Setahun lebih aksi genosida yang dilakukan entitas Yahudi di Gaza belum menunjukkan tanda-tanda kapan berakhir. Lebih dari 44.000 korban syahid di pihak Gaza urung menggerakkan hati penguasa muslim guna mengirimkan tentaranya. Separuh dari korban merupakan anak-anak dan perempuan, tetapi belum menyadarkan muslimin akan urgensi persatuan umat Islam. Ironis. Dua miliar muslim sedunia tersandera nation state. Ramai tagar #AynalMuslimun mengingatkan muslimin bahwa aksi genosida di Gaza belum berakhir. Â Â
Luput dari Perhatian
Dunia memeringati hari anak internasional tanggal 20 November 2024 dengan penuh euforia. Namun, anak-anak di Gaza masih memeluk luka. Mereka harus menerima kenyataan telah kehilangan rumah, orang tua, dan saudara. Di antara anak-anak yang masih hidup mengalami trauma dan atau dalam kondisi cacat seumur hidup. Bahkan, tak sedikit bayi mengalami trauma sejak dalam kandungan hingga harus lahir prematur. Jangankan menuntut hak pendidikan dan kesehatan, hak dasar hidup saja sudah tidak ada bagi anak-anak Gaza.
Dengan dalih menumpas Hamas, tentara zionis Israel meratakan bangunan di Gaza baik rumah, sekolah maupun rumah sakit. Wanita hamil di Gaza harus menerima kenyataan pahit, bersiap melahirkan dalam kondisi perang dengan fasilitas medis yang minim. Wanita yang melahirkan operasi harus merasakan luka sayatan pisau tumpul tanpa anestesi. Di saat dunia gencar memperjuangkan hak wanita dan anak-anak, Gaza tampak luput dari perhatian. Dunia mengetahui kondisi memilukan tersebut, tetapi hanya mampu mengutuk dan mengecam.
Yahudi Israel tak akn peduli bahwa invasi di Gaza menewaskan lebih banyak warga sipil, perempuan, dan anak-anak. Mereka menutup mata dan telinga akan kecaman masyarakat dunia. Sebaliknya, mereka melakukan pembelaan agar terus melakukan invasi. Sementara itu, para pemimpin dunia makin pandai beretorika mewujudkan kemerdekaan Palestina. Muslimin Amerika Serikat (AS) menelan kecewa, kabinet Trump ternyata pro Israel. Padahal, saat kampanye, Trump berjanji akan mengakhiri perang di Gaza dalam hitungan jam.
Gaza Butuh Bantuan MiliterÂ
Di saat sebagian muslim mulai lupa untuk memperjuangkan nasib rakyat Gaza, masyarakat non muslim di berbagai belahan dunia ramai-ramai turun ke jalan membela atas nama kemanusiaan. Nyatanya, manusia manapun yang bersih hatinya akan luluh saat melihat kondisi riil rakyat di sana. Mereka terisolasi di dalam penjara raksasa berupa Iron Wall yang dibangun dengan 140.000 ton besi dan baja, membentang 65 kilometer dari perbatasan Mesir, mengelilingi Jalur Gaza, dan menjorok ke Laut Mediterania.
Iron Wall memiliki pagar pembatas setinggi enam meter di atas tanah dan dilengkapi dengan sistem senjata yang dikendalikan dari jarak jauh. Di bawah tanah ada dinding logam yang dilengkapi sensor dan lapisan udara dilengkapi kamera serta radar. Di balik Iron Wall, rakyat Gaza dibombardir setiap hari. Mirisnya, negeri-negeri muslim yang berdekatan dengan Palestina -- termasuk Mesir yang berbatasan langsung -- tak berani mencampuri urusan internal Palestina lebih jauh.  Â
Memang, muslimin di dunia termasuk Indonesia tak tinggal diam. Upaya muslimin mengirim bantuan kemanusiaan berupa makanan, obat-obatan, dan tenaga medis tak boleh dianggap remeh. Aksi boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel pun ternyata membawa dampak signifikan. Sebut saja, sebanyak 47 gerai KFC tutup, ribuan karyawan di-PHK, dan merugi Rp557 miliar. Demikian halnya Pizza Hut Indonesia diberitakan menutup 20 gerai, memangkas 371 karyawan hingga mengalami kerugian Rp96,71 miliar.
Bahkan, hal yang tampak remeh seperti julid fi sabilillah berhasil melemahkan mental tentara Israel. Upaya netizen Indonesia yang gencar menyerang akun Instagram tentara-tentara zionis tersebut sempat mencuri perhatian dunia internasional. Namun, berbagai upaya di atas belum mampu mengakhiri peperangan di Gaza ataupun membebaskan Palestina. Hal ini karena bantuan yang dibutuhkan rakyat Palestina sebenarnya adalah bantuan militer.
Bukan berarti bahwa dibutuhkannya bantuan militer pertanda bahwa mujahidin Gaza lemah. Sungguh, mereka orang-orang cerdas dan kuat hingga masih bertahan sampai detik ini. Seperti diketahui, luas wilayah Jalur Gaza hanya sekitar 363 km persegi. Namun, zionis belum mampu menaklukkan Jalur Gaza secara penuh. Padahal, jika dilihat dari segi peralatan perang, mujahidin kalah jauh. Andai saja, Israel tidak dibantu oleh AS dan sekutu, dengan izin Allah, mujahidin pasti sudah menang telak.
Israel mengklaim, wilayah kekuasaan mereka meliputi Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan, yaitu seluas 22.072 km persegi. Wilayah tersebut sangat kecil dibandingkan luas wilayah negeri-negeri muslim di Timur Tengah dan seharusnya bisa ditaklukkan. Sayangnya, negeri-negeri muslim tampak enggan mengambil resiko untuk mengirimkan tentaranya. Tentara Israel mendapat bantuan dana, tentara, dan peralatan perang canggih sampai saat ini. Sementara Gaza mendapat bantuan pakaian, makanan dan obat-obatan. Tak berimbang bukan?
Tragisnya, bantuan kemanusiaan sering dihambat hingga tak sampai ke tangan rakyat Gaza. Gerbang Rafah, yaitu pintu perbatasan Mesir-Gaza merupakan satu-satunya jalur darat untuk masuknya bantuan kemanusiaan. Namun, Mesir tidak memiliki kendali penuh atas gerbang tersebut. Mau tak mau, rakyat Gaza yang masih hidup harus bersabar dan ridho menghadapi kondisi kelaparan, kehausan, dan kedinginan dengan waktu yang tak pasti. Â
Kalaulah benar, para pemimpin muslim dunia peduli akan nasib Gaza, maka mereka akan mengirimkan bantuan militer segera. Secara faktual, muslimin tak bisa mengharapkan lembaga perdamaian dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung sekian lama. Seperti diketahui, PBB menawarkan kemerdekaan Palestina dengan syarat berdirinya dua negara berdampingan, yaitu Israel dan Palestina. Miris. Bagaimana mungkin 'penjajah' hidup berdampingan dengan 'rakyat jajahannya'?Â
Bantuan militer memang sempat datang hingga eskalasi pertempuran meningkat. Sampai-sampai, muncul prediksi akan terjadi perang dunia ketiga. Namun, militer dimaksud hanya berasal dari kelompok militan seperti Hizbullah dan Houthi. Bukan militer yang dikirim atas nama pemimpin suatu negara. Adapun terkait serangan Iran, tampaknya bukan demi Free Palestine. Serangan tersebut tidak menimbulkan kerugian besar bagi Israel. Serangan Iran lebih tampak demi 'melindungi wajah' selaku negara tetangga Palestina.
Palestina Masalah BersamaÂ
Kondisi saat ini tampaknya sudah tak penting membahas gencatan senjata dan perdamaian. Rakyat Gaza sudah terlalu banyak kehilangan. Lagi pula, zionis Israel tak pernah mengenal bahasa 'perdamaian' melainkan hanya mengenal bahasa 'perang'. Muslimin harusnya tak terhipnotis dengan janji Trump untuk mengakhiri invasi Gaza. Hal ini karena sejak awal, AS merupakan negara yang memelihara dan membesarkan zionis Israel secara terang-terangan.
Sangat disayangkan, muslimin terkotak-kotak dengan batas wilayah negara masing-masing hingga menganggap masalah Palestina tak perlu dibela mati-matian. Sadar atau tidak, nasionalime menjadikan muslimin lebih individualistis. Tampak bahwa ikatan nasionalisme sangat rapuh. Ikatan nasionalisme hanya muncul ketika suatu negeri dijajah oleh bangsa lain. Akan tetapi, ikatan itu lepas bersamaan ketika penjajah pergi. Nasionalisme tak mampu mengikat sesama muslimin yang berada di negara bangsa yang berbeda. Â
Padahal, Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Perumpamaan kaum mukminin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan demam dan tidak bisa tidur." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesadaran muslimin bahwa masalah Palestina adalah masalah bersama sangatlah penting. Masjid Al-Aqsa sebagai kiblat pertama sekaligus tempat suci ketiga umat Islam wajib dijaga. Konflik antara Israel-Palestina memang bukan sekadar perebutan wilayah, tetapi juga terkait agama. Dengan dalih mencari Haikal Sulaiman yang hilang, zionis Israel melakukan pengusiran, kekejian, perampasan wilayah, dan pembantaian terhadap rakyat Palestina. Invasi Israel yang terjadi di Gaza jelas menunjukkan upaya genosida dan harus dihentikan.
Sesungguhnya, mudah bagi Allah Swt. untuk memberi kemenangan di pihak Palestina. Namun, kemenangan itu ternyata belum diizinkan datang. Mungkin, Allah sedang menguji, penguasa muslimin mana yang mampu melepas ikatan nation state untuk bergabung dengan mujahidin Palestina. Nyatanya, hanya ikatan akidah yang mampu menyatukan hati dan pikiran demi berjuang bersama mengusir penjajah dari negeri-negeri muslimin. Sungguh, hanya dengan bersatunya muslimin, negeri para Anbiya tersebut bisa benar-benar merdeka. Â
Wallahu'alam bish showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H