Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saatnya Percepat Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan Hingga ke Pelosok Negeri

21 April 2016   20:54 Diperbarui: 21 April 2016   21:18 2332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komitmen Jokowi untuk merealisasikan proyek pembangkit baru sebesar 35.000 MW juga perlu ditanggapi secara serius. Karena pada kenyataaannya, untuk menaikkan kapasitas listrik 10.000 MW saja per Tahun dalam rangka menggenjot produktivitas ekonomi dan pembangunan masih memiliki berbagai kendala yang belum dapat ditangani dengan baik dan tuntas. Bukan saja dari PLN namun faktor penunjang lainnya. Sejatinya, dalam rangka menjawab tantangan tersebut, PLN sejak dini harus sudah melakukan berbagai langkah dan inovasi penunjang. Ke semuanya diimplementasikan secara sinergis pada sisi perencanaan-pengadaan-kontruksi, operasi, niaga maupun pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Pengembangan SDM terutama terkait integritas, kompetensi dan juga semangat menjadi salah asset penting untuk menghadapi berbagai tantangan dan peluang bagi PLN di masa depan.

[caption caption="Sumber:listrik.org/pln/35000-mw-untuk-indonesia/"]

[/caption]

Besarnya kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang diprediksi akan tetap tinggi dalam 10 tahun mendatang. Sehingga permintaan tenaga listrik diperkirakan akan tumbuh antara 8% dan 9% setiap tahunnya. Untuk memenuhi kebutuhan tambahan kapasitas tersebut, pembangkit yang dibangun masih mengandalkan pada bahan bakar yang persediaannya terbanyak, yaitu batubara sekitar 65 % pembangkit, sementara gas 20 % dan sisanya energi baru dan terbarukan, terutama panas bumi dan tenaga air. Makin besarnya kapasitas pembangkit berikut transmisi dan gardu induk yang harus dibangun, tentu saja merupakan tantangan berat. Apalagi, begitu banyak kendala dalam 5 tahun terakhir ini sehingga pembangunan proyek-proyek infrastruktur ketenagalistrikan banyak yang terhambat, baik proyek PLN maupun swasta atau IPP (Independent Power Producer).

Dapat diketahui persoalan-persoalan yang dihadapi adalah masalah yang menyangkut regulasi (kebijakan), pendanaan dan kemampuan dalam negeri. Dalam 5 tahun terakhir banyak masalah regulasi yang menghambat percepatan pembangunan kelistrikan hingga ke pelosok-pelosok. Masalah-masalah yang menyangkut regulasi, khususnya soal pengadaan tanah atau lahan yang merupakan masalah klasik. Hambatan dalam pengadaan lahan ini tidak hanya terjadi terhadap lahan-lahan milik publik, tetapi juga milik Negara atau lembaga-lembaga pemerintahan. Terkadang pengurusan tanah milik Negara lebih sulit dan lama ketimbang milik warga. Tetapi dalam kurun waktu tersebut pemerintah juga telah memperbaikinya dan terus memperbaikinya. Salah satu langkah penting yang telah diambil pemerintah contohnya dengan diterbitkannya SK Menteri tentang penugasan khusus kepada PLN terkait masalah pembebasan lahan. Dengan SK Menteri itu maka PLN sekarang bisa memakai UU No 2 Tahun 2012 tentang Pertanahan, di mana di dalamnya ada ketetapan yang mengandung unsur paksaan terkait pembebasan lahan. Dan bukan hanya PLN saja dapat memakai unsur paksa dalam pembebasan lahan, IPP juga dapat dalam kaitan untuk kepentingan umum. Contohnya pada kasus proyek PLTU Batang (2x100 MW) di Jawa Tengah, dimana IPP telah menerbitkan surat penugasan khusus untuk pembebasan lahan proyek yang berada di lokasi strategis.

Selama ini, pada saat PLNmembangun 200 atau 300 tower untuk jaringan transmisi selalu ada beberapa tower yang tidak dapat terpasang, karena tidak ada unsur paksa untuk dibebaskan terhadap pemilik lahan yang bertahan. Padahal, kalau dari 300 ada 1 tower saja yang tidak dapat dibangun atau dipasang, maka seluruh proyek menjadi terhenti. Kasus tersebut banyak terjadi di lapangan. Semoga saja jangan sampai industri ketenagalistrikan tidak berjalan karena regulasi atau kebijakannya tidak mendukung. Tanpa kebijakan dan aksi "berpihak" Pemerintah, desa-desa pelosok negeri Indonesia akan mustahil bisa mengenyam listrik sesuai target yang telah dicanangkan.

Pendanaan dari dalam negeri terutama dari APBN, juga ternyata tidak gampang. Tetapi bukan dalam arti mendapatkan pendanaannya, melainkan dalam hal mengelola anggarannya, khususnya untuk proyek-proyek ketenagalistrikan yang sifatnya multi-years. Sangat banyak aturan-aturan, prosedur dan tata cara yang harus ditempuh agar pemanfaatan dana APBN ini bisa dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak menjadi masalah di kemudian hari. “Selain prosesnya cukup panjang, dalam kondisi demikian banyak orang yang akhirnya tidak berani mengambil keputusan untuk dapat mempercepat pembangunan melalui dana-dana APBN.

Faktanya, dari sekitar 65 IPP yang akan membangun pembangkit dan sudah memiliki kontrak Power Purchase Agremeent (PPA) dengan PLN, hanya 25 % saja yang berhasil. Utamanya bersumber pada kendala perolehan dana investasi dari institusi pendanaan. Pendanaan melalui pinjaman dengan skema Government to Government (G to G), juga mengalami hambatan. Proses pendanaan melalui bantuan pinjaman antar pemerintah ini memerlukan waktu sangat panjang. Pengalaman PLN selama ini menunjukan rata-rata memakan waktu 3 tahun, yaitu sejak proyek itu diiniasi sampai dengan dimulainya tahap kontruksi.

Masalah proses pengadaan yang terkait dengan kemampuan industri dalam negeri untuk ikut membangun fasilitas ketenagalistrikan ternyata juga masih lemah. Kalau bicara pembangkit, saat ini sudah lebih dari 30 perusahaan Engineering Procurement dan Construction (EPC) pembangkit yang ada di Indonesia. Tetapi, hanya beberapa saja perusahaan dalam negeri yang berhasil membangun pembangkit listrik sampai saat ini. Pada 2010, dana untuk program listrik pedesaan hanya mendapat Rp 500 miliar. Dengan dana sebesar itu, material-material distribusi utamanya mampu dipasok dari industri dalam negeri. Tahun 2012 dana listrik pedesaan meningkat sekitar 3 triliun atau naik 6 kali lipat. Ternyata industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan material yang jauh lebih besar. Banyak pekerjaan yang tertunda dan akhirnya terpaksa impor. Celakanya lagi, barang-barang yang diimpor tersebut setelah diuji di laboratorium banyak yang tidak memenuhi syarat.

Hal sama terjadi pula di sisi pembangkit. Pada 2011 PLNmenggagas pembangunan pembangkit-pembangkit skala kecil (7-10 MW) di mana material utamanya diharapkan dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri. Tetapi setelah disurvei dan diteliti, dari 90 bengkel atau pabrikan boiler di seluruh Indonesia, hanya sekitar 12 bengkel yang memenuhi syarat. Dan saat ini bahkan tinggal sekitar 5 bengkel yang masih bisa membangun boiler.

Mengenai ketahanan energi listrik di masa mendatang, saya pikir sangat penting diterapkannya kebijakan penggunaan energi primer untuk pembangkit dalam 10 tahun mendatang dan pembangunan pembangkit dari energi baru dan terbarukan (EBT) yang sejalan dengan implementasi PIT. Penggunaan energi primer yang didasarkan pada ketersediaannya yang banyak dan harganya yang relatif murah sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan percepatan ekonomi nasional. Seperti, batubara yang tahun lalu prosentase energi mix-nya sebesar 51 %, akan dapat dinaikkan sampai 2022 menjadi 65%. Lalu gas sebesar 20 % dan sisanya EBT terutama panas bumi dan air.

Sesuai hasil kajian mengenai cadangan energi primer di Indonesia, mulai 2022 perlu kehadiran pembangkit listrik tenaga nuklir. Dengan pertumbuhan ekonomi yang rata-rata di atas 7 % maka perlu tambahan listrik yang besar pula. Di sisi lain, penggunaan batu bara tidak mungkin terus digenjot, selain cadangannya akan mulai menipis, juga agar tidak melebihi batas emisi yang disepakati dalam perjanjian Kyoto Protocol. Dengan cara itu saya yakin kebutuhan listrik akan terpenuhi hingga ke pelosok-pelosok Indonesia serta masaah emisi juga akan dapat dikendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun