Di pagi yang penuh semangat, sebuah sekolah di Noelbaki NTT menjadi saksi cerita yang teranyam dari harapan dan keluhan. Program Makanan Bergizi Gratis (MBG), yang diinisiasi dengan niat mulia, hari itu menghadirkan rasa masam di hati para orang tua.
Sebagian siswa di SDK Santo Yoseph Noelbaki mengeluhkan makanan yang disajikan, yang menurut mereka memiliki aroma tak sedap. Ada yang bahkan menyebutnya sudah tak layak konsumsi. Kisah ini mencuat seperti aroma tak diundang, mengundang perhatian banyak pihak.
Vincent Missa, seorang ayah dari dua anak yang bersekolah di SDK tersebut, mengisahkan keluhan anak-anaknya dengan nada prihatin. Mereka menyebut lauk yang mereka santap memiliki aroma yang ganjil, mengurangi nafsu makan mereka.
Vincent menyebutkan bahwa bahkan ada siswa lain yang mengalami mual dan menangis setelah mencoba makanan tersebut. "Kasihan mereka," ucapnya, seraya berharap agar insiden ini menjadi pembelajaran.
Namun, seperti segala hal di dunia ini, kisah ini memiliki dua sisi. Seorang guru di SDK St. Yoseph Noelbaki membantah bahwa makanan yang dibagikan benar-benar basi. "Mungkin hanya aromanya saja yang kurang sedap," katanya.
Ia menambahkan bahwa panas yang terperangkap saat makanan dikemas bisa menjadi penyebab aroma tersebut. Bahkan, Kepala Sekolah Marianus Redemtus menyatakan tidak ada laporan resmi dari guru, orang tua, atau siswa mengenai makanan yang rusak.
Cerita tentang makanan yang "beraroma ganjil" ini menjadi lebih dari sekadar isu teknis. Ia menjadi refleksi tentang betapa rentannya rantai niat baik yang panjang: dari penyedia bahan baku, proses pengolahan, hingga distribusi makanan. Setiap langkah adalah peluang untuk berhasil --- atau, sayangnya, untuk terjatuh.
Dr. Tan, seorang pakar gizi, memberikan perspektif yang menenangkan tetapi juga menantang. Ia menyebut pentingnya penerapan metode Hazard Analysis Critical and Control Point (HACCP) dalam memastikan kualitas makanan.
Dimulai dari pemilihan bahan baku yang segar hingga pengemasan dan distribusi, setiap tahap memiliki perannya sendiri. Ia menekankan bahwa makanan yang dibiarkan di suhu ruang lebih dari dua jam rentan terhadap kontaminasi. Kata-katanya menggarisbawahi bahwa niat baik saja tidak cukup; perlu ada kedisiplinan dan kehati-hatian di setiap langkah.
Namun, apa artinya semua ini bagi seorang anak kecil yang hanya ingin menikmati makan siangnya di sekolah? Apa artinya bagi seorang ayah yang bekerja keras sepanjang hari, berharap bahwa makanan yang dibawa pulang oleh program ini akan menjadi berkah, bukan beban?