Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Megathrust Selat Sunda, Ancaman Diam yang Mengintai

4 Januari 2025   20:55 Diperbarui: 4 Januari 2025   20:55 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi terjangan tsunami akibat megathrust di selatan Sunda (generated AI)

Gempa bumi bukan sekadar getaran tanah. Dalam hitungan detik, ia mampu menghancurkan kota, meluluhlantakkan kehidupan, dan menyisakan trauma mendalam.

Ancaman megathrust di Selat Sunda, menurut peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Nuraini Rahma Hanifa, adalah salah satu ancaman alam yang tengah mengintai Indonesia, khususnya wilayah selatan Jawa.

Dalam keterangan yang dipublikasikan BRIN pada Sabtu (4/1/2025), Rahma membeberkan temuan yang memprihatinkan. Zona subduksi di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik signifikan yang dapat melepaskan gempa berkekuatan magnitudo 8,7 hingga 9,1.

Simulasi menunjukkan, jika bencana ini terjadi, tsunami setinggi 20 meter dapat menghantam pesisir selatan Jawa, menjalar ke Selat Sunda dengan gelombang setinggi 15 meter, bahkan mencapai pesisir utara Jakarta dengan ketinggian 1,8 meter. Waktu tiba? Sekitar 2,5 jam.

"Kita berbicara tentang potensi kehancuran yang masif," ujar Rahma dengan nada serius. "Energi yang terkunci di zona subduksi terus bertambah, dan jika dilepaskan sekaligus, dampaknya akan sangat luas."

Sejarah memberi kita pelajaran. Tsunami Pangandaran pada 2006, yang dipicu oleh longsoran bawah laut, adalah salah satu contohnya. Namun, skenario megathrust di Selat Sunda diperkirakan akan jauh lebih dahsyat.

Rahma menegaskan pentingnya mitigasi bencana, bukan hanya melalui pendekatan struktural, tetapi juga non-struktural. Di garis depan mitigasi struktural, pembangunan tanggul tsunami, pemecah ombak, dan penataan ruang pesisir menjadi langkah utama.

Tak kalah penting adalah solusi berbasis ekosistem, seperti hutan pesisir dengan tanaman pandan laut dan mangrove, yang terbukti efektif dalam meredam energi gelombang tsunami.

Namun, mitigasi tidak hanya soal infrastruktur. "Edukasi masyarakat adalah kunci," tegas Rahma. Ia menekankan pentingnya simulasi evakuasi, penyediaan jalur aman, dan sistem peringatan dini yang efektif.

Rahma percaya, masyarakat yang memahami ancaman dapat merespons lebih cepat dan mengurangi risiko kehilangan nyawa.

Di kota besar seperti Jakarta, ancaman amplifikasi goncangan akibat sedimen tanah yang lunak menambah daftar kekhawatiran. Di kawasan padat penduduk, penguatan struktur bangunan atau retrofitting menjadi hal mendesak.

"Retrofitting bukan hanya investasi infrastruktur, tetapi juga investasi pada keselamatan manusia," tambahnya.

Tidak hanya penduduk sipil, kawasan industri seperti Cilegon juga menjadi perhatian. Potensi gempa dapat memicu secondary hazards, seperti kebakaran akibat kebocoran bahan kimia di pabrik-pabrik besar.

"Standar keamanan di kawasan industri harus ditingkatkan untuk mencegah bencana lanjutan," kata Rahma.

Melalui riset paleotsunami, Rahma dan tim menemukan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang 400--600 tahun. Jika peristiwa terakhir diperkirakan terjadi pada 1699, maka saat ini energi tektonik telah mencapai titik kritis.

"Kita tidak berbicara tentang kemungkinan, tetapi tentang waktu. Kesiapan adalah satu-satunya jawaban," tegasnya.

Momentum peringatan 20 tahun tsunami Aceh memberikan pengingat pahit tentang betapa besar kerugian yang dapat ditimbulkan jika mitigasi bencana diabaikan. BRIN, bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), BMKG, dan berbagai institusi lainnya, terus memperkuat sistem peringatan dini tsunami. Fokus utamanya adalah memberikan waktu lebih bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri sebelum gelombang menghantam.

Rahma optimistis, dengan riset yang mendalam dan teknologi yang berkembang, Indonesia dapat meminimalkan dampak megathrust Selat Sunda. Namun, ia menggarisbawahi bahwa ini adalah tanggung jawab bersama.

"Adaptasi, edukasi, dan kolaborasi adalah kunci. Kita tidak bisa memprediksi kapan gempa akan terjadi, tetapi kita bisa mempersiapkan diri."

Ancaman megathrust Selat Sunda adalah kenyataan yang harus kita hadapi dengan serius. Ini bukan tentang menciptakan ketakutan, tetapi tentang membangun kesadaran.

Kita tidak bisa menghentikan gempa, tetapi kita bisa menyelamatkan nyawa. Waktu terus berdetak, dan persiapan kita adalah penentu masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun