Mohon tunggu...
Ikhtiyatoh
Ikhtiyatoh Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ibu dari lima anak soleh solehah

Suka mendengarkan berita politik sambil bergelut di dunia perdapuran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dilema Peternak Sapi Perah New Zealand van Java

22 November 2024   09:50 Diperbarui: 24 November 2024   04:53 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah gencarnya sosialisasi Program Minum Susu Gratis, peternak sapi perah dan pengepul asal Boyolali justru mandi susu hingga membuang puluan ribu liter susu sapi segar. Sebagian masyarakat tentu berpikir, membuang susu merupakan perbuatan mubazir yang dilarang agama. Alangkah baiknya susu diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan atau diolah menjadi produk turunan. Namun, sayangnya, kondisi peternak sapi perah Boyolali tidak sesimpel itu. Mereka sedang tidak baik-baik saja hingga berhadapan dengan kondisi dilema.

Pembatasan Kuota Susu

Boyolali memutih setelah ratusan peternak sapi perah dan pengepul melakukan aksi mandi susu di Tugu Susu Tumpah, Boyolali, Jawa Tengah (9/11). Aksi tersebut merupakan bentuk protes buntut dari pembatasan kuota susu oleh Industri Pengelola Susu (IPS). Mereka juga membagikan 1.000liter susu segar secara gratis kepada warga. Aksi protes yang viral di media sosial tersebut diakhiri dengan membuang 50.000liter susu ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Winong, Boyolali.

Aksi membuang susu sapi tak hanya terjadi di Boyolali. Peternak sekaligus pengepul susu sapi asal Pasuruan, Jawa Timur, Bayu Aji Handayanto viral setelah membuang susu sapi ke area perkebunan. Aksi tersebut merupakan bentuk kecewa atas pembatasan kuota susu dari industri. Bayu mengungkapkan, industri hanya menerima susu 40 ton per hari sejak akhir September 2024, padahal sebelumnya bisa mencapai 70 ton per hari. Pembatasan kuota susu, menurutnya, tak hanya terjadi di Jawa Timur, tetapi juga di Jawa Barat (Kompas.com, 9/11/2024).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), Sonny Effendhi mengungkapkan, pembatasan kuota dilakukan karena kualitas susu peternak lokal tidak sesuai standar perusahaan. Menurutnya, susu perternak lokal mengandung bahan-bahan tertentu yang tidak aman dikonsumsi masyarakat. Ia melanjutkan, susu lokal mengandung air, sugar syrup, karbonat, dan hidrogen peroksida. Oleh karena itu, menurutnya, industri lebih memilih impor dari Selandia Baru dan Amerika Serikat (cnnindonesia.com, 12/11/2024).

Tersandera Pajak

Selain berpolemik dengan pembatasan kuota susu, peternak sapi perah juga terbentur dengan masalah pajak. Sebelumnya, viral pengepul susu sapi perah, UD Pramono asal Boyolali mengaku akan menutup usahanya karena pusing ditagih pajak sebesar Rp671 juta. Pramono tak sanggup membayar pajak tersebut hingga berujung pemblokiran rekening bank pada tanggal 4 Oktober 2024. Padahal, menurutnya, ia rutin membayar pajak senilai Rp10 juta sejak memulai usaha tahun 2015 (detik.com, 10/11/2024).

Sungguh pilu mendengar kisah Pramono yang sempat ditagih pajak Rp2 miliar sebelum negosiasi menjadi Rp671 juta. Pada tahun 2018 Pramono sempat membayar pajak Rp5 juta. Namun, pajak naik menjadi Rp75 juta di tahun 2019 kemudian naik lagi menjadi Rp200 juta di tahun 2020. Penutupan UD Pramono akan berdampak besar pada nasib 1.300 peternak sapi di bawah naungannya. Selama ini, peternak sapi diberi kemudahan oleh Pramono terkait pakan, pinjaman bunga 0% serta mendapat harga susu lebih tinggi dari pasaran, yaitu Rp7.600,00.

Dengan diblokirnya rekening, UD Pramono tak bisa membeli susu dari peternak sapi. Ironis. Di saat pemerintah mempersiapkan pogram minum susu gratis, peternak sapi perah tersandera pembatasan kuota dan pajak. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran adanya permainan dalam perdagangan susu. Di tengah kondisi harga susu sapi yang belum ideal, mereka harus bersaing dengan susu impor. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, menyatakan, harga ideal susu sapi segar Rp9.000,00 per liter, tetapi harga di pasaran hanya Rp7.000,00 per liter.

Budi mengungkap penyebab tingginya angka impor susu sapi karena produksi dalam negeri hanya memenuhi kuota 20% yaitu sebesar 837.223 ton. Sementara data konsumsi susu nasional tahun 2022-2023 sebesar 4,4 juta ton. Selain itu, menurutnya, negara pengekspor seperti Selandia Baru dan Australia memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia yang menghapus bea masuk produk susu. Hal ini menjadikan harga susu mereka lebih murah 5% dibanding harga susu dunia (finance.detik.com, 11/11/2024).

Lagi-lagi, tampak ironis. Kalaulah benar, alasan impor adalah karena produksi dalam negeri minim, kenapa peternak sapi Boyolali membuang susu begitu banyak? Logikanya, peternak sampai membuang susu, berarti mereka dalam kondisi produksi melimpah. Dengan membuang susu sapi 50.000 liter per hari, akan ditemukan angka 1.500.000 liter atau 1.500 ton susu per bulan. Sementara itu, pembatasan kuota susu sapi lokal sudah berlangsung sejak September 2024. Tak bisa dibayangkan betapa banyak susu yang sebenanya sudah terbuang sia-sia.

Publik tentu tak bisa menyalahkan peternak sapi sepenuhnya. Mereka bukan tak ingin bersedekah, tetapi menyalurkan susu sebanyak itu membutuhkan tenaga dan biaya ekstra. Seperti diketahui, susu sapi segar harus segera disalurkan karena hanya bertahan 48 jam. Sementara itu, peternak sapi perah Boyolali hanyalah peternak kecil yang menjual susu demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menghentikan produksi susu juga bukan solusi. Di tengah kondisi dilema, mau tidak mau mereka membuang susu percuma.

Selama ini, Boyolali dikenal dengan nama New Zealand van Java atau Selandia Baru dari Jawa. Seperti halnya New Zealand, Boyolali merupakan salah satu produsen susu dan pemasok daging sapi terbesar di Indonesia. Dikutip dari laman boyolalikab.bps.go.id, jumlah sapi perah di Kabupaten Boyolali sebanyak 60.704 ekor (2022). Jumlah sapi tersebut mampu memproduksi susu sapi sebanyak 51,9 juta liter di tahun 2022. Namun, jumlah produksi susu sapi tahun 2023 menurun, yaitu hanya 38,8 juta liter akibat munculnya penyakit mulut dan kuku (PMK) dan lumpy skin diseases (LSD).

Di Mana Peran Negara?

Sengkarut peternak susu sapi perah menyisakan pertanyaan, di mana peran negara selama ini? Padahal, profesi peternak sapi perah di Boyolali sudah berjalan belasan hingga puluhan tahun secara turun menurun. Kenapa harus 'viral dulu, gerak kemudian'? Problem para peternak sapi seperti tak terdeteksi oleh pemerintah hingga harus unjuk gigi di depan publik.

Pemerintahan baru Prabowo-Gibran tampak cepat merespon aksi mandi susu di Boyolali. Namun, solusi atas masalah tersebut tak cukup menghimbau IPS menyerap susu sapi lokal. Pemerintah juga wajib membuat regulasi yang bisa melindungi nasib peternak sapi lokal dengan lebih jelas. Jauh sebelumnya, ada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1985 Tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Akan tetapi, regulasi itu dicabut di awal tahun 1998 demi mengikuti Letter of Intent antara pemerintah RI dengan IMF.

Miris. Susu lokal terkena pajak besar sementara susu dari New Zealand dan Australia bebas PPN dan bea masuk. Ketentuan tentang pembebasan bea masuk diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 166 Tahun 2011 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Dalam Rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).

Pemerintah harusnya jeli, anggaran jumbo program susu gratis sebesar Rp14 triliun sangat menggiurkan bagi para kapital. Industri lebih memilih susu impor (skim) karena tahan lama, mengurangi biaya produksi, hemat waktu hingga untung yang diperoleh bisa lebih banyak. Sesungguhnya, karakter kapitalis memang demikian, mengambil untung banyak dengan modal sedikit tanpa memedulikan rakyat kecil. Selanjutnya, nasib peternak sapi perah ada di tangan pemerintah. Akankah tetap membela para kapital atau kembali membela peternak kecil.

Nyatanya, kebijakan pemerintah terkait impor selalu merugikan rakyat. Peternak kecil tentu kalah saat berhadapan dengan importir. Cepat atau lambat, usaha peternak sapi akan gulung tikar. Sama halnya ketika pemerintah melalui Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, berkeingingan mengundang investor Vietnam membangun industri susu di Indonesia. Kebijakan tersebut sangat potensial mematikan industri lokal. Miris. Kebijakan impor dan mengundang investor terus dilakukan dengan dalih sumber daya dan teknologi masih minim.

Adapun terkait klaim AIPS yang menyatakan susu sapi lokal memiliki kualitas rendah, maka diperlukan penelitian lebih lanjut. Berbicara kualitas, susu sapi impor berupa skim juga belum tentu lebih baik dari susu lokal karena sudah melewati berbagai macam proses. Jangan sampai, klaim kualitas susu lokal rendah hanya untuk membenarkan kebijakan impor susu. Selain meneliti kualitas susu sapi lokal, pemerintah juga perlu meneliti produk industri berupa susu instan yang selama ini disinyalir lebih banyak mengandung gula dan pewarna.

Allah SWT. berfirman dalam Al-Quran, "Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rosul, dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian sedang kalian mengetahui." (QS. Al-Anfal: 27)

Pemerintah memiliki amanah sekaligus kewajiban mengurusi urusan rakyatnya. Optimisme bahwa Indonesia tidak kekurangan orang pintar untuk berdikari sangat dibutuhkan. Asalkan, pemerintah mau melakukan pembinaan, pemberdayaan serta pendampingan kepada masyarakat, maka kemandirian memproduksi susu sapi maupun produk turunan yang berkualitas pasti bisa terwujud. Kualitas susu sapi berkaitan erat dengan masalah pakan ternak. Indonesia, sebagai negara agraris potensial untuk menghasilkan pakan ternak yang bagus.

Impor dan investasi merupakan kebijakan yang diharuskan dalam negara sekuler kapitalis di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada awalnya, produk impor atau industri asing ditawarkan dengan harga murah agar memenangkan pasar. Saat produk tersebut menguasai pasar dan tak lagi ada pesaing barulah membuat harga sesuka hati. Jadi, selama pemerintah takluk terhadap aturan pasar bebas yang menuntut ramah terhadap produk impor dan welcome terhadap investor, nasib rakyat yang di dalamnya ada peternak sapi perah tidak akan baik-baik saja.

Wallahu 'alam bish showab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun