Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jual Beli Remisi, Celah bagi Harvey Moeis?

29 Januari 2025   18:47 Diperbarui: 29 Januari 2025   18:47 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harvey Moeis salami jaksa usai diperiksa sebagai terdakwa dugaan korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (6/12).(kompas.com/Syakirun Ni'am)

Kasus korupsi yang menjerat Harvey Moeis kembali menuai perdebatan, terutama terkait kemungkinan pemberian remisi yang bisa meringankan hukumannya. Laode M. Syarif, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menegaskan bahwa terdakwa dalam kasus korupsi timah ini seharusnya tidak mendapatkan potongan masa hukuman.

Menurutnya, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang seharusnya mendapat hukuman berat tanpa keringanan.

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut bahwa Harvey layak dihukum 50 tahun penjara, menurut Laode, lebih merupakan sindiran agar para hakim menjatuhkan hukuman maksimal.

Dalam sistem hukum Indonesia, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, hukuman maksimal bagi koruptor adalah seumur hidup atau 20 tahun penjara. Meski begitu, yang menjadi persoalan utama bukanlah lamanya hukuman, tetapi kemudahan para narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi.

Sejarah mencatat bahwa pada 2021, Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang memperketat pemberian remisi bagi napi korupsi. Sebelum aturan itu dihapus, syarat remisi bagi narapidana kasus korupsi lebih ketat: mereka harus bersedia menjadi justice collaborator dan membayar denda serta uang pengganti.

Namun, setelah aturan tersebut dicabut, kini mereka bisa mendapatkan remisi dengan syarat yang sama seperti narapidana lainnya, yaitu hanya perlu berkelakuan baik dan telah menjalani lebih dari enam bulan masa tahanan. Laode menilai kebijakan ini merugikan upaya pemberantasan korupsi dan membuka peluang bagi praktik jual beli remisi di dalam lembaga pemasyarakatan.

Dugaan praktik jual beli remisi semakin mencuat setelah Laode mengungkapkan bahwa dirinya pernah mendengar soal transaksi ilegal ini. Menurutnya, remisi bisa saja diperjualbelikan---mulai dari 10 hari, 1 bulan, hingga 6 bulan, tergantung kesepakatan.

Ia menyesalkan bahwa aturan yang dulu membatasi remisi bagi koruptor kini dihapus, sehingga mereka bisa kembali menghirup udara bebas lebih cepat daripada yang seharusnya.

Dalam praktiknya, pemerintah memang kerap memberikan remisi kepada narapidana kasus korupsi. Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa pada perayaan HUT RI tahun 2021 dan 2022, sebanyak 635 napi korupsi mendapat remisi, dengan delapan orang langsung bebas.

Indonesian Corruption Watch juga mencatat bahwa pada 2019, sebanyak 338 napi korupsi menerima remisi pada momentum yang sama. Pada September 2022, pemerintah bahkan membebaskan bersyarat 23 narapidana korupsi, termasuk mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, hingga mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Fenomena ini memperlihatkan bahwa hukuman bagi koruptor di Indonesia cenderung kehilangan efek jera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun