dengan "film sungguhan" di otak!

Sang penulis sudah membuktikannya dengan mengambil buku, lalu menyimaknya secara perlahan-lahan. Kemudian ia mencerna kata demi kata, yang lama-kelamaan akan muncul imajinasi berwujud film di benak atau di otak, yang membuatnya mengerti dan bertambah paham terhadap apa yang dipelajari.

Barangkali ada yang bertanya, apakah menulis itu ada hubungannya dengan bakat atau bawaan? Terkait penjelasan-penjelasan di atas, jawabannya tentu tidak. Karena menulis itu adalah sebuah proses yang harus dilalui secara bertahap. Dan kita dituntut untuk banyak melihat, mengamati, membaca, berdiskusi, berfikir dan berimajinasi secara terus menerus, hingga menjadi sebuah kebiasaan dan budaya.

Saya pun sudah mengalami sendiri dengan menerapkan konsep 3 N di atas. Padahal sebelumnya, saya merasa sulit sekali menulis, beberapa kali mencoba selalu tidak lancar bahkan gagal total. Namun saya punya prinsip, lupakan dan belajar dari kegagalan, sehingga saya tidak mudah putus asa. Lalu saya terus, terus belajar dan mencoba-coba lagi. Makin lama makin mudah dan lancar, hingga menjadi seperti sekarang sampai berhasil memenangkan berbagai lomba menulis.

Jadi menulis memang gampang-gampang susah. Gampang jika sudah sering melakukannya, dan susah jika belum terbiasa. Kompasianer Indria Salimpun berpendapat demikian. Dalam artikelnya yang berjudul "Kegamangan Menulis dan Beberapa Solusinya", dia mengatakan, cara lain untuk mengatasi keraguan menulis adalah dengan membentuk Kebiasaan (habits), atau bisa dibilang sebagai ritual menulis, bagaimana pun situasi dan kondisinya. Dengan begitu menulis akan semakin mudah dan lancar, tanpa ada beban mental karena harus menunda jadwal tulisan.

Dengan membaca penjelasan di atas, kita tidak perlu kehilangan nyali, sebab menulis bukan kegiatan yang maha berat. Kita dapat belajar menulis yang baik, dari pengalaman rekan-rekan kompasianer di atas, termasuk apa yang saya alami sendiri.

Menulis Artikel/Tulisan yang Berkarakter

Saya pikir masih sangat sedikit penulis yang dapat menghasilkan sebuah tulisan yang berkarakter hingga benar-benar memuaskan para pembaca tanpa mengenal rasa bosan.

Mari perhatikan pendapat salah seorang Kompasianer berikut yang berhubungan dengan menulis tulisan yang berkarakter.

Kompasianer Johan Wahyudi mengatakan, agar dapat dimuat di media ternama, seorang penulis haruslah mampu menciptakan sebuah artikel yang berkarakter yang memenuhi beberapa persyaratan yang meliputi: aktualitas informasi yang hendak disampaikan, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan keunikan informasi yang disajikan.

Saya cukup setuju apa yang diutarakan oleh Pak Johan ini. Namun saya pikir sebuah gagasan pikiran yang dituangkan dalam bentuk artikel yang berkarakter tidak hanya cukup dengan tiga persyaratan yang telah disebutkan. Ada sejumlah komponen lain yang harus dikuasai oleh seorang penulis, seperti adanya Penekanan dalam sebuah artikel, agar menampakkan hal apa yang ditonjolkan dalam artikel itu, yang biasanya adalah inti gagasan yang ingin disampaikan.

Saat menulis di Kompasiana, penekanan dalam kalimat dapat dilakukan  dengan berbagai cara.

  • Menggunakan fitur Quote dan Colors . Fitur ini dapat memberikan warna pembeda dalam kata, kalimat dan artikel.
  • Menghitamkan (Bold) dan Memiringkan (Italic)
  • Mengulangkan kata yang dianggap penting.
  • Melakukan hyperlink.

Syarat lain yang akan membangun artikel menjadi berkarakter adalah Kevariasian. Karena hal ini dapat menghilangkan rasa bosan pada pembaca. Caranya misal dengan memulai suatu kalimat. Agar bervariasi kita bisa memulai kalimat dengan subjek duluan atau predikat dulu. Di paragraf berikutnya, misalnya kita bisa memulai atau mengawali kalimat dengan kata keterangan, atau sebuah frase ataupun diawali klausa.

Kevariasian juga erat kaitannya dengan Diksi. Memiliki kekayaan diksi atau pilihan kata, sebagaimana sudah dibuktikan, akan menyebabkan tulisan menjadi lebih hidup dan mengairahkan.

Kemudian lagi, agar lebih dapat memaksimalkan karakter dari sebuah tulisan, seorang penulis mesti berfikir cermat, yakni melihat segala sesuatunya secara hati-hati, teliti dan saksama.  Dengan begitu, tulisan kita akan menimbulkan simpati dan empati pembaca.

Artikel yang berkarakter jelas akan dengan mudah ataupun memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan menimbulkan simpati dan empati pembaca. Di samping itu, juga akan menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca, seperti yang terdapat di pikiran penulis.

Jika dapat mempraktikkan-nya, saya yakin akan berpeluang besar menjadi penulis sukses. Namun ada sebuah catatan penting yang perlu digarisbawahi;

"Menciptakan tulisan yang berkarakter dipengaruhi oleh kondisi Flow"

Kalau anda sudah membaca artikel dari Kompasianer Nahariyha Dewiwiddie yang berjudul "Flow, Ketika Menulis Terasa Begitu Mengalir" saya yakin anda akan tertarik dan setuju terhadap apa yang yang saya sampaikan.

Dalam artikel tersebut, penulis mengatakan bahwa "Ada banyak penulis-penulis sukses dengan karya-karyanya yang tentunya dengan tulisan-tulisan yang begitu Khas dan Mengalir. Bahkan, materi keilmuan yang biasanya disajikan dengan bahasa yang kaku dan supersulit, bisa disulap menjadi ulasan dengan gaya yang begitu indah dan nikmat dibaca. Khas dan Mengalir di sini, saya bisa menangkap sebagai sesuatu yang berkarakter.

Ternyata, rahasianya terletak pada "Flow", yang dalam bahasa Indonesia berarti; mengalir, atau aliran, arus, iring-iringan ataupun bisa berarti berbicara terus dengan penuh. Arti yang terakhir ini dapat diibaratkan jika flow itu seperti menulis dengan mulut.

Orang-orang, yang sebelumnya acuh dengan kegiatan membaca, lewat artikel-artikel yang khas, indah dan mengalir (berkarakter) dari penulis-penulis hebat ini, sepertinya mereka "tersihir" untuk segera membacanya. 'Tersihir' disini saya bisa menangkapnya sebagai sesuatu yang mempenagruhi emosi, simpati dan empati pembaca.

Lebih lanjut Nahariyha menjelaskan, untuk bisa flow, seorang penulis harus dalam kondisi berbahagia, menganggap menulis itu merupakan hal yang menyenangkan, bukan suatu beban. Ketika berhadapan dengan laptop atau buku dan alat tulis, penulis mulai menuangkan gagasan dengan caranya. Sejak saat itulah, semangat dan kreativitas mereka menyala-nyala, dan mereka mengalami "momen putih". Semuanya begitu mengalir dan menyatu, dan kesadaran diri "melenyap", itulah flow.

Walaupun dalam artikel tersebut Nahariyha kurang menyebutkan contoh-contoh tulisan atau buku yang mana flow memainkan peranan, namun saya bisa mengambil beberapa contoh seperti Habis Gelab Terbitlah Terang karya R.A Kartini, dan The Diary of a Young Girl karya Anne Frank. Di bidang sastra mungkin puisi Aku dan Krawang Bekasi karya Chairil Anwar.  Di era "zaman now" mungkin ada "Kambing Jantan" karya Raditya Dika.

***

Buat saya artikel dari tante Indria, non Dewiwiddie dan pak Johan tersebut sangat bermanfaat dan memikat. Buat penulis-penulis lain dari  berbagai kalangan, saya pikir juga akan merasakan hal yang sama.

Dengan membaca dan menyelami karya atau artikel dari rekan-rekan Kompasianer di atas, saya mampu mereguk manisnya inspirasi menulis, semakin peka terhadap dunia tulis-menulis, serta ilmu dan wawasan saya semakin luas dan bertambah. Dan lagi sebagai seorang Kompasianer, hidup saya semakin menggairahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun