Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saatnya Percepat Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan Hingga ke Pelosok Negeri

21 April 2016   20:54 Diperbarui: 21 April 2016   21:18 2332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Foto: gereports.co.id "][/caption]Listrik amat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan energi listrik makin hari terus semakin meningkat, tetapi di sisi lain PT PLN(Persero) memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan tenaga listrik. Ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan tenaga listrik tersebut, menimbulkan krisis energi berkelanjutan yang dapat berakibat terganggunya roda pembangunan dan pengembangan perekonomian wilayah.

Saat ini diperkirakan sebanyak 12.659 desa atau 15 persen dari seluruh desa di Indonesia belum memperoleh akses listrik dari jaringan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bahkan, 2.519 di antaranya belum terlistriki sama sekali alias gelap pada malam hari. Desa-desa tersebut sebagian besar tersebar di Provinsi Papua dan di kawasan Indonesia Timur lainnya. Berarti sekitar 65.000 desa atau 85 persen dari seluruh desa sudah teraliri listrik dari PLN. Dari sisi aset maupun bisnis, PLN terus menunjukkan peningkatan yang signifikan. Penjualan listrik menunjukkan pertumbuhan cukup pesat, yakni sekitar 7 %  per tahunnya. Namun kondisi ini tidak diimbangi pertumbuhan aset yang mendukung penjualan itu sendiri.

Untuk meningkatkan kuantias, mutu, kapasitas, dan kehandalan sistem kelistrikan di Indonesia mendorong PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) meluncurkan program Listrik Pintar atau yang biasa disebut dengan listrik prabayar. Penyediaan tenaga listrik prabayar secara kontinyu diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu pemerintah juga telah menargetkan penyediaan akses penerangan bagi masyarakat secara merata melalui pembangkit listrik 35.000 Mega Watt, khususnya bagi 12.659 desa yang belum memperoleh akses listrik PLN. Salah satu upaya yang dilakukan adalah meluncurkan Program Indonesia Terang (PIT) untuk meningkatkan rasio elektrifikasi (rasio rumah tangga yang telah dialiri listrik dengan jumlah seluruh rumah tangga) dari 88 persen pada Tahun 2015 menjadi 97 persen di tahun 2019. Dari program ini, dalam kurun waktu 2016-2019 sebanyak 10.700 desa harus segera ditargetkan teraliri listrik dengan total kebutuhan daya mencapai 500-1000 MW sehingga elektrifikasi meningkat menjadi 97 persen.

[caption caption="Sumber: Dewan energi nasional (www. den.go.id)"]

[/caption]Ketersediaan listrik menjadi bagian penting faktor pendorong daya ekonomi masyarakat bahkan ke pulau-pulau yang sulit terjangkau. Selama ini kebutuhan listrik di daerah kepulauan masih sangat kekurangan, baik kebutuhan RT maupun industri. Seperti yang telah dikatakan, desa-desa di Indonesia yang belum memperoleh akses listrik dari jaringan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagian besar tersebar di kawasan Indonesia Timur. Apalagi kawasannya juga ketertinggalan dan kesulitan akses. Jadi, sangat penting Program Indonesia Terang (PIT) harus dimulai dan digarap segera untuk provinsi-provinsi paling timur Indonesia yakni Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku dan Maluku Utara.

[caption caption="Program Indonesia Terang jadi Impian Wilayah Timur Indonesia. Kebijakan dari pemerintah harus sejalan dengan tujuan agar dapat memberikan pasokan listrik ke wilayah Indonesia Timur (Foto: Hatree.net #Indonesia). "]

[/caption]Melistriki desa-desa tertinggal yang letaknya jauh dan tersebar di pelosok-pelosok negeri seperti di kawasan timur Indonesia saya pikir memang membutuhkan pendekatan khusus, karena desa-desa di wilayah ini umumnya sulit dijangkau dengan moda transportasi biasa atau belum memadai (pra)sarana transportasinya. Populasi penduduk umumnya sedikit dengan tingkat kepadatan yang rendah. Implikasinya, membangun jaringan listrik PLN ke desa-desa seperti itu menjadi mahal, yang dalam hitung-hitungan ekonomi PLN akan rugi. Oleh karenanya pemerintah perlu dan segera memberikan perhatian lebih khusus kepada masyarakat di desa-desa tertinggal ini supaya mereka dapat segera terlayani listrik. Jadi agar 100 % rumah tangga di Indonesia sudah dapat dijangkau oleh layanan listrik, tentu dengan syarat rumah-rumah tangga tersebut sudah terjangkau infrastruktur jalan apabila hendak dialiri listrik. Kita jangan lupa bahwa saudara-saudara kita yang di pulau-pulau kecil juga membutuhkan listrik. Dan yang saya ketahui, PLN juga sudah menyiapkan CPO (Crude Palm Oil) Engine yang memungkinkan masyarakat di pelosok menikmati listrik dengan minyak mentah kelapa sawit.

Dalam rangka mengimplementasikan PIT, strategi pertama yang dilakukan adalah memaksimalkan energi terbarukan dan memanfaatkan energi setempat di berbagai daerah di Indonesia. Alih-alih harus mengimpor energi dari luar desa, energi setempat ini kuat hubungannya dengan energi terbarukan, apakah itu energi surya, air, angin, biomassa hingga arus laut. Dengan memanfaatkan energi setempat, pembangunan pembangkit dan transmisi listrik dapat dibangun secara lokal (off-grid), berbasis desa atau pulau, sehingga tak harus menunggu datangnya jaringan listrik dari pusat. Kemudian Pusat Keunggulan Energi Bersih (PKEB) diharapkan dapat menyiapkan teknologi energi terbarukan yang terjangkau, dimanfaatkan dan diakses masyarakat di berbagai pelosok. Pusat tersebut juga dapat mencetak tenaga ahli yang terampil mengimplementasikan PIT berbasis energi terbarukan dan menyiapkan sumber daya lokal yang siap pakai serta bekerja sama dengan berbagai lembaga pendidikan di banyak daerah.

[caption caption="Sumber Gambar: pusluh.kkp.go.id"]

[/caption]Pusat Keunggulan Energi Bersih yang sedang dikembangkan di Bali akan menyiapkan teknologi energi terbarukan yang dapat terjangkau dan menjangkau masyarakat. Pusat ini juga akan membina dan melatih para pemuda untuk menjadi tenaga terampil dalam mengimplementasikan PIT berbasis energi terbarukan. Bekerja sama dengan berbagai lembaga pendidikan pada berbagai tingkatan di banyak daerah, Pusat ini menyiapkan sumber daya lokal agar siap pakai dan siap tempur.

Pemerintah mustahil melakukan PIT sendiri. Dibutuhkan keterlibatan sejumlah pemangku kepentingan. Pemuda Indonesia yang dididik melalui berbagai lembaga pendidikan di dalam maupun luar negeri akan menjadi ujung tombak program ini. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengembangkan program Penggerak Energi Tanah Air (PETA) dan mengajak para pemuda untuk bergabung dan menjadi pionir PIT.

Keterlibatan swasta dalam program ini juga penting, terutama sebagai mitra pemerintah dalam mengembangkan listrik pedesaan. Kebijakan pengembangan listrik lokal (off-grid) menawarkan kesempatan luas bagi swasta untuk berpartisipasi dalam PIT bekerja sama dengan pemerintah pusat maupun daerah, dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, hingga bahkan badan usaha milik desa.

Hambatan pembangunan kelistrikan selama ini dan tantangannya mendatang

Dalam mendorong percepatan pembangunan kelistrikan di Indonesia, menurut saya yang utama perlu adanya regulasi khusus yang mengatur tentang ini. Di sisi lain, program provinsi dan daerah-daerah di Indonesia harus fokus dan bersinergi. Percepatan pembangunan kelistrikan memerlukan dukungan nyata dari setiap pemangku kepentingan seperti para pemasok energi, pembangkitan transmisi, distribusi, produsen peralatan, konsultan, kontraktor hingga konsumen. Terlebih lagi tantangan yang dihadapi mendatang semakin berat. Jadi memajukan kelistrikan di negeri ini memang bukan hanya tugas PLN saja, tapi merupakan tugas kita bersama. Untuk itu perlu juga gagasan dan terobosan dari semua pihak agar kita dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan mampu melewati tantangan mendatang.

[caption caption="Sumber: Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2015 - 2024."]

[/caption]Dalam 5 tahun mendatang, PLNIndonesia bersama swasta harus dapat membangun pembangkit sebesar 35.000 MW, dua kali lipat dari kemampuan kita membangun pembangkit dalam lima tahun terakhir ini. Saat ini dalam 5 tahun terakhir, PLN bersama dengan swasta hanya berhasil membangun pembangkit 14.400 MW atau rata-rata 3.000 MW per tahun. Dalam 10 tahun mendatang, sesuai RUPTL (Rencana Umum Pembangunan Tenaga Listrik) 2013-2022, rencana pembangunan pembangkit baru itu mencapai 60.000 MW hingga 70.000 MW  atau 30.000 MW hingga 35.000 MW dalam 5 tahun mendatang. Dimana sebanyak 15.000 MW dibangun oleh PLN dan sisanya 20.000 MW oleh swasta. Berarti dalam 5 tahun mendatang kita harus membangun pembangkit 2 kali lipat dibanding dengan yang telah dibangun dalm 5 tahun terakhir. Saya yakin 5 tahun ke depan, PLNdapat membangun 35.000 MW mengingat dana yang dikeluarkan tidak sedikit maupun swasta. Kapasitas 35.000 MW sudah dapat menompang pertumbuhan ekonomi sebanyak 7 %. Sementara data yang dikeluarkan Kementerian Keuangan dalam Nota Keuangan dan APBN 2015 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi  di 2015 masih berkisar antara 5-6 %.

Komitmen Jokowi untuk merealisasikan proyek pembangkit baru sebesar 35.000 MW juga perlu ditanggapi secara serius. Karena pada kenyataaannya, untuk menaikkan kapasitas listrik 10.000 MW saja per Tahun dalam rangka menggenjot produktivitas ekonomi dan pembangunan masih memiliki berbagai kendala yang belum dapat ditangani dengan baik dan tuntas. Bukan saja dari PLN namun faktor penunjang lainnya. Sejatinya, dalam rangka menjawab tantangan tersebut, PLN sejak dini harus sudah melakukan berbagai langkah dan inovasi penunjang. Ke semuanya diimplementasikan secara sinergis pada sisi perencanaan-pengadaan-kontruksi, operasi, niaga maupun pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Pengembangan SDM terutama terkait integritas, kompetensi dan juga semangat menjadi salah asset penting untuk menghadapi berbagai tantangan dan peluang bagi PLN di masa depan.

[caption caption="Sumber:listrik.org/pln/35000-mw-untuk-indonesia/"]

[/caption]

Besarnya kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang diprediksi akan tetap tinggi dalam 10 tahun mendatang. Sehingga permintaan tenaga listrik diperkirakan akan tumbuh antara 8% dan 9% setiap tahunnya. Untuk memenuhi kebutuhan tambahan kapasitas tersebut, pembangkit yang dibangun masih mengandalkan pada bahan bakar yang persediaannya terbanyak, yaitu batubara sekitar 65 % pembangkit, sementara gas 20 % dan sisanya energi baru dan terbarukan, terutama panas bumi dan tenaga air. Makin besarnya kapasitas pembangkit berikut transmisi dan gardu induk yang harus dibangun, tentu saja merupakan tantangan berat. Apalagi, begitu banyak kendala dalam 5 tahun terakhir ini sehingga pembangunan proyek-proyek infrastruktur ketenagalistrikan banyak yang terhambat, baik proyek PLN maupun swasta atau IPP (Independent Power Producer).

Dapat diketahui persoalan-persoalan yang dihadapi adalah masalah yang menyangkut regulasi (kebijakan), pendanaan dan kemampuan dalam negeri. Dalam 5 tahun terakhir banyak masalah regulasi yang menghambat percepatan pembangunan kelistrikan hingga ke pelosok-pelosok. Masalah-masalah yang menyangkut regulasi, khususnya soal pengadaan tanah atau lahan yang merupakan masalah klasik. Hambatan dalam pengadaan lahan ini tidak hanya terjadi terhadap lahan-lahan milik publik, tetapi juga milik Negara atau lembaga-lembaga pemerintahan. Terkadang pengurusan tanah milik Negara lebih sulit dan lama ketimbang milik warga. Tetapi dalam kurun waktu tersebut pemerintah juga telah memperbaikinya dan terus memperbaikinya. Salah satu langkah penting yang telah diambil pemerintah contohnya dengan diterbitkannya SK Menteri tentang penugasan khusus kepada PLN terkait masalah pembebasan lahan. Dengan SK Menteri itu maka PLN sekarang bisa memakai UU No 2 Tahun 2012 tentang Pertanahan, di mana di dalamnya ada ketetapan yang mengandung unsur paksaan terkait pembebasan lahan. Dan bukan hanya PLN saja dapat memakai unsur paksa dalam pembebasan lahan, IPP juga dapat dalam kaitan untuk kepentingan umum. Contohnya pada kasus proyek PLTU Batang (2x100 MW) di Jawa Tengah, dimana IPP telah menerbitkan surat penugasan khusus untuk pembebasan lahan proyek yang berada di lokasi strategis.

Selama ini, pada saat PLNmembangun 200 atau 300 tower untuk jaringan transmisi selalu ada beberapa tower yang tidak dapat terpasang, karena tidak ada unsur paksa untuk dibebaskan terhadap pemilik lahan yang bertahan. Padahal, kalau dari 300 ada 1 tower saja yang tidak dapat dibangun atau dipasang, maka seluruh proyek menjadi terhenti. Kasus tersebut banyak terjadi di lapangan. Semoga saja jangan sampai industri ketenagalistrikan tidak berjalan karena regulasi atau kebijakannya tidak mendukung. Tanpa kebijakan dan aksi "berpihak" Pemerintah, desa-desa pelosok negeri Indonesia akan mustahil bisa mengenyam listrik sesuai target yang telah dicanangkan.

Pendanaan dari dalam negeri terutama dari APBN, juga ternyata tidak gampang. Tetapi bukan dalam arti mendapatkan pendanaannya, melainkan dalam hal mengelola anggarannya, khususnya untuk proyek-proyek ketenagalistrikan yang sifatnya multi-years. Sangat banyak aturan-aturan, prosedur dan tata cara yang harus ditempuh agar pemanfaatan dana APBN ini bisa dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak menjadi masalah di kemudian hari. “Selain prosesnya cukup panjang, dalam kondisi demikian banyak orang yang akhirnya tidak berani mengambil keputusan untuk dapat mempercepat pembangunan melalui dana-dana APBN.

Faktanya, dari sekitar 65 IPP yang akan membangun pembangkit dan sudah memiliki kontrak Power Purchase Agremeent (PPA) dengan PLN, hanya 25 % saja yang berhasil. Utamanya bersumber pada kendala perolehan dana investasi dari institusi pendanaan. Pendanaan melalui pinjaman dengan skema Government to Government (G to G), juga mengalami hambatan. Proses pendanaan melalui bantuan pinjaman antar pemerintah ini memerlukan waktu sangat panjang. Pengalaman PLN selama ini menunjukan rata-rata memakan waktu 3 tahun, yaitu sejak proyek itu diiniasi sampai dengan dimulainya tahap kontruksi.

Masalah proses pengadaan yang terkait dengan kemampuan industri dalam negeri untuk ikut membangun fasilitas ketenagalistrikan ternyata juga masih lemah. Kalau bicara pembangkit, saat ini sudah lebih dari 30 perusahaan Engineering Procurement dan Construction (EPC) pembangkit yang ada di Indonesia. Tetapi, hanya beberapa saja perusahaan dalam negeri yang berhasil membangun pembangkit listrik sampai saat ini. Pada 2010, dana untuk program listrik pedesaan hanya mendapat Rp 500 miliar. Dengan dana sebesar itu, material-material distribusi utamanya mampu dipasok dari industri dalam negeri. Tahun 2012 dana listrik pedesaan meningkat sekitar 3 triliun atau naik 6 kali lipat. Ternyata industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan material yang jauh lebih besar. Banyak pekerjaan yang tertunda dan akhirnya terpaksa impor. Celakanya lagi, barang-barang yang diimpor tersebut setelah diuji di laboratorium banyak yang tidak memenuhi syarat.

Hal sama terjadi pula di sisi pembangkit. Pada 2011 PLNmenggagas pembangunan pembangkit-pembangkit skala kecil (7-10 MW) di mana material utamanya diharapkan dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri. Tetapi setelah disurvei dan diteliti, dari 90 bengkel atau pabrikan boiler di seluruh Indonesia, hanya sekitar 12 bengkel yang memenuhi syarat. Dan saat ini bahkan tinggal sekitar 5 bengkel yang masih bisa membangun boiler.

Mengenai ketahanan energi listrik di masa mendatang, saya pikir sangat penting diterapkannya kebijakan penggunaan energi primer untuk pembangkit dalam 10 tahun mendatang dan pembangunan pembangkit dari energi baru dan terbarukan (EBT) yang sejalan dengan implementasi PIT. Penggunaan energi primer yang didasarkan pada ketersediaannya yang banyak dan harganya yang relatif murah sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan percepatan ekonomi nasional. Seperti, batubara yang tahun lalu prosentase energi mix-nya sebesar 51 %, akan dapat dinaikkan sampai 2022 menjadi 65%. Lalu gas sebesar 20 % dan sisanya EBT terutama panas bumi dan air.

Sesuai hasil kajian mengenai cadangan energi primer di Indonesia, mulai 2022 perlu kehadiran pembangkit listrik tenaga nuklir. Dengan pertumbuhan ekonomi yang rata-rata di atas 7 % maka perlu tambahan listrik yang besar pula. Di sisi lain, penggunaan batu bara tidak mungkin terus digenjot, selain cadangannya akan mulai menipis, juga agar tidak melebihi batas emisi yang disepakati dalam perjanjian Kyoto Protocol. Dengan cara itu saya yakin kebutuhan listrik akan terpenuhi hingga ke pelosok-pelosok Indonesia serta masaah emisi juga akan dapat dikendali.

Berbicara mengenai  pembangunan pembangkit dari energi baru dan terbarukan (EBT), energi terbarukan tersedia dalam jumlah yang berlimpah di Indonesia, diperkirakan lebih dari 300.000 megawatt, namun pemanfaatannya masih sangat minim, kurang dari 3%. Kendala utama pemanfaatan energi terbarukan adalah akses kepada teknologi energi ini yang masih terbilang mahal. Kendatipun sumber energinya dapat diperoleh tanpa bayar, tak ayal jatuh-jatuhnya harga satuan listrikpun mahal juga. Oleh karenanya, Pemerintah perlu menyiapkan teknologi energi terbarukan yang terjangkau harganya dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di pelbagai pelosok.

[caption caption="Sumber: katadata.co.id"]

[/caption]Selain PLTP (Panas Bumi), sampai saat ini pemerintah dan PLN terus mendorong pembangunan PLTMH (Mikro Hidro) di bawah 10 MW kepada pihak swasta. Namun pada saat ini PLN mempunyai sekitar 190 kontrak PLMH, tetapi yang berjalan pembangunannya tidak sampai 15 %. Hambatannya bermacam-macam, ada yang terbentur masalah pendanaan, ada pula yang terkendala masalah engineering, pengadaan lahan dan lain-lain.

Listrik adalah gerbang menuju Indonesia maju. Dengan listrik, masyarakat Indonesia di daerah terpencil akan menikmati akses atas penerangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, kesempatan kerja yang luas, tingkat keamanan yang lebih terjamin, hingga kehidupan sosial yang lebih bermartabat. Langkah strategis menjadi kunci utama sekaligus pendukung kesuksesan dalam pencapaiannya. Semoga masyarakat Indonesia bersama Program Indonesia Terang (PIT) dapat berperan aktif dan positif dalam peningkatan rasio elektrifikasi di Indonesia dan penghematan energi sehingga seluruh rakyat Indonesia harus dipastikan memiliki akses terhadap energi.

[caption caption="Sumber:bheleque.wordpress.com"]

[/caption]Penghematan energi menjadi bagian penting untuk dilakukan dan harus menjadi budaya (budaya hemat energi). Kita tahu kondisi kelistrikan di beberapa provinsi di Indonesia juga mengalami defisit. Untuk itu pentingnya semua elemen, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan PLN untuk bersatu agar krisis listrik yang terjadi dapat berakhir. Semua elemen tersebut harus bersatu untuk mendukung pembangunan pembangkit-pembangkit listrik baru dan melakukan gerakan penghematan listrik serta sinergi dalam menyelesaikan krisis listrik. PLN sendiri juga harus terus berupaya melakukan sosialisasi ke pelanggan agar melakukan penghematan listrik. Salah satunya adalah dengan menghimbau pelanggan industri agar dapat memakai genset pada waktu beban puncak yakni pukul 17.00 – 22.00 WIB, sehingga diharapkan defisit listrik dapat berkurang. Selain itu juga terus berupaya membangun leadership dan perubahan mindset yang bermuara pada kepuasan pelanggan.

Sumber Bacaan (Referensi):

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun