Mohon tunggu...
ikhunpetite
ikhunpetite Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[My Dyari] Mengejar Mutasi (No 153 ikhunpetite)

13 April 2016   09:56 Diperbarui: 13 April 2016   10:18 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ok"][/caption][My Dyari] Mengejar Mutasi (No 153 ikhunpetite)


 @TitikNol@nollannolpatnamlas@ 02.10am
 Hi, Di....semalaman ini aku nggak  bisa tidur meskipun mata terpejam tapi pikiran terus terjaga. Ya, begitulah. Aku seperti malam-malam yang lain, kamu tahu sendiri aku masih melek dengan pergumulan yang terus saja setia menemaniku. Sebenarnya aku sangat lelah. Tapi jalan lebar dan titik terang belum kutemukan. Semuanya masih tertutup rapat dan gelap. Sehingga rasa kantuk bahkan tidur nyenyak bersembunyi entah ke mana.
 Diary yang baik, tahu nggak tadi sore aku nggak sengaja menemukan sebuah sebuah nama yang tidak terlalu asing di ingatanku ketika aku membuka-buka messenger. Sebuah nama yang begitu unik bagiku. Nama itu adalah nama muridku 6 tahun yang lalu ketika aku masih mengajar di SMP Sutra di Kabupaten K. Aku kasih inisial nama anak itu saja ya. Namanya TPM.

Jadi secara tidak sengaja aku baca TPM menambahkan sebuah nama di belakang nama aslinya. Kamu tahu nggak dia menambahkan nama apa? TPM menambahkan nama R di belakangnya. Sejenak aku tertegun dan agak bingung. Apa sangkut pautnya TPM dan R. Kamu tahu, R adalah nama belakang seorang bupati yang baru saja menjabat di Kabupaten K. Pikiranku kembali melayang-layang di antara mengingat nama anak itu 6 tahun lalu dan nama bupati ini 6 tahun kemudian. Kalau memang benar dugaanku mungkin benar TPM adalah anak dari bupati itu.

Lalu kubuka facebook dia. Jantungku berdegup kencang karena ingin membuktikan rasa penasaranku. Setelah sekian lama tidak membuka FB, kini aku berselancar di dunia maya untuk mencari sebuah jawaban atas kebingunganku dan sssst.... di profil bagian depan terpasang foto anak itu yang kini sudah tampak lebih ganteng, berisi dan berkumis tipis, duduk bersama bapak bupati yang aku hanya kenal wajahnya dari baliho-baliho waktu kampanye tempo lalu. Astaga, ternyata TPM adalah benar anak bupati Kabupaten K sekarang. 

OMG !! Kenapa aku jadi kaget begini. Bukankah aku dulu wali kelas TPM? Jadi harusnya aku juga kenal ortunya. Mmmmm, tapi dulu yang sering ambil raportnya ‘kan mamanya. Jadi aku nggak tahu wajah ayahnya yang mana, Di.
 Di, mungkin kamu heran dengan  ceritaku. Heran kenapa aku seperti dapat surprise gitu. Iya, Di... Kamu tahu ‘kan selama ini aku selalu memikirkan pergumulanku yakni gimana caranya biar aku bisa mutasi kerja. Kapan ya  aku bisa berkumpul dan bersatu bersama keluarga kecilku.

Rasanya aku dah ngak mampu lagi jalani ini. Hidup merantau jauh dari siapa-siapa.

Kamu tahu kan, Di. Setahun yang lalu aku pernah mengiba-iba, memohon belas kasihan dari kepala sekolah agar diberikan rekomendasi mutasi. Bahkan, ketika aku menghadap kepala UPPK  waktu itu sampai-sampai aku tidak bisa bicara karena dada ini terasa sesak menanggung kesedihan. Hanya air mata yang terus mengalir serasa tiada surut. Bagaikan bola pongpong aku dioper kesana-kemari. Namun, tiada sedikitpun titik cerah dan jalan keluar kutemui.

Owh, Di!

Aku sudah tak mampu lagi. Aku sudah kehilangan semangat. Hanya senyuman dan tawa kecil anakku yang kini membakar semangatku ketika aku benar-benar putus asa.

Di, dari segala keinginan yang ada saat ini aku hanya ingin satu hal saja, mutasi!!

Ya!! Semua keinginanku bermuara ke mutasi. Aku ingin mutasi saja!

Aku berharap aku bisa mendapatkan rekomendasi dan tanda tangan dari “orang” yang punya kuasa, jabatan dan bisa memberiku rekomendasi.

....dan apakah kamu tahu orang yang paling bisa memberikannya adalah Bupati.

Maka dari itu, aku begitu penasaran dengan TPM. Aku pengen minta tolong dia agar mengatakan pergumulanku ke ayahnya. Yach, paling tidak TPM adalah orang terdekat Bapak Bupati.

Tapi, Di...

Aku takut...Apakah ide gilaku ini tidak membuatku “trouble” ke depannya.

Ah, entahlah. Aku sangat bimbang. Aku bergarap ada jalan keluar untuk pergumulanku. Aku percaya untuk segala sesuatu ada masanya (seperti ada yang tertulis di “Pengkotbah”). Pastnya segala sesuatu akan indah pada waktunya.

Meskipun kini aku harus berlari dan berseok-seok dalam keputusan. Aku akan terus mencoba mengejar mutasi, sampai kapanpun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun