Donald Trump kembali dengan ancaman barunya. Kali ini, ia menegaskan bahwa Amerika Serikat (AS) tidak akan tinggal diam jika negara-negara BRICS berusaha meninggalkan dolar dalam perdagangan internasional.
Ancaman tarif 100 persen ia gaungkan sebagai peringatan bagi Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, serta anggota baru seperti Indonesia. Apakah ini hanya gertakan belaka, atau benar-benar awal dari perang mata uang global?
Ancaman Trump ini tentu bukan tanpa alasan. Sejak beberapa tahun terakhir, negara-negara BRICS semakin vokal dalam upaya dedolarisasi. Perang dagang AS-Tiongkok, sanksi ekonomi terhadap Rusia, serta ketidakstabilan geopolitik telah membuat negara-negara berkembang mencari alternatif selain dolar dalam transaksi global.
Jika sebelumnya diskusi seputar penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan hanya sebatas wacana, kini realisasinya semakin nyata. Beberapa negara BRICS telah mulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar, bahkan membuka opsi untuk menggunakan mata uang masing-masing dalam perdagangan bilateral.
Rusia, yang kerap menjadi sasaran sanksi Barat, telah lama mendorong diversifikasi transaksi keuangan. Namun, dalam pernyataan resminya, Kremlin menegaskan bahwa BRICS tidak memiliki rencana untuk menciptakan mata uang baru yang menggantikan dolar.
Mereka lebih fokus pada platform investasi bersama serta penggunaan mata uang lokal yang lebih fleksibel. Artinya, dedolarisasi tidak serta-merta berarti pembentukan mata uang baru, melainkan strategi bertahap untuk mengurangi dominasi dolar dalam ekonomi global.
Namun, Trump melihat situasi ini sebagai ancaman terhadap supremasi ekonomi AS. Dengan karakter khasnya yang konfrontatif, ia tidak segan untuk mengancam negara-negara BRICS dengan tarif dagang.
Sikap ini tentu membawa konsekuensi besar bagi stabilitas ekonomi global. Jika benar AS menerapkan tarif 100 persen, maka gelombang perang dagang baru bisa saja terjadi, yang akan berdampak tidak hanya pada negara-negara BRICS, tetapi juga pada rantai pasokan global.
Lantas, bagaimana sebaiknya Indonesia menyikapi situasi ini? Sebagai anggota baru BRICS, Indonesia berada dalam posisi unik. Di satu sisi, keanggotaan ini memberikan peluang besar untuk memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara berkembang.
Namun, di sisi lain, Indonesia harus tetap menjaga hubungan baik dengan mitra-mitra tradisionalnya seperti AS dan Uni Eropa. Tantangan terbesar adalah menyeimbangkan kebijakan ekonomi agar tetap independen tanpa menimbulkan gesekan dengan salah satu blok kekuatan.
Kebijakan luar negeri Indonesia yang berprinsip otonomi strategis harus menjadi landasan utama dalam menyikapi ancaman Trump. Bergabung dengan BRICS bukan berarti meninggalkan kerja sama dengan AS.
Sebaliknya, Indonesia harus mampu memainkan peran sebagai jembatan antara dunia Barat dan negara-negara berkembang. Diplomasi ekonomi yang cerdas dan fleksibel diperlukan untuk memastikan Indonesia tidak terjebak dalam perang dagang yang bisa merugikan kepentingan nasional.
Selain itu, Indonesia juga perlu memperkuat strategi perdagangan dengan menekankan diversifikasi pasar ekspor dan investasi. Jika ketergantungan terhadap dolar mulai dikurangi, maka kesiapan dalam mengadopsi sistem pembayaran yang lebih fleksibel harus ditingkatkan.
Perdagangan menggunakan mata uang lokal dengan mitra BRICS bisa menjadi opsi, namun tetap harus dilakukan dengan perhitungan matang agar tidak menimbulkan ketidakstabilan ekonomi domestik.
Keanggotaan di BRICS seharusnya menjadi peluang, bukan beban. Indonesia harus memanfaatkannya untuk memperkuat daya tawar dalam negosiasi perdagangan global. Langkah-langkah strategis seperti peningkatan investasi di sektor infrastruktur, transisi energi, dan penguatan industri lokal harus menjadi prioritas.
Dengan begitu, Indonesia tidak hanya menjadi peserta pasif dalam dinamika global, tetapi juga aktor utama yang bisa mengarahkan arah kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Dunia saat ini berada dalam fase perubahan besar, di mana dominasi satu mata uang dalam ekonomi global mulai dipertanyakan. Ancaman Trump terhadap BRICS adalah cerminan dari ketakutan AS kehilangan kontrol atas sistem keuangan internasional.
Namun, bagi Indonesia, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang mandiri dan seimbang dapat menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan global.
Dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa menjadi contoh negara yang tidak hanya mengikuti arus, tetapi juga turut membentuk tatanan ekonomi dunia yang lebih adil dan stabil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI