Di suatu siang yang panas di dalam mobil yang terpakir. (Menarik Nafas) “Eh, kalian ngerasa nggak sih, kayaknya makin hari cuaca makin panas deh ah!” Ujar Mila kepada teman-temannya sesama mahasiswi yang satu mobil dengannya. “Iya sih, saat di luar ruangan kalau nggak pakai pelindung, kulit terasa seperti terbakar. Suhu udara terasa panas sejak pagi.” Timpal Tuti yang duduk bersebelahan dengan Mila yang ingin mengemudikan mobil. “Haus nie ah! Di dalam laci ada air nggak sih?” Ujar teman-teman Mila yang lain yang duduk di belakang. “Yang ada di laci kayaknya cuma coklat tu,” ujar Mila kepada teman-temannya. Mila-pun membuka laci dan mengambil batangan coklat itu. (Kaget) “Ya ampun, coklatnya sudah meleleh, lumer.” Ujarnya sambil memperlihatkan cairan coklat yang merembes sampai keluar bungkusnya dan melemparkan kembali coklat cair itu ke dalam laci mobil. Teman-teman Mila hampir tak percaya apa yang mereka lihat. (Kaget) “Astaga Mila, jangan lempar lagi ke dalam laci!” Ujar Tuti.
Peristiwa sederhana di atas termuat dalam sebuah naskah Sandiwara Radio berjudul “Secercah Harapan” persembahan Radio Republik Indonesia (RRI) Meulaboh Aceh Barat. Dalam naskah Sandiwara Radio tersebut, mengandung pesan akan peristiwa nyata yakni pemanasan global dan perubahan iklim yang mencairkan es dan gletser di kutub utara. Analoginya coklat yang mencair itu sama dengan es ataupun gletser yang mencair. Kaca mobil sama dengan gas rumah kaca di atmosfir. Ruangan di dalam mobil sama dengan kehidupan di atas permukaan bumi.
Fakta-fakta di atas membuat peristiwa pemanasan global makin dekat dengan kehidupan manusia. Bahkan para dokter kecantikan mengkhawatirkan kecantikan kulit wanita pun terancam akibat meningkatnya suhu bumi. Persis seperti yang dikatakan oleh Tuti dalam naskah Sandiwara Radio di atas yang mana kulitnya terasa seperti terbakar jika berada di luar ruangan saat ini.
“Musuh Indonesia masa depan adalah perubahan iklim,” ujar Ir Iskandar, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) Aceh, dalam laporannya di acara seminar internasional bertajuk "Aceh Commitment for Climate Change: Impact and Challenge" yang diselenggarakan oleh BAPEDAL Aceh, berlangsung di hotel Hermes Palace Banda Aceh, Kamis, 26 Mei 2016 lalu.
“Selain CO2, emisi gas rumah kaca lain umumnya berasal dari asap kendaraan yang menghasilkan gas Nitrous Oksida (N2O), aktivitas industri sampai kegiatan domestik rumah tangga yang menghasilkan gas-gas rumah kaca seperti Hidro Fluoro Karbon (HFCs), Per Fluoro Karbon (PFCs), Heksa Fluorida (SF6) dan Metan (CH4). Pengelolaan sampah yang tidak benar oleh kegiatan industri dan rumah tangga juga turut menyumbang emisi gas CO2 dan CH4 dalam jumlah besar,” jelas Ir. Raffles.
Selain itu, dalam seminar tersebut juga dipaparkan bahwa pada 2030, diprediksi Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau-pulau kecil. Bahkan dari dampak perubahan iklim dan faktor lain, seperti penambangan pasir dan tsunami telah mengelamkan 24 pulau kecil. Untungnya pulau-pulau kecil tersebut tidak berpenghuni. Pulau-pulau kecil itu tersebar di Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara dan Papua. Ancaman semakin besar karena secara fisik banyak pulau di Indonesia bertipe low lying island yang ketinggian daratannya hanya 1 hingga 1,5 meter. Contohnya kepulauan seribu Provinsi DKI Jakarta. Jika upaya menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan tidak dimulai dan ditingkatkan dari sekarang, maka pada tahun 2030 ketinggian air laut akan naik setinggi 70 meter. Pada saat itulah, sekitar 2.000 hingga 2.500 pulau di di Indonesia akan terancam hilang.
Indonesia sebagai Negara kepulauan yang memiliki lebih dari 18.000 buah pulau dan sekitar 65 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir, saya pikir amat pelu mengantisipasi dampak dari pemanasan global dan perubahan perubahan iklim pada pesisir dan laut. Berbagai kerusakan lingkungan telah terjadi seperti kerusakan terumbu karang, pengurangan sumber daya hayati laut, peningkatan muka air laut dan tingginya intesitas hujan badai ataupun hujan ekstrim serta angin topan yang membahayakan navigasi dan para nelayan.
Menyimak apa yang dikatakan Gubernur Zaini, maka saya fikir sebagai partisipasi aktif, media atau program Sandiwara Radio perlu untuk lebih merespon dampak perubahan iklim global terutama pada ekosistem laut dan pantai yang sangat penting untuk Negara-negara kepulauan sebagai upaya dalam memecahkan permasahan perubahan iklim global.
Walau sering kali kita telah mengetahui ataupun mendengar tentang isu pemanasan global dan perubahan iklim yang dibicarakan pada berbagai pertemuan, tetapi nyatanya masih banyak yang tidak mengerti akan makna sebenarnya, belum memahami isu lingkungan tersebut dan belum menyadari bahwa kita sebenarnya berperan dalam menciptakan suhu bumi yang semakin panas beserta dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Masih banyak yang mengartikan jika pemanasan global itu terjadi karena rumah-rumah sekarang banyak yang pakai kaca. Untuk itu, dalam mendukung upaya penyebarluasan informasi terkait pemanasan global, maka perlu terus atau lebih disosialisasikan dan diedukasikan lagi ke semua kalangan dan lapisan masyarakat terutama melalui dunia Sandiwara Radio yang barangkali akan menjadi media yang menarik untuk diminati, sehingga mendapatkan tempat di hati masyarakat. Bagaimana tidak, karena bahasa radio biasanya berakar pada budaya lisan sebuah masyarakat. Ini sangat menguntungkan, karena naskah drama sandiwara radio, akan benar-benar mengangkat budaya lisan tersebut dan menggugah imajinasi pendengar. Sehingga menjadi efektif dalam menyampaikan pesan.
Menghadapi permasalahan tersebut di atas, saya pikir melalui program Sandiwara Radio, masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah serta pihak-pihak lainnya dapat diajak untuk berperan ataupun peduli dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup. Karena kita tahu masyarakat akan secara nyata berkontribusi besar mengatasi dampak perubahan iklim dengan membuat berbagai gerakan masyarakat berbasis lingkungan seperti penanaman pohon, pemeliharaan pohon, pengelolaan sampah secara benar, konservasi sumber daya alam baik hutan, lahan, sungai dan laut, penggunaan energi listrik dan bahan bakar secara arif dan bijak. Kemudian dunia usaha, sangat berperan dalam melaksanakan mekanisme produksi bersih yang menjadi cermin kepedulian pengusaha dalam memberi andil dalam pengelolaan lingkungan hidup. Begitu juga dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat membuat perubahan besar dengan dengan mengutamakan pengelolaan lingkungan dalam seluruh kebijakan yang dikeluarkannya. Hal-hal di atas merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan di mana pengelolaannya merupakan tanggung jawab bersama.
Begitu juga dengan pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah yang tidak benar akan menghasilkan gas Karbon Dioksida (CO2) dan gas Metan (CH4). Dalam program Sandiwara Radio dapat diungkapkan atau diberitahukan jika gas CO2 dihasilkan dari pembakaran sampah, sedangkan gas Metan dihasilkan dari pembusukan sampah yang tidak diolah dengan baik dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah Open Dumping.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70 % gas Metan di TPA teremisikan atau terbuang ke atmosfir, dan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas Metan. Efek rumah kaca gas Metan lebih berbahaya daripada efek rumah kaca gas CO2 yakni 21 kali kekuatan gas CO2. Selain itu pembakaran sampah terutama sampah plastik, selain menghasilkan gas CO2, juga menghasilkan gas dioksin dan furan yang bersifat karsinogenik sehingga memicu timbulnya kanker. Pemberitahuan melalui Sandiwara Radio seperti ini saya yakin akan memberikan kesadaran dan informasi yang besar bagi masyarakat banyak sehingga masyarakat tergerak untuk memulai mengelola sampah dengan benar. Selama ini masyarakat hanya tahu jika sampah hanya menyebabkan tersumbatnya selokan, banjir, bau dan merusak estetika bahkan sebagian besar orang menganggap sepele masalah sampah. Dan ternyata sampah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan suhu bumi yang berpengaruh negatif sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia.
Bagaimana pengelolaan sampah secara benar? Melalui program Sandiwara Radio dapat diberitau bahwa pengelolaan sampah secara benar adalah mengolah sampah dari sumbernya yakni melalui 3R, yaitu (1) Reduce, mengurangi produksi sampah, misalnya dengan membawa tas belanja ke pasar dan menolak kantong plastik (2) Reuse, menggunakan kembali atau memperpanjang umur pemakaian misalnya menjadikan kaleng bekas sebagai tempat pensil, memberikan barang-barang layak pakai kepada orang yang membutuhkan dan (3) Recycle, mendaur ulang sampah misalnya pembuatan kompos, daur ulang plastik dan daur ulang kertas. Jadi saya pikir tambahan –tambahan informasi semacam ini dapat disebarluaskan dengan cepat melalui Sandiwara Radio.
***
BPBD Aceh Barat Siaga Banjir Melalui Sandiwara Radio
Memasuki musim hujan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Barat siaga banjir. Berbagai persiapan dirancang untuk menghadapi bencana yang berpotensi terjadi pada musim ini di kota Meulaboh, salah satunya melalui Sandiwara Radio RRI Aceh Barat. Aceh Barat merupakan kabupaten yang rawan banjir jika terjadi curah hujan tinggi.
Siaga bencana BPBD Kabupaten Aceh Barat juga menyiapkan call center di 0655 – 7551 413 yang bisa dihubungi masyarakat.
Jadi Melalui Sandiwara Radio, semua pihak secara bersama-sama dapat dihimbau, diajak ataupun diberitahu dengan cara yang menarik, simple dan mudah dicerna terutama terkait siaga bencana untuk dapat mengubah perilaku menjadi perilaku ramah lingkungan yang hemat energi, hemat air dan efektif serta efisien dalam menggunakan sumber daya alam.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H