Seperti biasa, Pak Udin singgah di warung kopi dekat pusat Kota Serang bersama dengan teman pengemudi ojek online "ojol" lainnya.Â
Hari ini cuaca terasa lebih terik dari biasanya, tetapi kopi panas masih terasa nikmat ditemani dengan sebatang rokok filter merek baru yang murah tapi kata Pak Udin rasanya seperti rokok mahal.Â
Merek rokok yang biasa dibeli Pak Udin berbeda dengan yang biasanya dibeli 2 tahun lalu, katanya merek yang lama itu sekarang sudah mahal sekali jadi terpaksa harus ganti merek rokok.Â
Beliau pun juga mengeluh sekarang sulit untuk menabung karena harga kebutuhan pokok semakin naik sementara pendapatan masih segini-segini saja.
Pak Udin adalah contoh nyata masyarakat yang kini akrab disebut  kelompok penduduk "kelas menengah" atau bahkan kelompok penduduk "calon kelas menengah".Â
Untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari mungkin cukup, namun agak sulit ketika harus membeli kebutuhan lainnya. Akhir-akhir ini publik akrab dengan pemberitaan penduduk kelas menengah dan kemiskinan.
Banyak pakar ekonomi yang memperingatkan bahwa pemerintah mestinya lebih memperhatikan golongan masyarakat kelas menengah yang "turun kelas" dan tidak hanya "memamerkan" capaian penurunan tingkat kemiskinan secara umum.
Perbedaan cara hitung bukan berarti data tersebut salah
Memang benar berdasarkan data makro yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin Indonesia pada Maret 2024 tercatat sebesar 9,03 persen yang mengalami penurunan dibandingkan kondisi Maret 2023 (9,36 persen).Â
Jika hanya melihat angka, pemerintah bisa saja mengeklaim bahwa ada penurunan kemiskinan yang signifikan, namun disisi lain masyarakat bawah banyak yang mengeluh kesulitan ekonomi seperti yang Pak Udin alami.Â
Masyarakat sekarang sudah semakin cerdas dan melek data, untuk itu sudah seharusnya diperlukan kebijaksanaan, kehati-hatian, dan ketelitian dalam melihat data-data tersebut.