Perbandingan nilai bonus antara atlet PON dan Peparnas sungguh mencolok. Atlet PON yang meraih emas menerima Rp500 juta, sedangkan atlet Peparnas hanya dijanjikan Rp70 juta. Tidak hanya itu, pelatih atlet PON mendapatkan Rp65 juta, sedangkan pelatih Peparnas hanya menerima Rp30 juta.
Ketua Komisi IV DPRD, Moh Hidayat Pakamundi, menegaskan bahwa kesetaraan bagi atlet disabilitas sudah seharusnya dijamin oleh undang-undang. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
"Kalau koordinasinya bagus, hal seperti ini tidak akan terjadi," ucapnya, merujuk pada ketidakpaduan antara Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) dengan National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Sulteng.
Masalah ini tak hanya berhenti pada nominal bonus. Ketidakjelasan anggaran dan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan atlet disabilitas mencerminkan ketidakadilan yang lebih besar. Persiapan atlet untuk Peparnas 2024 berjalan serampangan. Tanpa pemusatan latihan resmi, banyak atlet terpaksa mengeluarkan biaya sendiri untuk peralatan dan kebutuhan lainnya.
Beberapa atlet bahkan batal diberangkatkan karena keterbatasan anggaran. Dalam kondisi seperti ini, semangat mereka tetap tak tergoyahkan. Mulham, meski sempat ragu, tetap memberangkatkan atletnya ke Peparnas atas desakan mereka sendiri.
"Saya ditelpon jam 1 malam untuk berangkat. Saya tidak mau, tapi atlet saya memaksa karena sudah berkorban segalanya untuk Peparnas ini," kisahnya.
Di balik semua kekecewaan ini, ada satu hal yang perlu kita renungkan. Bonus memang penting, tetapi yang lebih penting adalah pengakuan dan penghargaan terhadap perjuangan para atlet disabilitas ini. Mereka adalah pahlawan yang membawa nama Sulawesi Tengah ke kancah nasional, meski harus menghadapi segala keterbatasan dan ketidakadilan.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa penghargaan yang mereka terima jauh dari layak. Penyerahan bonus secara simbolis yang dilakukan pada 23 Desember 2024 di Kantor Gubernur Sulteng tampaknya tak lebih dari formalitas belaka.
Hingga kini, bonus yang dijanjikan masih belum cair. Bahkan, terungkap bahwa anggaran untuk bonus tersebut tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun ini.
Kisah para atlet disabilitas Sulawesi Tengah ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua. Mereka telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih prestasi. Namun, perjuangan mereka membutuhkan dukungan nyata dari pemerintah dan masyarakat.
Ketidakadilan yang mereka rasakan bukan hanya masalah mereka, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai bangsa. Kita perlu memastikan bahwa tidak ada lagi pahlawan yang merasa terlupakan, bahwa setiap tetes keringat mereka dihargai dengan setimpal.