Pendidikan sudah menjadi kebutuhan primer atau prioritas nomor 1 bagi setiap keluarga, sehingga tak jarang dana pendidikan atupun asuransi pendidikan pun merupakan hal yang penting dalam sebuah keluarga, terutama bagi anak-anak demi mewujudkan impian atau cita-cita-nya di masa depan. Berbicara mengenai Dana Pendidikan ataupun Asuransi Pendidikan, barangkali ini adalah tujuan finansial paling emosional. Karena semua orang tua pasti ingin memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Meskipun mengetahui bahwa pendidikan adalah nomor 1, namun seringkali orang tua lupa untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk perencanaan dana pendidikan anak dan kalang kabut di awal tahun tahun ajaran untuk membayar uang daftar ulang ataupun membeli buku si anak. Ada sebuah kejadian yang saya ingat menyangkut uang/dana untuk membeli buku sekolah si anak dan kejadian ini juga menjadi alasan mengapa saya mengatakan dana pendidikan itu adalah tujuan finansial paling emosional. Waktu itu kami kedatangan seorang tamu, yang ternyata adalah teman lama mama ku, namanya ibu Rosma yang berprofesi sebagai penjual kue dan bahan makanan lainnya. Saat saya menyajikan minum ke ibu Rosma, saya sempat mendengar percakapan antara ibu Rosma dengan mamaku. Dalam percakapan tersebut ibu Rosma yang beranak satu ini mengeluh mengenai permintaan anaknya yang duduk di bangku kelas II sebuah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Kota Meulaboh Aceh. Penyebabnya adalah permintaan uang untuk membeli buku buat si anak yang jumlahnya hampir Rp. 500.000. Sebagian besar buku itu hanya untuk satu semester, bukan setahun.
“Semester depan juga sama, diminta 470.000 rupiah lagi, dan bukunya ternyata dibeli oleh ibu guru,” kata ibu Rosma kepada mamaku. Mamaku sempat kaget, namun tidak mengatakan apapun mendengar perkataan bu Rosma ini.
Mendengar isi percakapan mereka, saya pun sempat berujar dalam hati yang mungkin terbesit sama dalam hati mamaku,
“Masa beli buku sampai segitu?”
Bu Rosma rupanya melayangkan protes ke sekolah tempat anaknya belajar tersebut.
“Bukan saya aja yang protes, ibu-ibu lain juga melakukannya, bukan hanya lantaran uang senilai 470.000 rupiah itu yang memberatkan, tapi juga lantaran tidak semua buku tersebut memberikan manfaat besar bagi anak kami,” kata bu Rosma kepada mamaku.
“Iya benar juga, jumlah mata pelajaran kan banyak, gak mungkin juga kan si anak bisa menangkap semua yang ada di buku,” timpal mamaku.
“Iya, mestinya kan yang di beli satu-dua buku saja yang benar-benar perlu, lainnya kan bisa disiasati oleh guru atau difotokopi kek gitu,” kata bu Rosma terlihat kesal.
Dari beberapa percakapan yang saya dengar antara bu Rosma dengan mamaku, saya dapat menyimpulkan jika saat ini para orang tua yang menyekolahkan anak-anak nya ke sekolah-sekolah harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit ataupun butuh pengeluaran ekstra. Walaupun begitu, sepertinya para orang tua tetap gigih memperjuangkan agar anak-anaknya dapat bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Bagiamana tidak, seperti yang saya katakan, bagi para orang tua ataupun bagi semuanya, mengganggap bahwa pendidikan anak itu prioritas nomor 1, harapan orang tua kepada anak, dan juga harapan terhadap pembangunan serta kualitas hidup di masa mendatang. Karena pendidikan yang berkualitas menjadi penentu masa depan dan menjadi investasi masa depan. Semua orang tua menginginkan anaknya memiliki masa depan yang pasti. Tentu tidak ada orang tua yang ingin masa depan anak-anaknya kelak menjadi suram atau buram yang hanya menyisakan kemelaratan dan kemerosotan dalam hidup.
Kembali ke soal pendidikan, orang tua saya yang juga kebetulan berprofesi sebagai seorang pendidik selalu menyadarkan kami anak-anaknya akan pentingnya pendidikan dan belajar tanggung jawab mulai usia remaja. Mamaku pernah berkata kami “ketika masih kecil dan remaja, mungkin akan menganggap kalau sekolah itu membosankan. Tetapi karena mama sudah lebih dulu merasakan jadi kalian, jadi mama tahu kalau pendidikan itu penting dan mama tidak mau jika anak-anak mama menomorduakan pendidikan.”