Sejak pelayanan Bank Aceh yang sudah berubah menjadi bank syariat, tepatnya bulan Agustus 2016, Â saya sering memberanikan diri untuk bertanya ke beberapa orang nasabah, setiap awal bulan di saat saya mengambil gaji dan menyisihkannya sebagian untuk ditabung.
"Pak, Bu, bagaimana pendapatnya mengenai Bank Aceh Syariah saat ini?" Begitu saya bertanya kepada nasabah, baik yang saya kenal maupun tidak saya kenal dalam waktu yang berbeda-beda. Jawaban dari mereka rata-rata berharap perbankan syariah tidak hanya sekedar berubah ganti nama saja, melainkan benar-benar syariah yang membawa perubahan utuh dalam seluruh aspek pelayanannya, misalnya saja transaksi nya benar-benar bebas dari yang namanya riba, sehingga hartapun berkah. Selain itu ada juga yang berpendapat jika dengan sistem syariah dapat membantu masyarakat dalam mengembangkan usaha.
Jawaban  para nasabah ini, ternyata juga sejalan dengan yang dikemukan oleh pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Aceh, Ali Amin, dalam sebuah diskusi publik, yang menyatakan bahwa pengelolaan Bank Aceh menjadi perbankan syariah akan menjauhkan masyarakat dari riba.
Dalam diskusi tersebut, Ali Amin juga menegaskan, selama ini bank syariah yang ada tetap memberikan pembiayaan pada nasabah berdasarkan tingkat bunga, padahal dalam hukum syariat, harusnya dilakukan dalam bentuk tawar menawar.
Kembali ke soal para Nasabah, pada kesempatan yang sama juga, saya sempat berujar dan bertanya lagi;
"Pak, Bu tahu nggak jika Bank Aceh mencatat sejarah sebagai Bank Umum Konvensional yang dikonversi menjadi Bank Umum Syariah, sehingga masuk 5 (lima) besar sebagai Bank Umum Syariah di Indonesia, kira-kira bagaimana pendapat nya dan apa yang harus dilakukan?"
"Wah! Baguslah, ini patut diapresiasi, dan saya pikir saat ini yang perlu dilakukan adalah sosialisasi ke masyarakat luas, peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan sistem informasi teknologi (IT), serta pelayanan secara menyeluruh," jawab salah seorang bapak (nasabah) yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
"Terus yang harus dilakukan juga, porsi pemberian kredit juga harus setara untuk yang bukan PNS, dan memudahkan pemberian modal bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk mengembangkan usaha
"timpal beberapa orang ibu yang duduk bersebelahan dengan bapak PNS tersebut yang sepertinya berprofesi sebagai wiraswasta seperti pedagang dan pengrajin.
Mendengar jawaban dari bapak/ibu di atas, saya pikir memang benar dalam mendukung operasional perbankan sistem syariah dan membina hubungan baik dengan masyarakat dari berbagai elemen. Begitu juga hubungan dengan Bank Indonesia dan perbankan lainnya, harus disesuaikan dengan sistem syariah, karena selama ini hubungannya masih konvensional.