Sementara itu, Presiden Kolombia saat ini, Gustavo Petro, memilih jalur yang berbeda. Ia justru menyerukan perdamaian di perbatasan. Dalam unggahan di media sosialnya, Petro mengingatkan bahwa perbatasan bukanlah tempat untuk menyalakan api permusuhan.
"Perbatasan adalah jembatan yang menghubungkan keluarga, budaya, dan ekonomi, bukan tempat untuk memulai perang," tulisnya.
Petro bahkan mengutip kisah Alkitab tentang Kain dan Habel, menyindir seruan Uribe yang dianggapnya berpotensi menciptakan konflik baru di antara bangsa-bangsa. Namun, seperti halnya tokoh politik mana pun, pernyataan Petro tidak lepas dari kritik.
Jurnalis Vicky Dvila, yang belakangan menjadi sorotan karena kemungkinan mencalonkan diri pada pemilu 2026, menanggapi sikap Petro dengan tajam.
Menurut Dvila, pendekatan lunak Petro terhadap Maduro tidak bisa diterima. "Maduro telah menindas rakyatnya. Ini bukan soal perdamaian; ini soal memberikan keadilan kepada jutaan warga yang menderita di bawah rezimnya," tulisnya dalam unggahan di media sosial.
Ketegangan semakin meningkat setelah Amerika Serikat kembali memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Venezuela. Sanksi ini merupakan respons atas kegagalan Maduro memenuhi komitmen untuk memastikan demokrasi yang transparan, terutama dalam pemilu terakhir. Namun, langkah AS tersebut menuai kritik dari Petro. Ia menilai bahwa sanksi hanya akan menambah penderitaan rakyat Venezuela yang sudah cukup berat.
"Blokade ekonomi tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, dialog politik adalah jalan terbaik untuk menciptakan perubahan," ujar Petro.
Pernyataan ini seolah menggarisbawahi bahwa solusi berbasis kemanusiaan harus menjadi prioritas, bukan sanksi atau intervensi militer yang berisiko memperburuk situasi.
Di sisi lain, Maduro tetap bersikukuh mempertahankan sikapnya yang keras terhadap tekanan internasional. "Kami adalah bangsa yang merdeka. Tidak ada yang bisa memaksakan kehendaknya pada kami," tegasnya.
Retorika seperti ini menunjukkan bahwa Maduro tidak akan mundur dari sikapnya, meskipun tekanan terus datang dari berbagai arah.
Krisis ini menggambarkan betapa kompleksnya dinamika hubungan internasional di kawasan Amerika Latin. Di satu sisi, ada seruan untuk intervensi yang dianggap sebagai upaya terakhir untuk mengakhiri penderitaan rakyat Venezuela. Di sisi lain, ada argumen bahwa pendekatan militer justru akan memperpanjang siklus kekerasan dan penderitaan.