Mohon tunggu...
IKHWAN FADHIL MAUZIN
IKHWAN FADHIL MAUZIN Mohon Tunggu... Petani - HUMAN

NO SALE!!!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Peran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan

26 April 2021   13:06 Diperbarui: 26 April 2021   13:08 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa Indonesia lahir dari Bahasa Melayu yang pada zaman dulu menjadi bahasa lingua franca, yakni bahasa perdagangan antarpulau di nusantara. Kemudian dikukuhkan menjadi bahasa persatuan melalui momen Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu menjadi dominan di kala itu dikarenakan fleksibelitasnya akan bahasa-bahasa lain. Dengan fakta tersebut, tepatnya 28 Oktober 1928, bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa persatuan dan tahun 1945 diresmikan sebagai bahasa negara.

Permasalahan yang muncul dalam eksistensi bahasa Indonesia adalah bagaimanakah cara mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia? Tidak hanya masalah
eksistensi saja, tetapi sanggupkah bahasa-bahasa daerah di negeri ini memperkaya kosa kata dan istilah bahasa Indonesia? Selain itu, bagaimanakah potensi bahasa Indonesia di era globalisasi?

Eksistensi bahasa Indonesia, selain dipengaruhi kekonsistenan penggunaanya, juga didukung oleh kemampuan bahasa tersebut dalam mengungkapkan fenomena baru yang berkembang. Oleh karena itu, perkembangan bahasa Indonesia sangat tergantung pada tingkat keberhasilan menciptakan kosa kata dan istilah-istilah baru. Bahasa Indonesia sudah mulai mengglobal karena bahasa Indonesia memiliki sifat terbuka dan  demokratis. Perkembangan yang terjadi sekarang dan yang datang tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.

Bahasa Indonesia lahir pada 28 Oktober 1928 dan dicetuskan sebagai sikap politik para pemuda pada masa itu yang mengakui satu bangsa yaitu bangsa
Indonesia, satu tanah air yaitu Indonesia dan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Berarti, tahun 2008 ini bahasa Indonesia genap berusia 80 tahun dan dalam perjalanan panjangnya bahasa Indonesia telah menempati kedudukan penting sebagai bahasa nasional dan bahasa negara bahkan juga menjadi lambang jati diri bangsa serta alat pemersatu bangsa.

Apabila ditinjau dari sejarah, Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu yang digunakan sebagai bahasa perdagangan antarpulau di Nusantara. Dengan munculnya rasa kebangsaan, bahasa Melayu diangkat menjadi Bahasa Persatuan melalui momen Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu menjadi sangat dominan di zaman itu dikarenakan fleksibelitasnya akan bahasa-bahasa lain. Karena interaksi bangsa Indonesia saat itu lebih banyak dengan orang-orang berbahasa Arab, Bahasa Arablah yang banyak diserap ke dalam Bahasa Melayu.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan 28 Oktober 1928 merupakan wujud kristalisasi semangat nasionalisme sebagai bangsa dijajah oleh bangsa asing. Dengan Sumpah Pemuda tersebut, penggalangan kekuatan guna mempersatukan suku bangsa yang tercerai berai yang terjadi di ribuan pulau negeri ini mulai menampakkkan kesadaran pentingnya hidup bersatu. Bersatu merupakan salah satu modal utama dalam rangka memerdekakan Indonesia. Sumpah Pemuda merupakan bagian dari perjalanan sejarah bahasa Indonesia. Ikrar: satu bahasa,
bahasa Indonesia merupakan kekuatan pemersatu suku bangsa Indonesia yang berbeda suku dan bahasa. Kini Indonesia sudah merdeka dan Sumpah Pemuda sudah berusia 80 tahun. Apakah ikrar satu bahasa, yakni bahasa Indonesia masih memiliki kekuatan membangun rasa nasionalisme terhadap bahasa Indonesia?

Pada saat ini permasalahan-permasalahan yang muncul adalah bagaimanakah eksistensi bahasa nasional dalam era globalisasi saat ini? Mampukah bahasa-bahasa daerah di negeri ini mendukung perkembangan bahasa Indonesia di era yang semakin mengglobal? Bagaimanakah gambaran bahasa Indonesia di masa depan?

Kegiatan komunikasi dalam berbagai kesempatan memang banyak masyarakat terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Tidak jarang dijumpai bahwa mereka pun kadang lebih fasih dan memahami bahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya. Selain itu, dalam pertemuan-pertemuan resmi pun digunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi, fenomena penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini menunjukkan bahwa fungsi bahasa Indonesia tidak lagi sama seperti dalam sejarah Sumpah Pemuda tahun 1928. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah apakah bangsa Indonesia masih merasa memiliki bahasa Indonesia? Andai bangsa ini merasa memiliki bahasa Indonesia kemungkinan masih kurang menunjukkan sikap dan perilaku yang positif.

Bagi sebagian bangsa Indonesia, bahasa Indonesia masih dinilai sebagai bahasa yang inferior. Masyarakat kini gemar menyebut kata asing ketimbang padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa asing dianggap memiliki prestise yang lebih tinggi daripada bahasa Indonesia. Hal ini tampak pada pemakaian kata atau istilah asing yang berarti tidak memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan tidak mencari kata atau istilah yang berasal dari bahasa Indonesia atau dari bahasa serumpun.

Gejala mengkhawatirkan ini tidak dapat dianggap remeh, sebagai suatu perkembangan yang biasanya muncul dalam masyarakat urban, seperti juga tampak di sejumlah negara lain. Timbulnya gejala bahasa pergaulan, terutama dikalangan muda, dalam masyarakat urban yang rentan terhadap derap globalisasi merupakan fenomena yang dapat kita pahami. Namun, kalau kecerobohan dalam 

penerapan bahasa Indonesia juga menyelinap di media, biasanya di media elektronik yang dampak jangkauannya lebih mendalam dan meluas dibandingkan dengan media cetak, maka kekhawatiran kita terhadap masa depan bahasa Indonesia bukanlah berlebihan.

Dilihat dari segi kepentingan berbahasa, seseorang/pihak tertentu menggunakan bahasa mengabaikan kebaikan dan kebenaran berbahasa. Misalnya, bahasa Indonesia dipakai oleh sebagian masyarakat untuk menyukseskan kepentingan kelompok tertentu sehingga bisa menimbulkan kerawanan persatuan bangsa. Jika sikap semacam itu berlanjut, bahasa Indonesia tidak lagi berfungsi sebagai bahasa persatuan. Akibatnya, bahasa Indonesia tidak lagi sebagai alat pemersatu, tetapi sebagai alat pemecah belah bangsa. Partai-partai yang bertikai menggunakan bahasa sebagai alat untuk kepentingan partai atau kelompoknya. Para politikus tidak jarang memanfaatkan bahasa untuk mempengaruhi masyarakat agar mendukung partainya, tetapi bahasa Indonesia yang dipakai kurang dan bahkan tidak lagi mencerminkan sebagai bahasa persatuan. Bukanlah fenomena baru jika gara-gara penggunaan bahasa yang kurang santun menjadikan lawan bicara marah/tersinggung padahal tidak ada maksud memancing kemarahan. Di gedung DPR, pernah kita saksikan adegan adu fisik yang berawal dari penggunaan bahasa yang tidak santun dalam menyampaikan perbedaan pendapat. Dalam konteks ini pastilah peran bahasa dilupakan untuk mencari titik tengahnya atau menghargai perbedaan pendapat.

Sampai saat ini, patut disyukuri bahwa adanya gejolak dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta pengaruh globalisasi. Justru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. Jika tidak ada Sumpah Pemuda, mungkin negeri ini tidak akan memperoleh kemerdekaan tahun 1945 karena masing-masing suku fanatik menggunakan bahasa daerahnya. Oleh karena itu, adanya bahasa persatuan itulah, rasa nasionalisme terwujud sampai sekarang.

Setiap tahun, Sumpah Pemuda yang diperingati oleh bangsa Indonesia ini juga membuktikan betapa pentingnya bahasa bagi suatu bangsa. Bahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif dibandingkan alat komunikasi yang lain ternyata mutlak diperlukan setiap bangsa. Bangsa yang tidak memiliki bahasa tidak mustahil akan mengalami kemajuan karena bangsa tersebut tidak mungkin menggambarkan dan menunjukkan dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa itu akhirnya akan lenyap ditelan masa. Jadi, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Bahasa, sebagai bagian kebudayaan dapat menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan bangsa. Bahasa akan menggambarkan sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai suatu bangsa. Ikarar “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia” menjadi dasar yang kokoh bagi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, pada perjalanan selanjutnya, bahasa Indonesia tidak lagi sebagai bahasa persatuan, tetapi juga berkembang sebagai bahasa negara dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun