Ada yang tau nggak, yang membedakan antara zaman prasejarah dengan "zaman now"? Jawabnya pada tulisan. Zaman prasejarah ditandai dengan tidak adanya tulisan. Semua peristiwa yang penting yang terjadi pada waktu itu tidak diabadikan dengan tulisan sehingga tidak diketahui oleh generasi sesudahnya. Baru setelah ditemukan batu bertulis, peristiwa penting masa lalu akhirnya dapat diketahui dan manusia meninggalkan zaman prasejarah untuk memasuki zaman sejarah.
Penyataan di atas ikut membuktikan jika perkara tulis-menulis itu bukanlah perkara sepele.  Ia  bisa merubah dari satu zaman ke zaman lainnya, menembus ruang dan waktu karena dapat dibaca dan dipahami oleh orang yang berada di berbagai tempat pada waktu sekarang dan yang akan datang. Misal banyak kita jumpai buku-buku yang ditulis berabad-abad yang lalu yang masih dapat dibaca dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat "zaman now".  Seandainya saja tidak ada yang mau menulis, tentu kita akan tetap berada pada zaman prasejarah.
Pada dasarnya perkara tulis-menulis itu adalah hasil dari pemikiran manusia, yang di dalamnya ada mencatat, merekam, mengungkapkan, dan melaporkan "sesuatu" dengan cara tertentu agar pembacanya terangsang dan kemudian merespons. Sesuatu di sini bisa berupa peristiwa, pengalaman, opini, pengetahuan dan imajinasi , yang saya pikir akan sangat krusial bila dikaitkan  dengan "zaman now".
Betapa tidak, di "zaman now" kita hidup dalam abad bahasa yang menuntut kita untuk piawai mengekspresikan pikiran kita dalam bentuk tulis-menulis. Tanpa kepiawaian itu, kita akan menjadi sekedar "pengunyah" pikiran orang lain tanpa mampu meresponnya secara kritis dalam bentuk tulisan. Di sisi lain, kita juga akan dianggap sebagai "pemain pinggiran" di tengah perkembangan dahsyat inteletualisme global dewasa ini.
Tentu kita tak ingin hanya dianggap sebagai "pengunyah" Â dan "pemain pinggiran kan"!
Banyak sudah bukti kepiawaian menulis di "zaman now" membuat penulisnya menjadi terkenal, kualitasnya meningkat tinggi dan mendatangkan rizeki ataupun pundi-pundi rupiah. Di samping itu juga dapat mengajarkan dan mencerdaskan masyarakat, dan bahkan bisa juga sekedar memuaskan diri dan menghilangkan stres karena sudah mengekspresikan gagasan. Seperti yang diutarakan oleh Kompasianer Indria Salim, bahwa manfaat kebiasaan menulis itu antara lain, mengurangi stres. Dia mengharapkan, dengan membiasakan diri menulis teratur, dapat "menyembuhkan" kebiasaan lain yang tampaknya menjadi penyakit umum, yaitu suka menunda pekerjaan.
Sebagaimana sudah dibuktikan, jika menulis tidak dapat dipisahkan dari aktivitas membaca dan berfikir. Ketiga-nya sangat berkaitan dan mempunyai hubungan timbal balik bagi yang melakukannya. Dengan membaca akan dapat menambah wawasan dan mengetahui informasi-informasi yang dibutuhkan. Dari situ  orang-orang yang memiliki passion menulis, akan berfikir jika wawasan dan informasi yang diperoleh dari hasil bacaan dapat dituliskan dalam berbagai macam bentuk tulisan seperti artikel  dan karya ilmiah yang berkualitas. Intinya makin terampil berfikir, makin bening jalan pikirannya, dan makin jelas pula dalam menulis.
Tampaknya ke tiga hal di atas disadari betul oleh Kompasianer Nahariyha Dewiwiddie, menurutnya, betapa membaca, menulis dan berfikir itu saling bersinergi dan berhubungan. Dia mengajak para penulis untuk memanfaatkan ketiga hal ini, karena terbukti dapat tercipta tulisan-tulisan yang lebih dahsyat.
Saya pikir agar tercipta tulisan-tulisan yang lebih dahsyat, seorang penulis juga memerlukan sejumlah potensi pendukung, karena kita tahu bahwa menulis itu adalah sebuah keterampilan. Sebagai keterampilan, sama seperti keterampilan yang lain, yang untuk mencapainya diperlukan kesungguhan, ketekunan, kemauan keras, harus belajar dan berlatih dengan sungguh-sungguh dan terus menerus dalam waktu yang cukup lama.
Hal ini dapat terjadi karena untuk mempersiapkan sebuah tulisan sejumlah komponen harus dikuasai, mulai dari hal-hal yang sederhana, seperti memilih kata, merakit kalimat, sampai ke hal-hal yang agak rumit, yaitu merakit paragraf.
Dalam mempersiapkan sebuah tulisan, saya sendiri menerapkan konsep ungkapan Jawa 3 N, yaitu Niteni, Nirokake,dan Nambahi, yang  berarti 'Memperhatikan, Mengingat-ingat, Menirukan dan Menambahkan'.