Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Merawat Kerukunan Beragama dari Imlek

13 September 2016   19:54 Diperbarui: 13 September 2016   20:08 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat berkunjung melihat Suasana perayaan Imlek di rumah ibadat agama Khonghucu,TMII, Jakarta. (Foto: Dok pri).

Walaupun hari raya Imlek tahun 2016 sudah lewat, namun perayaan Imlek di Indonesia buat saya tidak sekedar hari raya warga etnis Tionghoa, tapi juga dapat menjadi salah satu sarana untuk merawat dan meningkatkan kerukunan antarumat beragama di berbagai daerah di Indonesia.  Mengapa? Karena saya punya pengalaman saat perayaaan ritual Tahun Baru China warga etnis Tionghoa ini, yakni pada 19 Februari 2015 tahun baru Imlek 2566 di Jakarta dan pada 8 Februari 2016 tahun baru Imlek 2567 di Banda Aceh. Saat itu diadakan berbagai kegiatan, seperti yang terjadi di Banda Aceh, salah satunya pertunjukan barongsai disertai alunan musik tradisional yang khas. Pada saat itulah warga Banda Aceh yang mayoritas islam berbaur dengan warga Tionghoa menikmati pertunjukan barongsai dan kegiatan lainnya.

Pertunjukan Barongsai disertai alunan musik tradisional saat perayaan tahun baru Imlek 2567 di Kawasan Pecinan Peunayong Banda Aceh. Meski Aceh merupakan daerah yang memberlakukan hukum syariat dalam kehidupan sehari-hari namum aktivitas warga Tionghoa merayakan pergantian tahun baru Cina pada 8 Februari 2016 berlangsung rukun dan damai. (Foto: Dok pri).
Pertunjukan Barongsai disertai alunan musik tradisional saat perayaan tahun baru Imlek 2567 di Kawasan Pecinan Peunayong Banda Aceh. Meski Aceh merupakan daerah yang memberlakukan hukum syariat dalam kehidupan sehari-hari namum aktivitas warga Tionghoa merayakan pergantian tahun baru Cina pada 8 Februari 2016 berlangsung rukun dan damai. (Foto: Dok pri).
Meskipun etnis Tionghoa di Banda Aceh tergolong sedikit, namun suasana perayaan Tahun Baru Imlek saat itu sangat meriah baik di Vihara Dharma Bakti, Kawasan Pecinan Peunayong Banda Aceh maupun di kawasan sekolah Methodist Peunayong, Kuta Alam, Banda Aceh. Pengunjung begitu menikmati pertunjukan barongsai dengan alunan musiknya. Peunayong sendiri dikenal sebagai China town-nya Banda Aceh karena banyak warga etnis Tionghoa menetap dan menjalankan bisnisnya di pusat kota Banda Aceh. Saat Imlek di kawasa Peunayong tersebut, hampir seratusan lampion merah dipasang di langit-langit gang dengan atraksi Barongsai yang bergerak ke jalan-jalan utama Peunayong hingga sore hari. Dan di beberapa sudut jalan Peunayong, terlihat spanduk dan papan bunga ucapan selamat Imlek yang ternyata juga berasal dari warga Muslim.

“Senangnya melihat budaya etnis China, orang-orang rukun, padahal mereka memiliki perbedaan, berbeda agama, suku, dan jenis kelamin, namun mereka tidak bertengkar, bahkan mereka saling berbagi,’’ ujarku dalam hati saat itu.

Pertunjukan Barongsai disertai alunan musik tradisional saat perayaan tahun baru Imlek 2567 di Kawasan Sekolah Methodist Peunayong Banda Aceh.(Foto: Dok pri).
Pertunjukan Barongsai disertai alunan musik tradisional saat perayaan tahun baru Imlek 2567 di Kawasan Sekolah Methodist Peunayong Banda Aceh.(Foto: Dok pri).
Saya melihat sepertinya Pemerintah Kota Banda Aceh dan masyarakat sangat mendukung kegiatan rangkaian Hari Raya Imlek yang diadakan oleh umat Tionghoa. Bahkan selesai acara umat Tionghoa dengan umat Muslim saling melakukan makan siang bersama.

“Kami sangat berterima kasih kepada ibu wali kota Banda Aceh Illiza Sa’adunddin Jamal yang telah mengayomi warga Tionghoa, sehingga dapat merayakan Imlek dengan aman dan dan lancar,” ucap salah seorang panitia saat acara penyambutan.

Salah seorang warga Tionghoa yang saya temui juga mengungkapkan jika ia merasa orang Aceh itu sangat toleran sehingga nyaman tinggal di Bumi Serambi Mekkah ini.

“Kami selalu bertoleransi dan berbagi kepada pemeluk agama lain, khususnya Islam, sehingga hubungan kami tetap harmonis,” ujarnya yang juga mengaku jika ia memiliki banyak teman orang Islam warga Aceh di sosial media, seperti Facebook dan Twitter. Tak jarang teman-teman yang mayoritas muslim yang ia kenal lewat media sosial tersebut sering bersilaturahmi ke rumahnya saat Imlek. Sehingga ia pun tak sungkan untuk melakukan hal yang sama saat Idul Fitri dan Idul Adha. Ia berharap toleransi dan keberagaman terus dipupuk.

Saya melihat, merasakan dan dapat belajar, jika toleransi dan kerukunan umat beragama  di Banda Aceh cukup baik, karena warga non-Muslim bebas beribadah sesuai agama dan keyakinannya. Seperti warga Tionghoa yang merayakan Imlek yang tidak merasa terganggu. Selain itu interaksi umat Islam dengan Tionghoa dan umat beragama lainnya juga terjalin dengan baik, sehingga tidak pernah terjalin konflik agama di daerah ini.

Dalam sebuah kesempatan ibu wali kota Banda Aceh Illiza Sa’adunddin Jamal juga pernah mengatakan di media saat menjelang peringatan Imlek. Dikatakannya, “Imlek merupakan bagian dari perayaan Hari Raya bagi warga Tionghoa, maka umat Islam harus dapat menghargai, demikian juga sebaliknya warga Tionghoa juga harus menghargai setiap kegiatan keagamaan umat Islam.” Namun beliau juga mengharapkan, dalam perayaan Imlek agar tidak berlebihan, seperti bakar mercon dan kembang api, sehingga tidak mengganggu warga Aceh yang mayoritas muslim.

***

Pada 19 Februari 2015 tahun baru Imlek 2566 di Jakarta, saya juga merasakan hal yang sama saat saat berkunjung ke Kelenteng Kong Miao rumah adat agama Khonghucu di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Di sana pun banyak pengujung yang muslim yang ingin melihat lebih dekat bagaimana ritual keagamaan warga Tionghoa dan pembagian angpau saat perayaan Imlek berlangsung. Suasana pun terasa akrab, tenang dan damai serta saling menghormati di antara para pengujung yang datang dengan umat Khonghucu etnis Tionghoa.

“Mengintip” Suasana perayaan Imlek di rumah ibadat agama Khonghucu,TMII, Jakarta. (Foto: Dok pri).
“Mengintip” Suasana perayaan Imlek di rumah ibadat agama Khonghucu,TMII, Jakarta. (Foto: Dok pri).
Saya pikir kita dapat belajar jika hari besar keagamaan dapat dijadikan momentum sebagai sarana untuk memupuk rasa toleransi dan solidaritas sosial yang tinggi di antara umat beragama terutama di era media sosial saat ini sehingga kerukunan umat beragama pun dapat terjaga,  seperti yang telah ditunjukkan saat peringatan Imlek di Banda Aceh dan di Jakarta.

Mari kita meningkatkan toleransi , tenggang rasa dan kesetiakawanan sosial yang tinggi kepada  umat beragama yang lain demi tercapainya kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Karena hidup rukun di dalam masyarakat sungguh banyak manfaatnya. Secara sederhana hidup rukun membuat kita punya banyak teman. 

Di saat susah akan ada yang menghibur, di saat senang kita akan berbagi bersama. Dan satu hal yang tak kalah penting, dengan hidup rukun kita dapat meraih prestasi. Karena apa? Ya! Karena kita dapat belajar, bermain dan melakukan kegiatan apapun secara bersama baik dengan orang-orang sama keyakinan dengan kita maupun dengan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Alangkah indahnya ketika kita melihat keakraban dalam kerukunan antar umat beragama di tengah-tengah kita. Kita akan saling menyayangi, menghormati, menghargai dan mengasihi.

***

Facebook dan Twitter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun