Suasana haru menyelimuti ruang Komisi IV DPRD Sulawesi Tengah, ketika para atlet disabilitas yang telah mengharumkan nama daerah pada Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2024 di Solo berbagi kisah perjuangan mereka.
Namun, alih-alih kebanggaan dan penghargaan setimpal, yang mereka rasakan hanyalah kekecewaan mendalam. Bonus yang dijanjikan pemerintah provinsi kepada mereka tak kunjung tiba, meninggalkan luka batin dan pertanyaan besar tentang keadilan.
Mulham, pelatih para tenis meja yang berhasil membawa atletnya meraih double winner di Peparnas 2021 Papua dan 2024 Solo, berbicara dengan nada getir di hadapan Ketua Komisi IV DPRD, Moh Hidayat Pakamundi.
"Kalau memang tidak ada anggaran, kenapa kami diberangkatkan?" tanyanya dengan nada bercampur antara frustrasi dan kesedihan. Bahkan, dalam keterbatasan anggaran dan tanpa adanya pemusatan latihan resmi, Mulham terpaksa mengambil inisiatif untuk melatih para atlet secara mandiri.
Ironi ini begitu menyakitkan. Di satu sisi, para atlet disabilitas ini telah mencurahkan seluruh jiwa raga untuk mengharumkan nama Sulawesi Tengah di kancah nasional. Namun di sisi lain, penghargaan yang dijanjikan---sebuah bentuk apresiasi nyata---tak kunjung terealisasi.
Lebih dari itu, perbedaan mencolok dalam nilai bonus antara atlet Peparnas dan atlet PON seakan menegaskan bahwa perjuangan mereka dianggap sebelah mata.
Seperti halnya atlet lainnya, para atlet disabilitas ini menghadapi berbagai rintangan dalam mencapai prestasi. Namun, rintangan mereka jauh lebih kompleks. Mereka harus melawan keterbatasan fisik, stigma masyarakat, hingga kurangnya dukungan infrastruktur.
Zuhria, atlet para tenis meja yang berhasil menyumbangkan medali emas untuk Sulteng di dua ajang Peparnas berturut-turut, menggambarkan betapa beratnya perjuangan yang ia hadapi.
"Selama ini saya berpikir, paling tidak bonus kami mendekati atlet PON. Tapi ketika dibilang hanya Rp70 juta, hati saya seperti diremukkan. Ya Allah," ungkapnya dengan suara bergetar.
Pengorbanan Zuhria bahkan menyentuh ranah personal yang mendalam. Ia terpaksa mengganti ASI anak bungsunya dengan susu formula demi fokus berlatih dan bertanding. Namun, apa yang ia dapatkan? Bonus yang jauh dari harapan dan pengakuan yang tak kunjung ia rasakan.
Perbandingan nilai bonus antara atlet PON dan Peparnas sungguh mencolok. Atlet PON yang meraih emas menerima Rp500 juta, sedangkan atlet Peparnas hanya dijanjikan Rp70 juta. Tidak hanya itu, pelatih atlet PON mendapatkan Rp65 juta, sedangkan pelatih Peparnas hanya menerima Rp30 juta.
Ketua Komisi IV DPRD, Moh Hidayat Pakamundi, menegaskan bahwa kesetaraan bagi atlet disabilitas sudah seharusnya dijamin oleh undang-undang. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
"Kalau koordinasinya bagus, hal seperti ini tidak akan terjadi," ucapnya, merujuk pada ketidakpaduan antara Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) dengan National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Sulteng.
Masalah ini tak hanya berhenti pada nominal bonus. Ketidakjelasan anggaran dan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan atlet disabilitas mencerminkan ketidakadilan yang lebih besar. Persiapan atlet untuk Peparnas 2024 berjalan serampangan. Tanpa pemusatan latihan resmi, banyak atlet terpaksa mengeluarkan biaya sendiri untuk peralatan dan kebutuhan lainnya.
Beberapa atlet bahkan batal diberangkatkan karena keterbatasan anggaran. Dalam kondisi seperti ini, semangat mereka tetap tak tergoyahkan. Mulham, meski sempat ragu, tetap memberangkatkan atletnya ke Peparnas atas desakan mereka sendiri.
"Saya ditelpon jam 1 malam untuk berangkat. Saya tidak mau, tapi atlet saya memaksa karena sudah berkorban segalanya untuk Peparnas ini," kisahnya.
Di balik semua kekecewaan ini, ada satu hal yang perlu kita renungkan. Bonus memang penting, tetapi yang lebih penting adalah pengakuan dan penghargaan terhadap perjuangan para atlet disabilitas ini. Mereka adalah pahlawan yang membawa nama Sulawesi Tengah ke kancah nasional, meski harus menghadapi segala keterbatasan dan ketidakadilan.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa penghargaan yang mereka terima jauh dari layak. Penyerahan bonus secara simbolis yang dilakukan pada 23 Desember 2024 di Kantor Gubernur Sulteng tampaknya tak lebih dari formalitas belaka.
Hingga kini, bonus yang dijanjikan masih belum cair. Bahkan, terungkap bahwa anggaran untuk bonus tersebut tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun ini.
Kisah para atlet disabilitas Sulawesi Tengah ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua. Mereka telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih prestasi. Namun, perjuangan mereka membutuhkan dukungan nyata dari pemerintah dan masyarakat.
Ketidakadilan yang mereka rasakan bukan hanya masalah mereka, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai bangsa. Kita perlu memastikan bahwa tidak ada lagi pahlawan yang merasa terlupakan, bahwa setiap tetes keringat mereka dihargai dengan setimpal.
Sebagai masyarakat, kita juga harus mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan kebutuhan atlet disabilitas. Tidak hanya dalam bentuk bonus, tetapi juga dukungan yang berkelanjutan, seperti fasilitas latihan yang memadai, pelatihan berkualitas, dan pengakuan yang setara dengan atlet lainnya.
Dalam setiap medali yang mereka raih, tersimpan kisah perjuangan yang penuh air mata dan pengorbanan. Para atlet disabilitas Sulawesi Tengah telah memberikan yang terbaik untuk daerah ini. Kini saatnya kita memberikan yang terbaik untuk mereka.
Semoga kisah ini menjadi awal perubahan. Agar tidak ada lagi atlet yang merasa diabaikan, tidak ada lagi perjuangan yang dianggap sebelah mata, dan tidak ada lagi air mata yang jatuh sia-sia.
Mari kita bersama-sama memperjuangkan keadilan bagi mereka, karena mereka pantas untuk dihargai, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H