Rumah adalah suatu tempat yang membekas dan mengenang hati kita. Di sanalah kita pertama kali membuka mata memandang dunia. Entah bagaimanapun bentuk rumah kita, baik besar, atau kecil, entah rumah kita di kota atau di desa. Namun di sana telah menyimpan banyak kenangan, kenangan itu terutama kita temukan di saat bersama keluarga yang sangat kita sayangi. Sehingga banyak yang mengatakan jika rumah adalah istana kita, tempat kelahiran kita, tempat kita disayang dan dimanja oleh orang tua kita, dan tempat kita menuntut ilmu demi masa depan.
Setiap orang pasti ingin mempunyai rumah untuk berteduh di waktu hujan, berlindung di waktu panas, termasuk saya. Rumah saya bisa bilang kecil, sederhana, biasa saja. Walaupun begitu, rumah yang kudiami sekarang sungguh besar jasanya buat saya dan keluarga saya yang selalu ramai dengan kebersamaan dan senyuman. Hanya rumah itu tempatku, di sana juga aku bisa menangis tanpa pura pura kuat dan dapat menjadi diriku sendiri yang sebenarnya. Di sana ku temukan orang yang benar benar mencintaiku.
[caption caption="Rumahku kini, rumah bantuan tsunami, telah 7 tahun kami tempati, dia telah jadi istana kami. (Dok Pri)"][/caption]
Ngomong-ngomom soal berbahagia di rumah ya, saya punya pengalaman yang cukup berkesan dengan seorang teman yang mengajarkan bagaimana kita harus selalu mensyukuri setiap rumah yang kita tinggali atau kita diami, walupun itu hanya sebuah rumah kost. Karena syukur adalah bahagia dan bahagia adalah syukur.
Saya memiliki seorang teman semasa kuliah dulu namanya Andi, ia adalah anak seorang juragan di sebuah kampung. Setamat SMA, orang tuanya menyekuliahkan Andi di sebuah kampus yang cukup ternama di sebuah kota. Merantaulah ia menutut ilmu. Saya beteman dengannya karena satu fakultas tapi beda jurusan. Di suatu waktu ia pun curhat kepada saya, ia mengeluh dan mengatakan kenapa orang tuanya menempatkannya di sebuah rumah kost yang sempit. Namun saya menilai rumah kost yang ditempatinya yang berjalan dua tahun itu demi menutut ilmu sudah cukup luas dengan kamar tidur berukuran 6 x 7 m, dua kamar mandi, dua shower dan dua toilet untuk lima orang. Di sekeliling rumah kost nya juga banyak tersedia toko-toko, warung-warung makanan hingga tempat –tempat olahraga. Namun sayang sekali keadaan yang menyenangkan itu tidak disadari oleh teman saya itu. Jangankan ia bersyukur, malahan ia kadang bersedih dan merasa bosan dengan rumah kost yang ia tempati sekarang.
Saya bilang ke dia, “kamu beruntung bisa tinggal di rumah kost seperti ini, dekat dengan pasar, bisa bermain voli setiap sore dengan orang-orang dan cukup dekat lagi dengan kampus, pintar sekali orang tua kamu mencarikan rumah kost buat anaknya.”
Cukup beda dengan rumah kost yang aku tempati saat itu dengan kamar 4 x 5 m. Lokasinya juga lebih jauh 4 km dari kampus dibanding dengan rumah kost teman saya yang anak juragan itu. Rumah kost yang saya tempati juga jauh dari pasar, tidak ada fasilitas olah raga dan warung-warung makanan di sekitarnya. Sehingga jika saya ingin makan di warung nasi, saya harus naik sepeda motor sejauh 2 km dan 3 km jika ingin bermain voli dan basket di suatu lapangan olahraga. Untunya saya mengambil ratangan di sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah kost saya. Jadi hanya kadang-kadang saya pergi ke warung-warung nasi terutama saat merasa bosan dengan menu rantangannya.
Keadaan yang saya alami di atas, banyak juga dialami oleh mahasiwa dan mahasiswi lain saat itu, namun kebanyakan dari mereka jarang yang mengeluh dengan kondisi rumah kostnya. Bahkan ada yang tinggal di pelosok atau di pinggiran kota dalam waktu yang lama, tapi banyak dari mereka yang merasa tidak tersisih hingga mereka menamatkan kuliahnya. Rumah kost telah jadi istana mereka selama menutut ilmu, begitu juga dengan saya. Berbeda dengan teman saya yang anak juragan itu.
"Aku sangat kesal, bosan rasanya tinggal di rumah kost seperti ini, aku percaya kamu tentu dapat menolong aku. Tunjukan padaku, di mana rumah kost yang terbaik"! Curhat Andi saat itu kepada saya yang membuat saya heran, rumah kost yang se-keren itu dipandang membosankan baginya. (maaf saya tidak bisa menunjukkan foto rumah kost andi yang dimaksud dengan alasan tidak etis dan kode etik menulis).
“Andi, lihatlah mahasiswa-mahasiswa lain yang memiliki rumah kost yang jauh lebih sempit dari rumah kostmu, termasuk aku, bahkan ada yang tinggal jauh dari pusat kota dan kampus. Cobalah bayangkan ketika kita dalam kondisi seperti mereka, maka akan timbul rasa syukur dalam hatimu. Dan sebaliknya ketika kamu melihat teman-teman mahasiswa lain yang rumah kostnya lebih luas daripada rumah kostmu, maka akan timbul rasa sempit dalam hatimu. Jadi, semua tergantung pada cara pandang kita. Maka, ubahlah segala pandanganmu menjadi pandangan syukur, maka rumah, dan hatimu akan terasa luas, percaya deh! Apalagi mencari rumah kost yang terbaik bukan perkara mudah di saat ini. Kamu harus bersyukur Andi, orang tuamu berhasil menemukan rumah kost seperti yang kamu tempati sekarang," ujarku panjang lebar.
“Aku tidak dapat tidur nyenyak lagi karena memikirkan rumah kost ku sekarang. Aku telah bosan ikhwanul dan tidak sanggup lagi tinggal di sini.” Andi tetap ngotot ingin pindah dari rumah kostnya dan terus mendesakku untuk mencari di mana letak rumah kost yang terbaik.