[caption caption="www.pertamina.com"][/caption]
Sebagai perusahaan yang bergerak di sektor energi, Pertamina memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kemandirian energi. Dan sudah 50 tahun lebih Pertamina menjadi tulang punggung pemenuhan energi nasional. Selain berkontribusi menghasilkan sumber energi berupa minyak dan gas bumi yang menjadi devisa bagi negara, Pertamina sebagai perusahaan migas negara juga memiliki tugas menyediakan dan mendistribusikan pasokan bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang terus meningkat.
Kini Indonesia menghadapi tantangan dalam hal ketahanan di bidang energi. Selama ini Indonesia masih bergantung terhadap energi fosil, terutama minyak bumi di mana dalam hal pemenuhan konsumsi di dalam negeri masih tinggi, yakni sebesar 48% yang statusnya sebagai net importer/pengimpor, lalu diikuti batubara 30% dan gas 18%. Jadi total ketergantungan terhadap energi fosil sebesar 96% dari total konsumsi energi nasional. Ini artinya pula bauran energi baru dan terbarukan (EBT) dalam konsumsi energi Indonesia hanya 4%. Kita tahu energi fosil tersebut merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga diperkirakan potensi pemanfaatan sumber daya alam minyak dan gas bumi (migas) masih dapat dimanfaatkan hanya sekitar 15 dan 35 tahun lagi, setelah itu akan habis. Dan sekarang energi fosil (migas) semakin mahal dan cadangan pun kian terbatas. Oleh sebab itu, dalam rangka mencapai atau mewujudkan kemandirian energi Indonesia yang mendunia demi meningkatkan ketahanan energi nasional di masa depan, Indonesia bersama Pertamina sudah seharusnya melakukan beberapa langkah atau kebijakan. Apalagi sangat banyak potensi EBT yang belum termanfaatkan secara optimal. Adapun langkah atau kebijakan itu antara lain:
1. Mempercepat pembangunan infrastruktur energi secara massif dan berkelanjutan, baik untuk pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), maupun untuk konversi minyak ke gas.
Percepatan infrastruktur energi merupakan kunci utama terciptanya kemandirian energi baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Megaproyek terintegrasi yang digagas dan direalisasikan Pertamina bersama para mitranya di lokasi kilang Donggi Senoro, Sulawesi Tengah adalah salah satu contohnya. Proyek hulu sekaligus hilir migas senilai lebih dari Rp70 trilliun itu, juga telah mendapat dukungan penuh dan apresiasi yang tinggi dari pemerintah Indonesia. Sehingga ini menjadi modal ke depan dan tugas baru Pertamina untuk mengelola Blok/ladang minyak Nasional di Indonesia.
Selain itu membangun infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) juga penting untuk dilakukan dan ditingkatkan oleh Pertamina, karena SPBU merupakan salah satu aset penting terkait pemasaran atau untuk menjual produk-nya ke masyarakat luas.
2. Pemerintah Indonesia dan Pertamina perlu menerapkan komoditas sumber daya energi (SDE) sebagai modal pembangunan nasional dan mengalokasikan anggaran subsidi pada pembangunan infrastruktur EBT.
Komoditas SDE merupakan modal pembangunan nasional dan sebagai negara yang memiliki hutang, akan lebih bijak bila hutang itu dipakai ke anggaran untuk pembangunan infrastruktur (terutama infrastruktur ketahanan energi), dibanding dipergunakan untuk menopang konsumsi energi sehari-hari. Hasil yang kemungkinan diperoleh dari penerapan pemahaman tersebut adalah ketahanan dan kemandirian pemanfaatan energi serta peningkatan rasio elektrifikasi yang lebih signifikan.
[caption caption="Peta Cadangan Migas Tahun 2014. Sumber : Kementerian ESDM, diolah oleh Dewan Energi Nasional (www.den.go.id)"]
3. Pembentukan direktorat khusus energi baru terbarukan {EBT) di manajemen Pertamina
Seperti yang saya katakan di atas, konsumsi energi Indonesia hanya 4% untuk energi baru dan terbarukan (EBT). Untuk itu saya pikir penyediaan energi cadangan baru berupa energi baru dan terbarukan (EBT), memang sangat penting untuk dilakukan oleh Pertamina. Kerena dalam hal EBT, Indonesia sebenarnya memiliki beragam potensi atau sumber EBT melimpah yang dapat dijadikan alternatif energi fosil, namun masih sedikit termanfaatkan, sebagaimana yang terlihat pada tabel berikut ini.
[caption caption="Indonesia memiliki banyak sumber EBT yang dapat dijadikan alternatif energi fosil. Geothermal, Hydropower, energi angin, surya, dan laut serta biomassa harus menjadi target untuk dikembangkan di Indonesia karena menjanjikan sebagai energi masa depan Indonesia yang ramah lingkungan."]
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ini tentu akan menjadi pengganti ketika kemungkinan sumber daya migas akan habis, seperti minyak bumi yang akan habis dalam 15 tahun lagi dan gas bumi 35 tahun lagi.
Direktorat khusus EBT di manajemen Pertamina akan menjadi bagian bagi pengembangan lini bisnis perusahaan untuk terus tumbuh dan berkembang dan menjadi langkah mendukung pemerintah untuk menggenjot pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang dltargetkan dapat rnencapai sekitar 23% dari total bauran energi pada Tahun 2020. Selain itu Pertamina harus mempertimbangkan pula untuk masuk ke semua lini dari bisnis energi baru terbarukan, tidak sekadar menjadi pembeli (offtaker), tetapi bisa juga menjadi produsen di bisnis hulu energi baru dan terbarukan. Saat ini Pertamina telah mencanangkan pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukah sebesar 1,13 Gigawatt (Gw) di Tahun 2019 dan siap berinvestasi di bisnis hulu energi baru dan terbarukan.
[caption caption="Beragam potensi atau sumber EBT melimpah yang dapat dijadikan alternatif energi fosil di Indonesia (dgs-solar.org)."]
4. Pemerintah Indonesia dan Pertamina perlu memaksimalkan pemanfaatan bahan bakar batubara di dalam negeri.
Berdasarkan sumber dari Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources (CDIEMR) (2014, 2015), diketahui bahwa potensi energi fosil Indonesia yang terbesar berasal dari batubara, dibanding sumber jenis energi lain, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini.
[caption caption="Potensi energi fosil Indonesia yang terbesar berasal dari batubara."]
Untuk itu Indonesia dan Pertamina perlu menjadikan komoditas batubara sebagai modal pembangunan nasional, serta mengalokasikan anggaran subsidi pada pembangunan infrastruktur yang menunjang ketahanan energi.
5. Belajar dari kesuksesan negara lain dalam memanfaatkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), seperti New Zealand dan Brazil yang dari masa ke masa konsisten mendukung pengembangan (EBT), khususnya geothermal dan biofuel.
Dalam hal ketahanan energi, berdasarkan Dewan Energi Dunia (World Energy Council), Indonesia berada pada peringkat 69 dari 129 negara, New Zealand berada pada peringkat 10 dari 129 negara, dan Brazil berada pada peringkat 6 dari 129 negara. Selain itu Brazil berada di peringkat 15 sebagai produser minyak terbesar dunia.
1. New Zealand
Pemerintah New Zealand menerapkan kebijakan menyeluruh terkait energi yang diatur dalam New Zealand Energy Strategy (NZES) dan Energy Efficiency and Conservation Strategy. Terdapat empat prioritas kebijakan pemerintah-nya, yaitu pengembangan penganekaragaman jenis jenis energi (diversifikasi) atau sumber daya, responsibilitas lingkungan, efisiensi penggunaan energi, dan energi yang aman dan terjangkau. New Zealand sendiri telah memproduksi 88% konsumsi energy domestik. Selain itu, secara bauran energi, 70% energi berasal dari EBT, dan pada tahun 2025 ditargetkan 90% bauran dari EBT. Dalam hal ketenagalistrikan, New Zealand juga telah berhasil memanfaatkan pembangkit listrik dari panas bumi sejak 1958. Saat ini, secara bauran 13% energi New Zealand berasal dari energi geothermal, dengan kapasitas terpasang 854 MW.
Semenjak Tahun 2012 Indonesia memang telah menjalin kerja sama untuk belajar dalam hal pemanfaatan panas bumi dari New Zealand, apalagi New Zealand memiliki kemiripan tektonik dengan Indonesia, yaitu berada pada zona ring of fire. Namun, tantangan dalam pemanfaatan panas bumi adalah biaya eksplorasi yang tinggi dan proses produksi yang juga beresiko tinggi, yaitu resiko tidak ditemukan energi panas di daerah yang sedang dieksplorasi atau energi listrik yang kurang komersial. Resiko lainnya adalah kemungkinan penurunan laju produksi atau penurunan temperatur yang lebih cepat dari estimasi semula. Jadi agar pemanfaatan energi panas bumi Indonesia berjalan lebih maksimal, tentunya diperlukan peningkatan anggaran yang signifikan untuk infrastruktur ketahanan energi dan mengurangi resiko yang terjadi.
[caption caption="ebtke.esdm.go.id"]
Upaya pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1918, dimana pada tahun tersebut kegiatan eksplorasi panas bumi pertama kali dilakukan di Kawah Kamojang, Jawa Barat. Saat ini, potensi panas bumi Indonesia sekitar 29 GW, dimana 40% dari potensi panas bumi dunia dan merupakan yang terbesar di seluruh dunia. Namun, berdasarkan data laporan statistik Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2012, baru terpasang pembangkit listrik yang menfaatkan energi panas bumi sebesar 1226 MW atau sekitar 4 % dari seluruh potensi Indonesia.
Pertamina Geothermal Energy telah melakukan peningkatan kapasitas produksi pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan yang bersumber dari panas bumi sebesar 907 Megawatt (Mw), solar photovoltaic dan energi angin masing-masitig 60 Mw, biomassa 50 Mw dan minimicrohydro dan ocean energy masingmasing 45 Mw dan 3 Mw. Kemudian belanja modal juga diperlukan untuk pengembangan bisnis EDT, di luar panas bumi yang diperkirakan mencapai US$1,5 miliar hingga 2019.
Lebih lanjut, dari aspek ekonomi, akibat dari bentuk panas bumi yang tidak dapat disimpan dan tidak dapat ditransportasikan dalam jarak jauh, kondisi ini membuat panas bumi terlepas dari dinamika harga pasar. Padahal panas bumi merupakan alternatif yang sangat baik bagi bahan bakar fosil terutama untuk pemanfaatan pembangkit listrik dan dalam rangka mengurangi subsidi energi.
2. Brazil
Pemerintah Brazil telah mengembangkan sumber energi dari berbagai tumbuhan (biofuel) jenis bioetanol yang bersumber dari tebu dengan melakukan ujicoba pada kendaraan sejak tahun 1925. Bioetanol adalah jenis biofuel yang mengandung etanol dalam tingkatan tertentu dan dapat dicampur dengan BBM.
[caption caption="www.bioenergyconnection.org"]
Pemakaian biofuel di Brazil dimulai pada 1973, saat terjadi krisis bahan bakar. Biofuel di Brazil sudah berkembang dalam periode cukup lama dengan dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif. Saat ini, harga biofuel di Brazil telah menggunakan mekanisme pasar.
[caption caption="Pemakaian biofuel di Brazil, www.theguardian.com"]
Brazil memilih biofuel dari singkong, jarak pagar, dan tebu, dimana yang paling maju adalah alcohol yang disuling dari tebu. Dari seluruh produksi tebu, perbandingan untuk pemanfaatan sebagai gula dan bioetanol adalah sekitar 50:50.
Pada 2003/2004, Brasil menghasilkan gula 20,4 juta ton dan etanol 14 miliar liter. Dari jumlah itu, 9,5 juta ton gula dan 12,7 milyar liter etanol dipakai untuk konsumsi domestik, sementara sisanya diekspor. Pada 2005, konsumsi biofuel Brazil mencapai 13 milyar liter. Jumlah itu berarti mengurangi 40% dari total kebutuhan bensin. Produksi etanol tumbuh 8,9% per tahun. Keberhasilan ini memang ditunjang oleh kenyataan bahwa Brazil merupakan produsen tebu dan eksportir gula terbesar dunia.
Biodiesel dari singkong dan jarak pagar juga berkembang pesat di Brazil. Biodiesel adalah bahan bakar motor diesel yang berupa alkilasam lemak (biasanya ester metil) yang dibuat dari minyaknabati seperti minyak jarak pagar dan minyak sawit melalui proses esterifikasi. Jarak pagar ditanam di jutaan hektar lahan di brazil. Ini tak terlepas dari langkah pemerintahnya yang menjadikan biodiesel sebagai prioritas utama, dengan meluncurkan A Biodiesel Programme. Pada 2003, Brazil mengkonsumsi solar 38 miliar liter (dimana 6 miliar liternya berasal dari pasar impor). Dengan beragamnya bahan bakubiodiesel, Brazil diperkirakan berpotensi menjadi pemain terkemuka biodiesel dunia.
Keberhasilan Brazil dalam mengembangkan energi terbarukan ini disebabkan oleh 4 (empat) hal. Pertama, soal kelembagaan. Perumusan kebijakan umum industri berbasis tebu berada di bawah wewenang Badan Pengembangan Gula dan Alkohol, sebuah badan di bawah Kementerian Pertanian. Badan ini bertugas memformulasi kebijakan sector gula dan alkohol (dengan mengembangkan teknologi sosial dan perdagangan) untuk menciptakan produk yang berkualitas dan kompetitif. Kedua, mengoptimalkan pasar domestik. Tiap tahun dikeluarkan keputusan presiden untuk menetapkan rentang kadar alkohol yang dicampur dalam bensin yang dijual. Ketiga, dukungan finansial. Pemerintah menyediakan kredit berbunga rendah (11-12 %, sementara bunga pasar 26 %) kepada pengusaha dan petani yang mengembangkan energi terbarukan. Keempat, dukungan lembaga riset dan pengembangan. Di bawah The Brazilian Agriculture Research Corporation, sebuah badan di bawah Departemen Pertanian, dilakukan berbagai penelitian dan pengembangan bidang bioteknologi dengan orientasi pada terciptanya proses produksi agrobisnis yang modern, efisien, dan kompetitif.
Dari empat faktor itu, di Indonesia baru ada dua: pasar domestik yang besar dan lembaga riset (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, perguruan tinggi, dan lain lain). Sementara terhadap kelembagaan dan dukungan finansial, masih perlu dilakukan perumusan. Kedua faktor ini termasuk paling krusial di Indonesia. Ditambah lagi, saat ini Indonesia masih belum memiliki cadangan strategis dan cadangan penyangga energi. Indonesia hanya mengandalkan cadangan operasional untuk energi, yaitu ketersediaan stok bahan bakar minyak untuk 18-21 hari.
Dari segi pasar domestik, Pertamina telah mencanangkan produksi biofuel sebesar 1,28 juta Kilo Liter (KL) pada 2019. Produksi akan terdiri dari green diesel dengan kapasitas 0,58 juta KL per tahun, co-processing green diesel 0,14 juta KL per tahun, co-processing green gasoline 0,23 juta KL per tahun, bioavtur 257 ribu kl per tahun, bioetanol sebesar 76 ribu kl per tahun, dan bio-LNG plant 10 ton per hari.
Dari segi riset, Pertamina juga telah melakukan kerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam hal pengkajian, pengembangan dan penerapan tekonologi minyak dan gas bumi dan energi baru dan terbarukan beserta sistem pendukungnya yang diperlukan. Kerja asama ini sejalan dengan Peraturan Presiden No.5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, di mana pemanfaatan gas ditargetkan sebesar 30% dan energi baru dan terbarukan menjadi 17% dari total pasokan energi nasional pada 2025. Kemudian melalui kerja sama ini pula, Pertamina dan BPPT akan dapat melakukan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki oleh masingmasing pihak, bantuan teknis, pendidikan, pelatihan, pemanfaatan dan penerapan hasilhasil penelitian, hingga mempercepat implementasi pembangunan infrastuktur khususnya sektor energi dan sumber daya mineral.
Kita doakan saja ya, semoga kerja sama ini dapat menghasilkan inovasiinovasi baru di bidang teknologi migas, energi baru dan terbarukan serta memiliki peranan penting bagi upaya mewujudkan kemandirian energi nasional yang mendunia. Misalnya penggarapan dan pengembangan sumber bahan-bahan bakar berbahan baku nabati (bioenergi/biopertamax). Seperti yang telah dilakukan oleh Brazil, atau bahan baku nabati lainnya yang banyak terdapat di Indonesia seperti minyak kelapa sawit, ubi kayu, jagung dan minyak kemiri hingga rumput laut.
Pemerintah sudah seharusnya membuat kebijakan yang menyokong ketahanan energi nasional. Contohnya upaya pencarian (eksplorasi) baru untuk menemukan cadangan minyak dan gas baru untuk mengantisipasi menurunnya produksi migas belakangan ini. Begitu juga dengan upaya mencari sumber-sumber energi hijau, energi baru dan terbarukan.
Diketahui Indonesia juga belum memiliki cadangan penyangga energi yang dapat memberikan jaminan pasokan dalam waktu tertentu apabila terjadi kondisi krisis dan darurat energi. Di sinilah pentingnya pemerintah membuat kebijakan energi nasional yang dapat memberikan peranan penting dalam mencapai kemandirian energi. Pemerintah harus kreatif dan adil dalam membuat kebijakan yang menyokong ketahanan energi nasional. Pola-pola kebijakan yang bercorak produksi-konsumsi tidak cocok lagi di tengah sulitnya menjaga ketersediaan energi nasional. Dibutuhkan stimulasi kepada sektor-sektor potensial yang mendukung terciptanya bauran energi dan upaya pencarian (eksplorasi) baru untuk menemukan cadangan baru. Kebijakan energi nasional juga harus pro kepada pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) karena kebutuhan teknologi yang lebih maju diperlukan dalam mengoptimalisasi produksi sumber energi yang sudah ada danpencarian sumber baru.
Adapun hal yang dapat dilakukan terkait kebijakan antara lain:
1. Meningkatkaneksplorasi sumber daya, potensi dan/atau cadangan energi, baik dari jenis fosil maupun EBT.
2. Meningkatkan produksi energi dan sumber energi dalam negeri dan luar negeri
3. Meningkatkankeandalan sistem produksi, transportasi dan distribusi penyediaan energi
4. Mengurangi ekspor energi fosil secara bertahap, terutama gas dan batubara, serta menetapkan bataswaktu untuk memulai penghentian ekspor.
5. Mewujudkankeseimbangan antara laju penambahan cadangan energi fosil dan laju produksi maksimum.
6. Pengurangan subsidi BBM dan listrik serta peningkatan rasio elektrifikasi. Pengurangan subsidi BBM dan subsidi listrik dilakukan antara lain melalui program/kegiatan peningkatan pemanfaatan gas untuk transportasi (pembangunan SPBG), peningkatan pemanfaatan gas untuk rumah tangga (jaringan distribusi gas kota), konversi mitan ke LPG dan substitusi bahan bakar pembangkit listrik. Upaya peningkatan rasio elektrifikasi dilakukan melalui peningkatan kapasitas pembangkit listrik, gardu induk, penambahan jaringan transmisi, perluasan jaringan distribusi dan gardu distribusi di perdesaan, serta pembangunan pembangkit energi baru terbarukan. Dalam hal ini pula, perlu dibuat program Desa Mandiri Energi (DME) berkelanjutan. Komponen-komponen yang harus ada terkait DME yang berkelanjutan, yaitu teknologi energi terbarukan, peningkatan kapasitas dan kelembagaan (orgware). Selain itu, juga harus ada pelatihan yang berhubungan dengan mekanisme pelaksanaan.
7. Memastikan terjaminnya daya dukung lingkungan untuk menjamin ketersediaan sumber energi air dan panas bumi.
[caption caption="www.migasreview.com"]
Dalam hal mengusahakan kemandirian pemanfaatan energi, pemerintah, swasta, Pertamina dan BUMN/sektor lain serta masyarakat sudah seharusnya melakukan diversifikasi dan konservasi energi dengan penghematan pemakaian energi, memanfaatkan sumber energi alternatif dan energi baru terbarukan dengan tata kelola yang transparan dan berkesinambungan.
Konservasi energi dilakukan baik dari sisi hulu maupun hilir, meliputi pengelolaansumber daya energi dan seluruh tahapan eksplorasi, produksi,transportasi, distribusi, serta pemanfaatan energi dan sumber energi. Pengelolaan sumberdaya energi diarahkan untuk menjamin agar penyediaan dan pemanfaatannya tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya energi tersebut.
Konservasi sumber daya energi dilaksanakan dengan pendekatan lintas sektor, antara lain penyesuaian dengan tata ruang nasional dan daya dukung lingkungan. Produsen dan konsumen energi wajib melakukan konservasi danefisiensi pengelolaan sumber daya energi untuk menjaminketersediaan energi dalam jangka panjang. Konservasi energi juga dapat meningkatkan keamanan energi dan kemandirian energi karena bisa mengurangi impor bahan bakar asing bagi banyak negara di dunia, dan juga memperlambat laju penipisan cadangan sumber daya energi dalam negeri.
Kemudian dalam konteks tersebut perusahaan berupaya membangun komunikasi yang baik, sejak dini dengan semua pihak melalui program corporate social responsibility (CSR),seperti pemberdayaan masyarakat sekitar, perawatan lingkungan, dan pelestarian alam.
Penghematan pemakaian energi juga merupakan salah satu prasyarat utama untuk pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang akan mendorong kemajuan ekonomi nasional, sehingga pula akan membuat Indonesia akan mampu berdiri di jajaran bangsa maju di dunia.
Ke enam langkah yang saya sebutkan di atas lebih banyak berkecimpung dalam hal pengadaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Namun sebenarnya, masih banyak langkah yang harus diambil atau dijajaki oleh Pemerintah Indonesia dan Pertamina untuk mencapai titik kemandirian energi yang mendunia. Perbaikan struktur perusahaan terutama dari segi tata nilai dan keuangan, pembangunan kilang, eksplorasi sumur-sumur minyak dan gas di dalam dan juga luar negeri, peningkatan kompetensi sumber daya manusianya, efisiensi perusahaan di segala bidang, serta memutus mata rantai impor minyak yang terlalu panjang/mafia migas merupakan sebagian langkah lain yang mesti diambil Pertamina demi mencapai kemandirian energi yang mendunia dalam suatu Negara.
Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, kiranya patut kita syukuri dengan memanfaatkanya seoptimal mungkin dalam mewujudkan kemandirian energi serta energi alternative yang bersumber dari panas bumi, panas surya, air, angina, laut bahkan nuklir. Sudah saatnya pengambilan kebijakan dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri bersama Pertamina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H