Berita terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan lagi rahasia umum, bukan lagi hal baru di Indonesia, tetapi sudah menjadi isu global yang kerap terdengar di media, bahkan sering menjadi pembicaraan di tingkat internasional.
Jika melihat catatan statistik, Indonesia termasuk negara gawat kekerasan. Betapa tidak, dari tahun-ke tahun memperlihatkan peningkatan kasus kekerasan, terutama pada ibu dan anak, yang dilakukan para pelaku dengan berbagai modus. Ironisnya fenomena ini masih kurang mendapat tanggapan publik. Padahal Indonesia sudah menjadi negara dengan kasus kekerasan yang tinggi di Asia.
Saya pikir faktor penyebabnya seperti yang telah saya singgung di atas, yakni masih kurangnya mendapat tanggapan publik. Publik di sini bisa berarti pemerintah dan masyarakat. Terkait pemerintah, ada semacam keteledoran dari pemerintah yang kurang menyikapi secara tegas setiap peristiwa kekerasan yang terjadi, terutama yang melibatkan anak dan perempuan seperti kejahatan seksual yang terus meningkat setiap tahunnya. Delik kekerasan pada perempuan dan anak masih belum pernah ditanggani dan memenuhi rasa keadilan korban. Disamping pemerintah juga masih kurang mensosialisasikan pencegahan akan kasus-kasus kekerasan.
Lalu masyarakat, seperti perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin konsumtif, permisif, individualistis dan ingin cepat kaya, serta ditambah dengan gencarnya gerakan jaringan para pelaku human trafficking di Indonesia, membuat ancaman para pelaku tindak kekeradan seperti penjahat kelamin semakin parah.
Begitu juga peran orang tua dalam keluarga yang menjadi bagian dari masyarakat yang sangat minim dalam melindungi, mendidik dan mengawasi anak-anaknya di dalam pergaulan, baik di lingkungan keluarga dan sekitar tempat tinggal. Bahkan ironisnya, secara internal telah runtuhnya moralitas keluarga yang mendorong terjdinya incest yang menjadikan anak menjadi korban kekerasan, baik dari orang tua dan saudara (tiri maupun kandung) dan sanak keluarga lainnya yang bermental bejat. Bukan lagi rahasia umum, jika banyak fakta yang menyatakan, pelaku-pelaku kekerasan di tengah masyarakat berasal dari orang-orang terdekat.
Di sisi lainnya ada faktor lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan. Hukuman yang diberikan terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Faktor penegakan hukum ini cukup memberi andil terulangnya kembali kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Lalu faktor ekonomi dalam keluarga juga turut mempengaruhi terjadinya kasus kekerasan.
Melihat begitu banyaknya faktor, maka sudah selayaknya semua pihak, mulai orang tua, keluarga, pihak sekolah, seluruh komponen masyarakat dan pemerintah untuk menyatukan langkah menyikapi fenomena terus berulang dan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
10 Catatan Mengakhiri Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Ada sepuluh catatan yang saya pikir penting sebagai bentuk upaya mengurangi atau menghapuskan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
1. Pemerintah harus lebih tegas dan konsisten melindungi perempuan dan anak dengan mengoptimalkan program-program perlindungan yang ada. Dan terus mensosialisasikan penggunaan UU hingga Intruksi Presiden tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Peluncuran empat dokumen terkait strategi dan rencana aksi penghapusan kekerasan terhadap ibu dan anak yang telah dilakukan oleh Kemenko PMK patut kita dukung dan beri apresiasi. Empat dokumen tersebut terdiri dari Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKtA), Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN PA), Rencana Aski Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN PTPPO) serta Road Map Pemulangan dan Pemberdayaan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB). Tiga diantara dokumen tersebut dapat melindungi perempuan dan anak-anak Indonesia dari kejahatan.
Adanya dokumen yang dinilai mampu melindungi anak-anak, juga telah membuat UNICEF mengapresiasi pemerintah Indonesia. Dokumen tersebut dinilai UNICEF telah merefleksikan rekomendasi-nya terkait kekerasan terhadap anak. Bahkan secara khusus, UNICEF menilai apa yang dilakukan pemerintah Indonesia ini dapat dijadikan contoh bagi negara-negara lain dalam hal perlindungan anak. Namun yang penting sekarang adalah mengawal implementasi dari dokumen-dokumen tersebut di tingkat pusat dan daerah.
2. Membangun sistem komunikasi antara orang tua dan anak. Jangan biarkan anak selalu menerima kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi di dunia maya. Sistem pengawasan patut dilakukan oleh orang tua, termasuk mengawasi pergaulan anak di lingkungan tempat tinggal. Begitu juga dengan pendidikan anak-anak di sekolah. Pihak sekolah sebaiknya tetap menekankan pendidikan agama dan karakter.
4. Memperberat hukuman para pelaku kekerasan. Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak yang mencantumkan hukuman penjara maksimal 15 tahun sebaiknya direvisi. Hukuman wajib diperberat, tidak saja memperberat hukuman penjara, tetapi juga tambahan hukuman lainnya.
Masyarakat juga harus menyadari, efek jera para pelaku kekerasan, tidak hanya ditentukan oleh faktor hukuman, tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana peran orang tua dalam keluarga dan sistem pendidikan di sekolah. Kedua factor tersebut dapat membentengi anak untuk tidak terjerumus dalam kasus-kasus kekerasan.
5. Pemerintah juga harus menuntaskan persoalan anak-anak pengemis dan pengamen jalanan. Caranya, pemerintah harus berperan dalam menciptakan kota ramah anak, fasilitas pendidikan, taman dan arena bermain hingga memberi beasiswa kepada mereka untuk melanjutkan pendidikan di dalam dan luar negeri.
Sudah menjadi rahasia umum, banyak anak-anak yang kehilangan arena bermain hingga akhirnya mereka turun ke jalan. Sehingga tak heran eksploitasi anak di bawah umur untuk dijadikan pengamen dan pengemis marak terjadi. Hal ini pun tak lepas dari kurang optimalnya peran pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Jika hal ini terus dibiarkan maka praktik eksploitasi anak akan terus terjadi secara turun-temurun.
6. Meminta pemerintah daerah dan pusat terus melakukan upaya pencegahan kekerasan dengan melibatkan institusi yang berada di komunitas (seperti Forum Pengada Layanan, Yayasan Pusat Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan LSM), lembaga adat dan agama.
Merujuk kepada Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016 dari Komnas Perempuan, memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan adalahkekerasan di ranah komunitas yakni sebanyak 5.002 kasus (31%), dimana kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%). Jenis kekerasan seksual di komunitas tertinggi adalah: perkosaan (1.657 kasus), lalu pencabulan (1.064 kasus), pelecehan seksual (268 kasus), kekerasan seksual lain (130 kasus), melarikan anak perempuan (49 kasus), dan percobaan perkosaan (6 kasus).
Sebagian besar kasus-kasus tersebut ditangani oleh organisasi pengada layanan atau komunitas penangganan dan penaggulangan korban kekerasan perempuan dan anak. Para penggiat komunitas atau yang kerap menyebut sebagai pendamping korban ataupun relawan adalah ujung tombak pemerintah dalam pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan. Jangkauan para relawan hingga ke pelosok daerah akan mendekatkan akses perempuan dan anak terhadap layanan yang umunya tersedia di ibukota kabupaten atau provinsi.
Secara positif komunitas dapat menjadi kekuatan bagi korban, tempat berlindung, membantu korban mengakses layanan, meningkatkan kapasitas, menumbuhkan kesadaran dan keberanian korban. Dengan begitu perempuan di komunitas memiliki kemampuan untuk membangun dukungan bagi korban. Kelompok  dukungan menjadi ruang bagi korban untuk saling berbagi pengalalman, mencurahkan kekesalan hati dan tempat perlindungan bagi korban.
7. Perlu dibentuk pos-pos, Pos Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pos KDRT) misalnya, perlu dibentuk demi membangun kesadaran, tanggung jawab, peran serta dan komitmen masyarakat di tingkat komunitas agar memiliki wadah dan mekanisme pencegahan, penanganan dan pemberdayaan kepada korban, karena komunitas adalah orang terdekat yang paling mudah diakses oleh korban.
8. Meminta pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk memastikan implementasi Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 5 tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana. Ini dinilai penting mengingat dana desa sudah mulai dicairkan dari tahun 2015. Karena melalui dana desa, diharapkan dapat memenuhi hak-hak dasar termasuk hak perempuan dan anak korban kekerasan.
9. Mengharapkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tentang kesehatan reproduksi seksual kebutuhan korban kekerasan seksual.
10. Kaum perempuan harus berkreatif dan berinovasi guna membangun dan mensejahterakan keluarga dan lingkungan, dengan meningkatkan kualitas, baik secara pendidikan maupun ekonomi serta keterlibatan perempuan di dalam masyarakat harus terus ditingkatkan.
***
Jumlah kekerasan pada anak dan perempuan meningkat setiap tahunnya. Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan ancaman yang besar bagi bangsa Indonesia, sama seperti Narkoba dan Terorisme. Parah dan seriusnya ancaman itu tentu  karena banyak factor yang telah disebutkan.
Agaknya untuk melawan dan menghentikan semua itu dibutuhkan sinergi dan gerakan anti kekerasan di tengah masyarakat kita. Semua pihak harus mengambil sikap peduli dan bertindak untuk segera menghentikan adanya praktek kekerasan terutama kejahatan seksual yang semakin marak terjadi.
Jika semua pihak yang berkepentingan bergandengan tangan bersama untuk menghentikan aksi kekerasan pada perempuan dan anak, dan lebih mengoptimalkan program-program perlindungan, maka saya yakin kasus-kasus kekerasan pada perempuan dan anak dapat diminimalisir ataupun diakhiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H