Tengah tahun nanti, ada perhelatan besar di Brazil. Tiap empat tahun sekali, event olahraga besar (kalau bukan yang terbesar) ini kembali diselenggarakan. Dan bulan Juni-Juli nanti adalah puncaknya. Tapi, meriahnya sudah bisa kita rasakan saat-saat ini.
Di beberapa titik di sekitar kita, outlet-outlet Si Merah dan Si Biru bersaing berebut perhatian. Mumpung tren Piala Dunia 2014 mulai marak, maka kedua channel tersebut mulai memampangkan berbagai merchandise terkait tim-negara-tim yang akan berlaga. Jadi saya benar-benar memperhatikan, bahwa sejak Januari lalu, kedua tipe outlet ini mulai melancarkan gerilya marketing, berharap ada impulse buying yang terjadi. Mumpung Jules Rimet Trophy belum disematkan kepada Sang Juara Dunia (sepak bola), maka ini saatnya meraih penjualan. Mudah-mudahan yang juara bukan Spanyol ya :D
Memanfaatkan popularitas suatu event sepakbola yang sedang happening bisa jadi cara mengangkat brand kita. Demikian yang dilakukan oleh Si Merah dan Si Biru. Saya kira, ada tiga cara dalam mempopulerkan brand yang sedang kita garap.
Tren dalam Bisnis
Popularitas merek bisa dibangun dengan menumpang tren yang ada. Tapi marketer harus berhati-hati membedakan mana tren dan mana yang bukan tren. Simak kata opa-opa pemasaran, Al Ries dan Jack Trout berikut:
"whenever business is growing rapidly, the smart approach is to treat it like a fad."
Seperti air pasang di laut, tren (yang dimaksud) adalah tren yang hampir tidak terlihat, tapi sangat powerful dalam jangka panjang. Karena itu jangan salah melihat tren dan bukan tren. Marketer harus paham tren yang sebelah mana, dan memanfaatkan bukan trend (kita sebut fad) tersebut sebagai cara untuk jualan.
Saya kira #selfie itu bukan tren. Tapi keisengan (fad) yang memang bisa ditunggangi oleh para marketer untuk sementara waktu. Yang tepat kita sebut sebagai tren itu contohnya, Instagram. Jadi memanfaatkan visual social media tersebut untuk aktifitas komunikasi pemasaran. Youtube juga bisa dimanfaatkan dengan cara yang sama. Mengingat kelebihannya untuk memvisualisasikan gambar bergerak. Social media marketing memang tren yang baru dalam pemasaran dan masih akan berlangsung untuk waktu lama.
Tren #selfie ini mudah menyebar karena mudah diadaptasi. Istilahnya, gampang ditiru. Jadi yang mau meniru serba ga repot, tinggal narsis aja. Bareng temen-temen malah lebih oke. Karena narsis memang sudah menjadi kebutuhan. Apalagi ada tongsis (tongkat narsis) yang bantu foto sendiri jadi lebih mudah. Adaptabilitas memang salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas suatu trend.
Fenomena lain yang baru terjadi kurang dari setahun ini adalah maraknya olahraga lari. Saya sudah sampaikan sebelumnya, bahwa makin mudah diadaptasi maka makin mudah menjadi perilaku baru bagi target segment. Tinggal pakai sepatu, lalu melangkah, koq. Apalagi berbagai aplikasi (Nike+) dan social media semakin menunjang. Jadi, narsis-nya dapat, olahraganya juga dapat.
Lokal Bisnis
Kalau ingin berhasil, setiap bisnis harus berani me-"lokal"-kan dirinya sendiri. Karena transaksi jual-beli dengan konsumen justru terjadi di tingkat lokal. Betul kan?
Produk dibuat di pabrik, brand dibuat di benak konsumen, tapi jual beli antar keduanya terjadi di tingkat lokal kan? "Ada uang, ada barang" jadi istilah yang tepat, saya kira.
Saya menggarisbawahi konsep lokasi ini, karena konsumen punya asosiasi mental tertentu dengan lokasi. Seperti kita mengasosiasikan brownies kukus Amanda dengan kota Bandung. Buat pulang kampung ke Balikpapan, ini oleh-oleh yang paling sering kami beli. :D
Bicara tentang kota Bandung, kota ini memang punya keasyikan tersendiri untuk dikunjungi. Banyak yang datang ke Bandung semata untuk datang ke taman-tamannya serta membeli oleh-oleh khas Bandung.
Akhirnya, segala yang diasosiasikan dengan "dari Bandung", bisa dijual dengan lebih mudah di luar Bandung. Jadi ada brand relationship antara "kota Bandung" dengan segala yang "dari Bandung". Brand "kota Bandung" juga semakin baik karena segala yang "dari Bandung". Saling memperkuat ini yang akhirnya mempertajam positioning bandung sebagai kota kuliner.
Memang ada emosi yang kuat dan menyenangkan pada berbagai brand yang terasosiasi lekat dengan kota Bandung. Seakan selalu ada cerita yang kuat di balik setiap brand yang dilahirkan di kota tersebut.
Talkable
Populer itu tidak sekedar dikenal. Tapi juga dibicarakan. Nah ini yang agak sulit. Karena cerita tentang merek (brand story) harus talkable alias memiliki kencenderungan tinggi untuk dibicarakan. Authenticity jadi satu syarat untuk sering dibicarakan. Tidak hanya di dunia riil saja, syarat authenticity ini berlaku. Tapi juga di dunia social media.
Jokowi itu personal brand yang authentic. Maka menjadi populer brand. Meski baru saja melakukan backfire, karena menjilat ludah sendiri ketika berjanji akan menuntaskan masa kepemimpinannya di ibukota, tapi Jokowi tetap saja populer--minimal bagi warga Ibu Kota. Kali ini popularitasnya karena "pengkhianatan"-nya bagi warga DKI Jakarta.
Penutup
Popularitas tidak bisa dibangun sekali-sekali saja. Di luar sana, brand kita bertarung ketat dengan banyak brand yang lain. Berebut perhatian target customer kemudian menjadi sangat ketat. Bagaimana menjadi populer ketika menjadi terkenal saja masih sulit.
Apple Computer tidak pernah mengiklankan iPod, MacBook, iPhone dan iPad di Indonesia, lho. Tapi produk Apple sangat dibicarakan di sini. Bahkan, justru perusahaan lain yang berani mengiklankan. Saya simpulkan ini, setelah melihat baligo besar Telkomsel yang menampilkan bundling produk mereka dengan iPhone. Telkomsel sudah menjadi advocator bagi Apple di Indonesia.
Kemudian, populer tidak bisa disamakan dengan terkenal. Brand awareness yang tinggi, itulah yang kita sebut terkenal. Being popular brand is being a brand that discussed by people.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H