Beberapa waktu lalu saya cukup terhenyak dengan berita di sebuah surat kabar nasional yang menampilkan hasil survey pada suatu seminar terhadap remaja oleh Dinas Kesehatan. Hasil survey tersebut antara lain; sekitar 16 juta anak perempuan berusia 15 sampai 20 tahun melahirkan setiap tahun dan orang-orang muda yakni 15 hingga 25 tahun, menyumbang sekitar 45 % dari semua infeksi HIV dari tahun 2010 sampai sekarang. Hasil survey tersebut berpangkal pada satu muara, yakni lebih dari 50 % para orang muda atau para remaja terutama pelajar tingkat SMA di Indonesia telah melakukan yang namanya seks pra nikah ataupun seks bebas. Seks bebas ini berujung pada kehamilan dan kelahiran sebelum menikah serta penyakit seksual menular. Hal tersebut tentu mengindikasikan bahwa pergaulan bebas atau perilaku menyimpang antar remaja di Indonesia sudah demikian parah. Mengapa hal ini dapat terjadi? Tentu ada berbagai faktor pendorong yang menjadi akar permasalahan. Dan ini menjadi masalah kita bersama terutama para orang tua dan para pengambil kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan ini demi melahirkan generasi muda Indonesia yang lebih baik. Bukankah masa depan bangsa ini berada di tangan para pemuda? Ingat anak-anak dan para remaja merupakan calon pemuda yang menjadi harapan dan tulang punggung sebuah bangsa.
Kembali pada pergaulan bebas atau perilaku menyimpang para remaja. Ada berbagai faktor pendorong terjadinya pergaulan bebas atau perilaku menyimpang di kalangan remaja. Pertama, tidak adanya teladan dan kontrol orang tua atau keluarga. Peran sentral orang tua atau keluarga memberikan pengaruh penting dalam kehidupan anak dan remaja. Fase remaja merupakan fase krusial di mana seseorang sedang dalam proses mencari jati diri. Menjadi remaja yang masih tergantung pada orang lain atau menjadi orang dewasa mandiri. Mampukan orang tua sekarang mengontrol kehidupan anak-anak mereka yang menjadi tanggung jawabnya? Apa yang mereka lakukan dalam keseharian dengan segala fasilitas yang diberikan, mulai dari uang jajan, sepeda motor, handphone dan fasilitas lainnya. Berbeda dengan pola kehidupan orang barat yang memberi kebebasan penuh untuk melakukan apapun. Remaja Indonesia harus sejak dini diajarkan perlunya ketaatan pada orang tua atau keluarga sebagai pengontrol dan gaya kehidupan mereka.
Kedua salah memilih teman dalam pergaulan. Remaja-remaja yang sedang mencari jati diri terkadang sangat mudah terpengaruhi oleh temannya. Apalagi saat ini dunia pertemanan menjadi sangat tidak terbatas dengan adanya jejaring sosial atu media sosial di internet seperti facebook, twitter dan lainnya. Remaja kadang membentuk suatu kelompok tersendiri yang berbeda dengan masyarakat tempat mereka hidup, terutama di media sosial. Kelompok-kelompok kecil atau grup tentu akan menghasilkan suatu ikatan dan budaya tersendiri yang melahirkan sebuah nilai yang khas yang dikenal dengan kultur remaja. Fungsi pertemanan sangat kuat, sehingga ada istilah anak gaul dan tidak gaul. Maka untuk mendapatkan gelar, atau dapat masuk dalam komunitas budaya remaja inilah, tidak jarang dilakukan berbagai upaya yang terkadang menyimpang dari nilai-nilai budaya yang lebih tinggi, berupa agama atau aturan-aturan hukum positif lainnya. Seperti seks bebas pastinya, tawuran, narkoba, prostitusi, aborsi membunuh bahkan LGBT.
Ketiga, uang. Uang di zaman konsumerisme saat ini menjadi sangat menentukan. Maka faktor uang menjadi salah satu penyebab anak-anak jatuh ke jurang pergaulan bebas. Karena ingin memakai gadget atau ingin memiliki barang-barang yang mewah, sebagian remaja rela dan nekat untuk melacurkan atau menjual diri demi mendapatkan uang. Pada awalnya mungkin bukan sebagai pelacur, tetapi korban percintaan yang salah urus. Lalu terjerumus dalam dunia pelacuran, atau bisa juga korban perdagangan manusia.
Keempat, iman yang lemah. Ini sebenarnya menjadi kunci permasalahan dari banyak terjadinya perilaku menyimpang. Remaja yang dalam jiwanya tidak tumbuh nilai-nilai agama, maka dalam bersikap dan melakukan suatu perbuatan tidak berdasarkan pertimbangan nilai. Seperti seorang remaja yang terbiasa dengan tontonan porno, maka aktivitas ini akan dilakukan terus menerus. Lalu secara perlahan dirinya akan terdorong melakukan tindakan tersebut secara langsung. Dan ironisnya, jika si remaja tersebut tidak dapat melakukannya sesuai norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, maka tindakan pemerkosaan pun dapat terjadi, yang kemudian dapat berkembang dengan tindakan aborsi bahkan pembunuhan, seperti kasus Yuyun di Bengkulu beberapa waktu lalu misalnya.
Pemahaman dan kesadaran iman yang rendah, berdampak pada perilaku maksiat yang cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain. Jika perilaku maksiat ini dilakukan secara berjamaah, maka fenomena ini juga menimbulkan patologi sosial atau gejala-gejala sosial yang dianggap menyimpang/sakit pada sebuah daerah, seperti pada kasus Yuyun di daerah Bengkulu.
Menurut para pakar seksiolog, terjadinya seks bebas di kalangan remaja, juga disebabkan adanya proses westernisasi di Negara kita. Westernisasi adalah suatu perbuatan seseorang yang mulai kehilangan jiwa nasionalismenya, yang meniru atau melakukan aktivitas bersifat ke barat-baratan (budaya bangsa lain). Ciri-cirinya ternyata seperti yang saya utarakan di paragraf-paragraf di atas, antara lain gaya hidup seakan-akan bebas tanpa mengenal nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, gaya hidup konsumerisme (boros) dan tindakan pergaulan bebas serta berbagai perilaku menyimpang. Dalam westernisasi, pola hubungan antar jenis menjadi sangat liberal, dari masyarakat yang dulunya sangat peka terhadap permasalahan tersebut.
Perlu Upaya Nyata
Upaya nyata yang dapat diambil oleh para pihak yang berkepentingan, mulai dari keluarga dan sektor pemerintah baik formal maupun informal untuk memberi penyelesaian akan masalah penyakit sosial ini.
Pertama, penguatan keluarga. Setiap keluarga harus menyadari bahwa mereka adalah sebuah lembaga yang di dalamnya ada peserta didik yakni anak-anak mereka. Maka dari itu, kondisi keluarga menjadi sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak hingga masa remaja. Memberi pendidikan terbaik di dalamnya adalah tugas utamanya. Proses pendidikan dalam keluarga tentunya berlangsung tanpa batas waktu dan kurikulum, walau di sana harus ada tujuan untuk menjadikan keluarga yang mawaddah wa rahmah.
Curahkan perhatian kepada anak, terutama ketika mereka mengijak usia remaja, misalnya terkait dengan jejaring sosial dan internet. Karena kita tahu masa remaja merupakan masa transisi dalam mencari jati diri. Maka peran sentral orang tua atau keluarga sangat penting dalam mengarahkan remaja agar memiliki karakter dan pribadi yang baik. Jadilah keluarga sebagai tempat yang nyaman bagi anak dan remaja untuk mencurahkan berbagai permasalahannya.
Perhatikan juga lingkungan pergaulan, teman- teman bermain anak, termasuk di lingkungan sekolah. Karena selain keluarga, lingkungan juga dapat menjadi tempat untuk pembentukan karakter seorang anak. Kondisi lingkungan sekolah yang tidak baik akan memberikan peluang besar bagi remaja untuk berperilaku menyimpang. Maka dari itu sangat diperlukan adanya komunikasi yang baik antara anak dan orang tua. Dengan banyaknya komunikasi yang baik antara anak dan orang tua, diharapkan anak akan memiliki karakter yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan yang buruk sekalipun.
Kedua, pemerintah melalui berbagai lembaga bentukan selain dari BKKBN seperti MUI, MPU, Dinas Syariat, Polisi Syariat dan Departemen Agama, harus lebih aktif mengakrabi dunia remaja. Belum terlihat ada suatu kegiatan yang massif selain sekolah yang sangat formal untuk tempat remaja mengakrabi dan dapat masuk ke sana untuk mendapatkan pelayanan dan bimbingan dari mereka. Di sisi lain pemerintah juga harus lebih memperkuat sisi penghukuman atau penegakan hukum secara tegas yang memberi efek jera bagi para pelaku. Bahkan jika perlu hukuman maksimal harus diberikan kepada pelaku kejahatan seperti ini.
Ketiga, perlunya diarahkan para remaja pada kegiatan-kegiatan keremajaan yang lebih positif dalam menghabiskan waktu luangnya. Karena salah satu cara yang dapat dilakukan oleh remaja untuk dapat terus berada dalam lingkaran kebaikan adalah dengan melakukan aktivitas atau kegiatan positif dan bermanfaat, seperti berorganisasi.
Anak-anak di rumah tangga dan di setiap sekolah harus lebih dibiasakan untuk berorganisasi, seperti Pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), Rohani Islam (Rohis), Organisasi Remaja Islam (Oris) atau remaja mesjid dan lainnya. Namun sayangnya kita melihat kegiatan keorganisasian ini tidak mendapat perhatian serius terutama dari banyak sekolah yang ada di Indonesia. Karena sudah sangat sibuk dengan muatan kurikulum yang seakan tidak pernah habis. Padahal kegiatan keorganisasian tersebut memiliki peran besar dalam membentuk karakter remaja. Di dalam masyarakat sebenarnya juga harus lebih banyak digiatkan atau diaktifkan kegiatan yang sama untuk dapat menjadi wadah para remaja mengefektifkan penggunaan waktu sehingga tidak terjerumus pada kegiatan negatif, narkoba di tempat hiburan misalnya.
Di sisi lain pemerintah juga harus menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan keorganisasian para remaja, yang mana para remaja dapat mengasah dan mengembangkan apa yang diminatinya. Maka remaja akan lebih memiliki potensi untuk maju dan berkembang.
Keempat, pendidikan seks, pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan agama yang benar. Pendidikan seks (sex education) kesehatan reproduksi dan agama juga menjadi solusi dalam penyelesaian masalah pergaulan bebas atau seks bebas di kalangan remaja. Namun suatu ironi yang terjadi, di mana masih banyak dari kita terutama orang tua yang tabu akan pendidikan seks, menganggap pendidikan seks hal yang tabu untuk dibicirakan pada anak, bahkan ada yang alergi dan menghindar jika anak bertanya seputar seksualitas dan mendengar kata pendidikan seks. Banyak di antara mereka beraksi secara berlebihan, bahwa ini dianggap mengajarkan pornografi. Padahal dalam perkembagan hidup anak, kita sering mendengar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak yang seringkali muncul secara spontan dari apa yang dilihat dan didengar dari lingkungan sekitarnya, seperti:
“Ma, menstruasi dan mimpi basah itu apa sih?”
“Adik bayi itu keluarnya dari mana ya ma?”
“Kok bisa bisa adik bayi lahir dari perut mama?”
“Kenapa burung aku kalau pagi berdiri ya?”
“Kenapa payudara Mama besar dan aku tidak?”
Intinya dalam perkembangan hidup anak, minat terhadap masalah seks sebenarnya muncul pada setiap anak pada setiap tahapan usia. Sehinga mereka akan banyak menanyakan kenapa begini? kenapa begitu? Terkait seksualitas, namun banyak dari kita orang tua tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga memilih untuk diam atau meminta anak untuk tidak bertanya lagi. Padahal saat-saat anak menannyakan hal tersebut, merupakan saat yang paling tepat bagi orang tua menjelaskan seputar seksualitas secara edukatif.
Justru sangat dianjurkan orang tualah yang seharusnya memulai komunikasi dan diskusi agar anak mengetahui hal-hal yang pantas mereka ketahui, jika sang anak dirasa malu menanyakan kepada orang tua. Namun orang tua bahkan sering panik jika anak mulai bertanya atau bereaksi pegang-pegang alat kelamin. Padahal, anak memegang kelamin itu bagian dari fase eksplorasi mengenal tubuh mereka. Secara alamiah, dalam masa pertumbuhan manusia, ada fase-fase di mana anak akan melakukan ekslorasi terhadap tubuh mereka, sehingga anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mengetahui apa yang terjadi dengan setiap bagian tubuhnya.
Alangkah baiknya jika si orang tua juga mulai memperkenalkan setiap bagian tubuh kepada anak, termasuk area genital atau alat kelamin dan memberitahukan fungsinya masing-masing. Bahkan ketika anak dilatih untuk belajar mandi sendiri, mereka juga belajar mengenai anggota tubuh. Dan seiring pertambahan usia, situasi ini selain belajar tentang kebersihan, juga mengajarkan untuk membedakan anatara sentuhan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, baik diri sendiri maupun orang lain.
Anak belum mampu berpikir tentang sebab akibat, sehingga sulit bagi semua anak untuk berkata “tidak” atau “menolak” hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan anak. Makanya anak-anak sering menjadi korban dari pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual seperti perkosaan atau pencabulan terutama oleh orang terdekatnya sendiri, seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, kakek bahkan saudara laki-laki. Di saat berusia remaja (13-20 tahun), anak yang mengalami pelecehan seksual tersebut, tentu akan teringat akan perbuatan tersebut. Karena tidak teredukasi, mereka berfikir jika pelecehan yang dialaminya tersebut adalah hal yang tidak berdampak, maka mereka ingin merasakannya atau mengulanginya kembali pada lawan jenis yang mereka sukai terutama saat memasuki usia puber.
Kita lihat saja kasus-kasut pelecehan seksual terhadap anak terus saja meningkat setiap setiap tahunnya. Kasus kekeraan seksual terhadap anak pada tahun 2015 telah mancapai sekitar seribuan lebih, dimana hampir 20 kasus dilakukan oleh ayah kandung sendiri dan ada sejumlah seratus lebih kasus dilakukan oleh ayah tiri. Hal ini tentu miris mengingat anak yang seharusnya dilindungi dan dijaga, malah sebaliknya menjadi target kejahatan orang tua. Di saat remaja anak-anak ini masa depannya tentu akan berakibat fatal.
Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi sejak dini bukan hal yang tabu, dan akan lebih baik anak-anak mendapat pendidikan tersebut dari orang tua secara bijak daripada tempat lain yang belum tentu benar. Karena ketika seorang anak merasa tidak nyaman menanyakan hal-hal yang ingin mereka ketahui kepada orang tua, mereka akan berusaha mencari jawaban dari tempat lain. Padahal orang tua atau keluarga harusnya menjadi sumber pendidikan pertama dan utama yang harus dapat dipercaya oleh anak, daripada melalui teman, televisi, gadget ataupun internet yang mengadung situs porno.
Tanpa edukasi yang benar, akan menimbulkan perilaku seksualitas menyimpang. Inilah perlunya komunikasi edukatif dari orang tua, dan bagaimana komunikasi tersebut dibangun dengan anak agar anak dapat membentengi diri sendiri dan lebih bertanggung jawab dengan segala perilakunya. Namun perlu juga diperhatikan, komunikasi harus disesuaikan dengan usia anak. Misal jika orang tua melihat anaknya yang masih kecil tiba-tiba melihat tayangan di televisi yang berbau seksualitas ataupun pornografi, orang tua dapat mengalihkan ke hal-hal lain dengan respon yang sederhana, tanpa membuat sang anak bertanya-tanya ada apa dengan tayangan itu sehingga orang tua terlalu ketat menjaganya.
Jadi orang tua atau keluarga harus membekali anak-anak-nya dengan pendidikan seks dan pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini, terutama pada anak perempuan. Bukankah korban kejahatan seksual atau pelecehan seksual umumnya terjadi pada remaja perempuan? Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi sejak dini mengajarkan anak-anak tentang fungsi reproduksinya dengan benar, terbuka dan sopan. Seperti pada anak perempuan, mereka harus tahu, mengerti dan memahami betapa mereka harus menghargai tubuh mereka. Tidak seorang-pun yang dapat melakukan hal-hal yang di luar kesopanan, termasuk dari ayah kandung ataupun ayah tiri mereka sendiri. Jadi curahkan perhatian kepada anak, terutama ketika mereka mengijak usia remaja khususnya terkait dengan pendidikan seks dan reproduksi.
Anak yang diberi bekal pendidikan dan pemahaman seksualitas sejak dini, maka anak akan tahu fungsi reproduksinya dan dampak dari penyimpangan prilaku orang dewasa. Ketika mereka tahu, maka anak-anak ataupun saat mereka remaja dan dewasa akan mempunyai pola pikir kuat mengenai batasan-batasan yang boleh dilakukan dan yang tidak, yang benar dan yang salah. Sehingga diharapkan dapat menjaga, membentengi diri sendiri ataupun menyelamatkan diri serta mampu untuk berkata “tidak” atau “menolak” dari kerusakan moral yang mengancamnya.
Pendidikan seks di sini adalah pendidikan seks yang berlandaskan moral yang di dalamnya mengadung nilai-nilai moral agama, serta pemahamannya mudah untuk dipahami oleh anak-anak dan para remaja. Bukan pendidikan seks ala barat dengan pola pikir bebas yang diajarkan dalam proses pendidikannya.
Pendidikan seks ala barat yang diajarkan ternyata telah menimbulkan rasa keingintahuan dan ingin mencoba hubungan seksual antar remaja yang berujung pada penyakit seksual menular seperti Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome ( HIV/AIDS) serta dan Sindroma Premenstrual (PMS). Seperti adanya kegaiatan sex party para pelajar SMA di Jakarta yang pernah diberitakan atau diisukan oleh media massa dan elektronik beberapa waktu yang lalu. Maka dari itu pendidikan seks yang saya maksud juga penting dalam pencegahan penyakit seksual menular. Saat ini, hanya 30 % laki-laki muda dan 20 % wanita muda yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dan benar yang mereka butuhkan untuk melindungi diri dari tertularnya virus HIV/AIDS maupun virus PMS.
Kekuatan iman adalah suatu panel kontrol bagi remaja bila memang mereka ditanamkan nilai-nilai tersebut, terutama di dalam keluarga. Jadi menananmkan pendidikan agama sebagai dasar yang kuat dalam keluarga, akan membentuk karakter dan pribadi anak yang juga kuat dan baik. Inilah yang saya pikir akan menjadi benteng yang kuat dan paling ampuh yang harus menjadi pegangan dalam perkembangan karakter dan masa depan anak dan kalangan remaja.
***
Berbagai upaya di atas saya yakin tentu akan mendorong anak-anak kita terutama yang remaja terhindar dari yang namanya pergaulan bebas yang memicu timbulnya tindakan seks bebas, bahkan perilaku-perilaku menyimpang lainnya. Dan juga dapat mendorong setiap remaja untuk merencanakan prestasi hidupnya sejak dini, serta berperan dalam pembangunan bangsa. Segera lindungi anak dan remaja kita dari perilaku menyimpang, demi menyelamatkan dan membangun generasi emas Indonesia yang sehat, kuat, dan berkarakter positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H