Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#BahagiaDiRumah, Rumah Terbaik Rumah Kita Sendiri

31 Maret 2016   23:20 Diperbarui: 1 April 2016   00:27 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari makin meninggi, saya akhirnya menyerah. Sambil berjalan mencari rumah kost, saya pun berhenti menunjukan sebuah rumah yang cukup megah dan mewah kepada Andi.

“Kamu lihat rumah itu, rumah mewah yang selalu kelihatan sepi. Ternyata pemilik rumah, si suami dan si istri sibuk merintis karir di tempat kerjanya masing-masing. Kata tetangga-tetangga dekat sini, mereka selalu pulang larut malam dalam waktu yang tidak bersamaan, dan apa yang terjadi selanjutnya? Setiap larut malam sering terdengar suara ribut-ribut di rumah mewah ini. Anak tunggal mereka sangat jarang mendapat perhatian dari orang tuanya dan memilih menyewa rumah kost yang dekat dengan kampusnya. Saya kenal sama anaknya, tetangga kampus kita lho, baginya tinggal di rumahnya sendiri seperti tinggal di neraka, karena hapir setiap hari dia mendengar kedua orang tuanya bertengkar.” Andi terdiam dan merenung mendengar ceritaku. (Maaf saya tidak bisa menunjukkan foto rumah mewah yang dimaksud dengan alasan tidak etis dan kode etik menulis).

“Kenapa kamu terdiam Andi?”

“Iya,ya! Ayahku juga punya teman dua orang petani di kampung. Aku pernah diajak ke rumah dua petani itu. Rumahnya sangat sederhana sekali di pinggiran sawah, asri berpadu dengan alam pedesaan.”

“Lalu.” Imbuhku

“Walaupun sederhana rumah keluarga petani itu selalu diselingi senyum dan tawa canda riang anak-anak sang petani. Dan yang membuat bapak-bapak petani itu betah di rumah dan langsung pulang ke rumah setelah bekerja dari sawah dan kebun adalah masakan enak sang istri mereka. Aku sama ayah pernah mencicipi masakan istri-istri bapak petani itu, benar-benar enak. Di situlah bapak-bapak petani itu mengatakan kenapa ia betah sekali di rumah dan tidak pergi ke tempat lain setelah pulang kerja. Ada kebersamaan yang hangat di keluarga petani itu, mereka sekeluarga nampak kompak, rukun sambil bergurau satu sama lain.”cerita Andi kepadaku penuh perasaaan.

[caption caption="Rumah sederhana milik seorang petani temannya bapak Andi, tampak asri berpadu dengan alam pedesaan bersama kehangatan keluarganya. (Dok Pri)"]

[/caption]

[caption caption="Rumah sederhana milik seorang petani berikutnya temannya bapak Andi, tampak asri berpadu dengan alam pedesaan bersama kehangatan keluarganya. (Dok Pri)"]

[/caption]

Aku hanya terdiam mendengar cerita Andi. Ada sesuatu yang berbeda dari raut wajah Andi setelah kami saling bercerita. Dan kami saling yakin dapat mengambil kesimpulan dari cerita kami masing-masing. Akupun berharap agar Andi bisa menyadari kesalahannya, dan mensyukuri pemberian Tuhan dari cerita kami masing-masing tadi.

Menyadari ada sesuatu yang beda dengan andi dan hari pun beranjak sore saya pun diam sejenak, berpikir dan mencari strategi.

“Nul, kenapa kamu diam? Udah siap lanjutkan perjalanan lagi kan cari rumah kost buat aku? Wanul………!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun