Sepuluh hari pertama Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat menjadi periode yang penuh gejolak dan kontroversi. Dengan sekitar 40 keputusan presiden yang menyentuh berbagai aspek pemerintahan, Trump mengguncang negara dan memicu gelombang ketidakpuasan yang meluas.
Senator Demokrat Chris Murphy bahkan menyebut kebijakan Trump sebagai "blitzkrieg"---serangan mendadak yang membingungkan dan merugikan banyak pihak. Dari pemotongan anggaran sosial hingga klaim ngawur tentang astronot yang terlantar di luar angkasa, berikut adalah sembilan manuver paling konyol Trump dalam hari-hari pertamanya di Gedung Putih.
Trump mencoba mengubah undang-undang kewarganegaraan secara mendadak, sebuah langkah yang akan berdampak pada ratusan ribu anak yang bukan warga negara. Keputusan ini langsung ditentang oleh pengadilan dan menjadi kekalahan hukum terbesar Trump dalam seminggu pertamanya menjabat.
Kemunduran ini semakin diperparah oleh keputusannya untuk memblokir pengeluaran triliunan dolar untuk berbagai program bantuan sosial, termasuk bagi anak-anak, lansia, pelajar, dan wirausahawan kecil.
Setelah mendapat tekanan besar dari masyarakat dan media, Trump terpaksa mencabut kebijakan ini, menunjukkan betapa impulsif dan buruknya perencanaan kebijakan yang dibuatnya.
Juru bicara Trump sempat mencoba mempertahankan pembekuan anggaran ini dengan menyebutnya sebagai "tindakan yang sangat bertanggung jawab." Namun, oposisi berhasil menanamkan narasi bahwa tindakan ini tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga berbahaya dan tidak manusiawi. Trump tampaknya sangat terburu-buru dalam menjalankan janji kampanyenya, sehingga mengabaikan dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut.
Di sisi lain, Trump juga mulai memecat orang-orang yang tidak disukainya. Dengan perintah langsungnya, berbagai menteri yang baru dilantik mulai melancarkan aksi balas dendam. Dana bantuan luar negeri dipangkas, dua juta pegawai negeri diberi tawaran pesangon untuk mengundurkan diri, dan 18 inspektur jenderal yang bertugas menyelidiki korupsi dalam pemerintahan dipecat begitu saja.
Bahkan Senator Partai Republik Chuck Grassley pun mulai mempertanyakan keputusan Trump, mengkritik bahwa tidak ada pemberitahuan 30 hari yang wajib diberikan kepada Kongres sebelum pemecatan tersebut dilakukan. Ini menunjukkan bahwa bahkan sekutu politik Trump pun mulai merasa tidak nyaman dengan tindakannya.
elain tindakan administratif yang merusak, Trump juga tidak segan menyebarkan informasi yang menyesatkan. Dalam konferensi pers pertamanya di Gedung Putih, juru bicaranya, Kathrin Leavitt, mengklaim bahwa pemerintahan sebelumnya menghabiskan $50 juta untuk membeli kondom bagi warga di Jalur Gaza---klaim yang tidak didukung bukti apa pun. Bahkan pejabat pemerintah sendiri akhirnya mengakui bahwa pernyataan tersebut tidak benar.
Tidak berhenti di situ, Trump juga melontarkan klaim aneh mengenai astronot NASA yang disebutnya "ditelantarkan di luar angkasa oleh pemerintahan Biden." Ia bahkan meminta Elon Musk untuk segera membawa mereka kembali.
Padahal, NASA telah menjadwalkan kepulangan mereka menggunakan kapsul SpaceX pada bulan Maret, dan ini sudah direncanakan sejak lama. Kebohongan seperti ini semakin memperlihatkan betapa Trump lebih mengandalkan sensasi dibanding fakta.
Ambisinya untuk merombak aparatur negara juga mendapat perlawanan sengit. Dalam upayanya untuk membersihkan pemerintahan dari orang-orang yang dianggap tidak loyal, Trump menawarkan gaji lanjutan selama delapan bulan bagi 2,3 juta pegawai negeri yang bersedia mengundurkan diri.
Mirip dengan langkah Elon Musk yang memaksa ribuan karyawan Twitter (sekarang X) untuk pergi setelah akuisisinya, langkah ini langsung mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Senator Demokrat Tim Kaine dengan tegas menyebut bahwa Trump tidak memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut, namun tampaknya Trump tidak peduli dengan batasan hukum yang ada.
Selain mencoba merombak birokrasi, Trump juga membalas dendam kepada para mantan pejabat yang pernah mengkritiknya. Perlindungan pribadi untuk John Bolton, Mike Pompeo, dan mantan kepala staf Mark Milley dicabut.
Bahkan, Menteri Pertahanan yang baru, Pete Hegseth, memberitahu Milley bahwa ia tidak lagi memiliki akses ke dokumen rahasia dan akan menjalani tindakan disipliner yang bisa menurunkan pangkatnya. Milley sendiri pernah mengungkap bahwa Trump berusaha mendapatkan kendali penuh atas senjata nuklir AS---sebuah klaim yang memperkuat tuduhan bahwa Trump memiliki kecenderungan fasis.
Sebagai puncaknya, Trump melontarkan wacana gila tentang relokasi pengungsi Gaza. Ia mengusulkan agar mereka dikirim ke negara-negara Arab, Indonesia, bahkan ke Mars! Pernyataan ini tentu saja menimbulkan kebingungan, karena selain tidak masuk akal, ide tersebut juga tidak memiliki dasar kebijakan yang jelas. Ini semakin membuktikan bahwa Trump lebih suka melontarkan retorika bombastis daripada menawarkan solusi nyata.
Dalam sepuluh hari pertama kepemimpinannya, Trump telah menunjukkan pola kepemimpinan yang didominasi oleh ketergesaan, balas dendam politik, dan kebijakan impulsif yang justru merugikan banyak pihak. Bagi sebagian orang, gaya kepemimpinan seperti ini mungkin menarik karena terlihat seperti aksi "orang kuat."
Namun, bagi banyak pihak lainnya, ini justru menjadi pertanda bahaya bagi stabilitas demokrasi Amerika Serikat. Jika sepuluh hari pertama saja sudah seperti ini, bagaimana dengan sisa masa kepresidenannya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI