Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dolar dalam Pusaran Geopolitik: BRICS, Ancaman Trump, dan Posisi Indonesia

1 Februari 2025   20:00 Diperbarui: 1 Februari 2025   20:00 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Donald Trump kembali dengan ancaman barunya. Kali ini, ia menegaskan bahwa Amerika Serikat (AS) tidak akan tinggal diam jika negara-negara BRICS berusaha meninggalkan dolar dalam perdagangan internasional.

Ancaman tarif 100 persen ia gaungkan sebagai peringatan bagi Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, serta anggota baru seperti Indonesia. Apakah ini hanya gertakan belaka, atau benar-benar awal dari perang mata uang global?

Ancaman Trump ini tentu bukan tanpa alasan. Sejak beberapa tahun terakhir, negara-negara BRICS semakin vokal dalam upaya dedolarisasi. Perang dagang AS-Tiongkok, sanksi ekonomi terhadap Rusia, serta ketidakstabilan geopolitik telah membuat negara-negara berkembang mencari alternatif selain dolar dalam transaksi global.

Jika sebelumnya diskusi seputar penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan hanya sebatas wacana, kini realisasinya semakin nyata. Beberapa negara BRICS telah mulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar, bahkan membuka opsi untuk menggunakan mata uang masing-masing dalam perdagangan bilateral.

Rusia, yang kerap menjadi sasaran sanksi Barat, telah lama mendorong diversifikasi transaksi keuangan. Namun, dalam pernyataan resminya, Kremlin menegaskan bahwa BRICS tidak memiliki rencana untuk menciptakan mata uang baru yang menggantikan dolar.

Mereka lebih fokus pada platform investasi bersama serta penggunaan mata uang lokal yang lebih fleksibel. Artinya, dedolarisasi tidak serta-merta berarti pembentukan mata uang baru, melainkan strategi bertahap untuk mengurangi dominasi dolar dalam ekonomi global.

Namun, Trump melihat situasi ini sebagai ancaman terhadap supremasi ekonomi AS. Dengan karakter khasnya yang konfrontatif, ia tidak segan untuk mengancam negara-negara BRICS dengan tarif dagang.

Sikap ini tentu membawa konsekuensi besar bagi stabilitas ekonomi global. Jika benar AS menerapkan tarif 100 persen, maka gelombang perang dagang baru bisa saja terjadi, yang akan berdampak tidak hanya pada negara-negara BRICS, tetapi juga pada rantai pasokan global.

Lantas, bagaimana sebaiknya Indonesia menyikapi situasi ini? Sebagai anggota baru BRICS, Indonesia berada dalam posisi unik. Di satu sisi, keanggotaan ini memberikan peluang besar untuk memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara berkembang.

Namun, di sisi lain, Indonesia harus tetap menjaga hubungan baik dengan mitra-mitra tradisionalnya seperti AS dan Uni Eropa. Tantangan terbesar adalah menyeimbangkan kebijakan ekonomi agar tetap independen tanpa menimbulkan gesekan dengan salah satu blok kekuatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun