Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Salah Kaprah Isra' Mi'raj, Bukan untuk Menerima Perintah Shalat

26 Januari 2025   13:32 Diperbarui: 26 Januari 2025   13:32 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ash-shalatu Mi'rajul Mukminin. Ummat Islam  bermi'raj tiap saat melalui shalat (Pexels/Michael Burrows via kompas.com)

Isra' Mi'raj adalah salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam yang terus diceritakan secara turun-temurun. Namun, ada sejumlah kesalahkaprahan yang sudah berlangsung berabad-abad dan menjadi narasi yang tak tergoyahkan.

Salah satunya adalah anggapan bahwa Isra' Mi'raj dilakukan Rasulullah SAW untuk menerima perintah shalat lima waktu. Benarkah demikian?

Kisah yang Kita Ketahui Sejak Kecil

Sebagian besar dari kita mengenal kisah Isra' Mi'raj seperti ini: pada suatu malam, Rasulullah SAW melakukan perjalanan dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina dengan mengendarai Buraq, makhluk berwujud seperti kuda bersayap dengan wajah manusia yang cantik.

Dari Masjidil Aqsha, beliau melanjutkan perjalanan ke langit bersama Malaikat Jibril. Di setiap lapisan langit, mereka bertemu penjaga langit dan nabi-nabi terdahulu, hingga akhirnya sampai di Sidratul Muntaha di langit ketujuh.

Di Sidratul Muntaha, Rasulullah disebut-sebut bertemu Allah dan menerima perintah shalat lima puluh waktu. Namun, atas saran Nabi Musa yang berada di langit keenam, Rasulullah "tawar-menawar" jumlah shalat hingga akhirnya hanya diwajibkan lima waktu saja.

Padahal berdasarkan hadis-hadis yang mengisahkan perjalanan Isra' Mi'raj, diketahui bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat di beberapa tempat pemberhentian selama perjalanan tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa beliau sudah menjalankan shalat sebelumnya. Jadi, benarkah tujuan perjalanan ke langit ketujuh itu untuk menerima perintah shalat, ataukah sebenarnya memiliki tujuan lain?

Mengapa Kisah Ini Mengganggu Nalar?

Ketika mendengar kisah ini, ada banyak pertanyaan yang menggelitik nalar. Pertama, benarkah perjalanan luar biasa ini dilakukan dengan menunggangi makhluk berwujud kuda bersayap berkepala manusia? Bukankah ini lebih terdengar seperti dongeng dibandingkan peristiwa nyata yang penuh hikmah?

Agus Mustofa, dalam bukunya Terpesona di Sidratul Muntaha, memandang bahwa gambaran ini karikatural. Mengapa kita menggambarkan perjalanan Rasulullah dengan cara yang seolah-olah merendahkan kecanggihan peristiwa itu? Bukankah istilah "Buraq" sendiri berarti "kilat", yang lebih masuk akal jika ditafsirkan sebagai perjalanan dengan kecepatan cahaya?

Perspektif Sains Modern

Fakta dari ilmu Fisika modern menunjukkan bahwa materi dapat diubah menjadi energi, sebagaimana dirumuskan Einstein melalui E=MC. Bahkan, reaksi annihilasi yang melibatkan partikel dan antipartikel dapat menghasilkan berkas cahaya, sementara reaksi pair-production dapat mengubah cahaya menjadi partikel kembali.

"Jika dipahami melalui sudut pandang ini, perjalanan Isra' dapat dijelaskan sebagai proses transformasi tubuh Rasulullah menjadi energi cahaya, memungkinkan beliau untuk melakukan perjalanan dalam waktu yang sangat singkat. Dengan demikian, istilah Buraq lebih tepat dipahami sebagai kilat atau energi cahaya, bukan sebagai kuda bersayap," tulis Agus Mustofa.

Masjidil Aqsha dan Maknanya

Hal lain yang sering disalahpahami adalah tentang Masjidil Aqsha. Banyak yang menganggap masjid ini adalah bangunan yang ada di Palestina saat ini. Padahal, pada masa Rasulullah, masjid tersebut belum dibangun.

Masjid Al Aqsa di Palestina (Shutterstock)
Masjid Al Aqsa di Palestina (Shutterstock)

Masjidil Aqsha, yang berarti "masjid yang jauh", lebih merujuk pada tempat sujud di wilayah yang menjadi pusat dakwah para nabi sebelumnya, yakni Palestina. Pemahaman ini memberikan makna simbolis perjalanan Isra' sebagai napak tilas perjuangan dakwah Nabi Ibrahim hingga keturunannya.

Mi'raj: Bukan untuk Menerima Perintah Shalat

Anggapan bahwa Mi'raj dilakukan untuk menerima perintah shalat juga menimbulkan pertanyaan besar. Rasulullah SAW diketahui sudah melaksanakan shalat sebelum peristiwa ini terjadi, dan perintah shalat lima waktu tersebar di berbagai ayat Al-Qur'an yang diturunkan secara terpisah.

Selain itu, narasi tentang "tawar-menawar" jumlah shalat juga terasa bertentangan dengan sifat Rasulullah yang taat dan penuh keikhlasan. Apakah mungkin Rasulullah yang dikenal memiliki akhlak mulia akan "tawar-menawar" perintah Allah seperti itu?

Agus Mustofa berpendapat bahwa Mi'raj bukanlah momen untuk menerima perintah shalat, melainkan untuk menunjukkan kepada Rasulullah kebesaran ciptaan Allah. Dalam Al-Qur'an surah An-Najm, disebutkan bahwa Rasulullah melihat tanda-tanda kebesaran Allah di Sidratul Muntaha, bukan untuk bertemu Allah secara fisik.

QS. An Najm (53): 14-18

Di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal (lambang keindahan tiada tara), ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu (misteri) yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling (terpaku & terpesona) dari apa yang dilihatnya dan tidak (bisa) melampauinya (tidka bisa melihat apa yang ada di baliknya). Sesungguhnya dia telah melihat sebagian ayat-ayat (kekuasaan) Tuhannya yang paling hebat.

Napak Tilas Perjuangan Nabi Ibrahim

Isra' Mi'raj memiliki makna simbolis yang mendalam. Perjalanan dari Mekah ke Palestina adalah napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim dan keturunannya. Palestina merupakan pusat dakwah Nabi Ibrahim dan para nabi keturunannya, sedangkan Mekah adalah pusat dakwah Nabi Ismail dan Rasulullah Muhammad SAW.

Dengan perjalanan ini, Rasulullah seolah-olah diingatkan akan perjuangan para nabi sebelumnya, sekaligus menguatkan beliau yang saat itu sedang berada di titik terendah dalam perjuangan dakwahnya.

Setelah peristiwa Isra' Mi'raj, Rasulullah menjadi lebih termotivasi untuk melanjutkan dakwahnya. Beliau hijrah ke Madinah, dan akhirnya berhasil menaklukkan Mekah. Perjalanan ini memberikan pelajaran bahwa di balik kesulitan, selalu ada kemudahan, dan perjuangan yang penuh keyakinan akan membuahkan hasil.

Refleksi dan Hikmah

Perintah shalat telah disampaikan melalui wahyu-wahyu sebelumnya. Berikut penjelasannya:

  1. Sejak zaman Nabi Ibrahim hingga Nabi Isa, shalat dan sujud sudah menjadi bagian dari perintah ibadah mereka. Ketika Nabi Muhammad SAW melaksanakan Isra' Mi'raj, beliau juga telah menjalankan shalat, sebagaimana tergambar dalam berbagai hadis yang menyebutkan beliau shalat bersama arwah para nabi.
  2. Tata cara shalat dan wudhu telah diajarkan kepada Rasulullah SAW oleh Malaikat Jibril pada awal masa kenabian, beriringan dengan turunnya Surah Al-Fatihah, yang kemudian dijadikan bacaan dalam shalat.
  3. Selama perjalanan Isra' Mi'raj, Rasulullah SAW juga melaksanakan shalat bersama arwah para nabi.
  4. Perintah shalat lima waktu disebutkan dalam Al-Qur'an melalui wahyu, salah satunya di Surah Al-Isra' ayat 78:
    "Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir hingga gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."

Perintah shalat sebenarnya diturunkan melalui wahyu biasa dalam Al-Qur'an, sedangkan Isra' Mi'raj memiliki tujuan berbeda, yaitu memotivasi Rasulullah SAW dalam kondisi sulit dengan menunjukkan kebesaran Allah dan penciptaan jagad raya. Peristiwa ini membangkitkan kembali semangat perjuangan Rasulullah.

Isra' Mi'raj bukan hanya sebuah kisah luar biasa, tetapi peristiwa penuh hikmah yang harus dipahami secara mendalam. Kisah ini mengajarkan tentang kebesaran Allah, kekuatan iman, dan pentingnya perjuangan. Dengan memahami substansi Isra' Mi'raj, kita dapat mengambil pelajaran yang relevan bagi kehidupan.

Perjalanan ini memiliki makna khas bagi Rasulullah, yaitu untuk menyaksikan keagungan Allah. Namun, pengalaman spiritual serupa dapat dirasakan oleh umatnya melalui shalat.

Shalat memungkinkan kita untuk merasakan suasana keterpesonaan saat menghadap Allah, bukan melalui perjalanan fisik melainkan perjalanan batin dalam jiwa kita sendiri.

Mari kita tinggalkan narasi-narasi yang tidak masuk akal dan menggantikannya dengan pemahaman yang lebih logis dan mendalam.

Isra' Mi'raj bukan tentang dongeng kuda bersayap atau "tawar-menawar" perintah shalat, melainkan tentang perjalanan spiritual yang menunjukkan kebesaran Allah dan menguatkan Rasulullah dalam menjalankan dakwahnya.

Dengan pemahaman yang lebih baik, kita dapat menghormati peristiwa ini sebagaimana mestinya dan menjadikannya inspirasi dalam hidup kita.

Kalau Nabi Muhammad saw dapat bermi'raj kepada Allah di sidratul muntaha, maka kita ummatnya pun bisa bermi'raj tiap saat melalui shalat. Shalat itu membuat kita terbang tinggi menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ash-shalatu Mi'rajul Mukminin

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun