Soal bahasa, selain menguasai bahasa daerah setempat, mereka juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bugis Sulawesi Selatan. Di saat ada dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo, kecuali kalau berada di antara atau bersama warga penduduk setempat. Mereka menganggap semua orang sederajat dan tidak mengenal strata sosial dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam kehidupan sehari-hari-pun banyak ritual hidup yang dilakukan di laut oleh suku ini. Sesuai tradisi, setiap bayi Bajo yang lahir, harus dicelupkan ke laut. Tujuannya adalah untuk mengakrabkan mereka dengan laut yang dianggap sebagai saudara.
Kemudian semua penduduk Kampung Bajo Laut Hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa kewarganegaraan. Namun belakangan ini diketahui, jika kebiasaan hidup berpindah-pindah ini kemudian tergantikan dengan budaya bermukim menetap dengan membangun rumah permanen di atas laut dangkal. Mereka-pun mulai rajin mengumpulkan karang untuk membangun tiang rumah mereka sebagai ganti tiang kayu karena bahan bangunan kayu akan mudah lapuk jika terus terkena air asin laut.
***
Suku Bajo yang lahir dan hidup di atas laut, ataupun di atas pulau-pulau karang, membuat suku ini berbeda dengan suku-suku lain di Indonesia. Dari situ Suku Bajo mempuyai ketangguhan luar biasa mengarungi lautan, seperti yang digambarkan dalam lirik lagu nusantara di atas. Masyarakat Bajo kadang pun dianggap sebagai bajak laut yang perusak, padahal sebenarnya mereka memiliki kearifan lokal yang tinggi dalam mengelola ekosistem laut. Meski kini banyak yang tinggal di darat, ketergantungan terhadap laut belum hilang. Dan mereka amat senang menjalani profesi sebagai nelayan.
(Salam akhir pekan Ikhwanul Farissa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H