Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Sudan: Dua Dekade Perang Melahirkan Perang

28 Desember 2024   21:48 Diperbarui: 28 Desember 2024   21:48 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Sudan, suara tembakan, dentuman bom, dan peluru nyasar sudah menjadi irama kehidupan sehari-hari. Namun, sesuatu telah berubah. Kekerasan yang dulu terpusat di pinggiran kini merangsek ke jantung negeri, ke Khartoum, ibu kota yang dulunya menjadi simbol kekuasaan.

Pindahnya pemerintahan sementara ke Port Sudan, kota pesisir Laut Merah yang berjarak hampir 1.000 kilometer, menjadi pengingat nyata betapa genting situasi saat ini.

Konflik di Sudan bukanlah cerita baru. Tetapi di balik perang yang seolah tanpa akhir, ada pola yang terus berulang: ketimpangan. Kekuasaan dan sumber daya selalu terkonsentrasi di "pusat," sementara wilayah "pinggiran"---yang kaya akan keberagaman etnis dan budaya---dibiarkan terlantar. Perjuangan mereka adalah tentang hak, kesetaraan, dan pengakuan.

Dari Ketidakadilan Menuju Perpecahan

Pada masa Presiden Omar al-Bashir, narasi konflik diubah menjadi perang agama---utara Muslim melawan selatan yang Kristen atau sekuler. Ketegangan ini memuncak pada 2011 ketika Sudan Selatan memilih memisahkan diri. Tetapi, perpisahan itu tidak menjadi akhir cerita.

Kehilangan sepertiga wilayah, seperempat populasi, dan sebagian besar sumber dayanya, Sudan tetap terjebak dalam siklus konflik. Ketidakadilan yang melahirkan pemberontakan pertama pada 1955 dengan kelompok Anya-Nya 1, terus bergema.

Bahkan perang terbaru antara militer Sudan dan Pasukan Pendukung Cepat (RSF) adalah manifestasi baru dari akar masalah lama: marginalisasi dan eksklusi.

Konflik yang Membara di Darfur

Sementara Sudan Selatan membentuk negara baru, Darfur menjadi medan perang berikutnya. Pada 2003, pemberontakan pecah, dipicu tuduhan marginalisasi oleh pemerintah. Konflik ini berubah menjadi tragedi etnis ketika pemerintah mempersenjatai milisi Janjaweed.

Salah satu pemimpinnya, Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, kini menjadi tokoh kunci dalam konflik terbaru Sudan.

Perang di Darfur menewaskan 300.000 orang dan memaksa jutaan lainnya mengungsi. Luka yang ditinggalkan belum sempat sembuh, namun Sudan kembali dihantam perang baru yang meletus pada April 2023, kali ini di ibu kota.

Perang yang Tak Kunjung Usai

Apa yang terjadi di Khartoum bukan hanya pertempuran senjata; itu adalah cerminan krisis identitas Sudan. Sejak kemerdekaan, Sudan gagal menemukan visi nasional yang inklusif. Upaya damai datang dan pergi---dari Addis Ababa ke Naivasha, dari Doha ke Juba---tetapi tak satu pun mampu mengatasi akar permasalahan: ketidakadilan, marginalisasi, dan absennya pemerataan pembangunan.

Saat ini, lebih dari 11 juta orang mengungsi di dalam negeri, sementara 3 juta lainnya terpaksa mencari perlindungan di negara-negara tetangga. Sebanyak 25 juta orang, lebih dari separuh populasi Sudan, menghadapi kerawanan pangan akut.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut ini sebagai salah satu krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern.

Harapan di Tengah Kekacauan

Apa jalan keluar bagi Sudan? Menurut Al-Hadi Idris, mantan anggota Dewan Kedaulatan, solusi harus dimulai dengan kesepakatan nasional yang menjunjung keadilan, pembangunan merata, dan identitas bersama.

Namun, itu saja tidak cukup. Reformasi militer yang serius diperlukan untuk menciptakan angkatan bersenjata profesional yang tidak lagi menjadi alat politik atau kekuasaan.

Sementara itu, Mohamed Abdel-Hakim, seorang tokoh oposisi, menegaskan bahwa Sudan membutuhkan sistem demokrasi yang melindungi hak-hak rakyat dan memberantas ketidakadilan struktural.

"Jika kita tidak memperbaiki cara kita memerintah, perang akan terus lahir dari rahim ketidakadilan," ujarnya dikutip dari aawsat.

Di tengah kelamnya situasi, harapan mungkin terasa seperti kemewahan. Tetapi jika Sudan mampu belajar dari sejarah panjang luka dan ketidakadilannya, barangkali kedamaian sejati bukan lagi sekadar mimpi yang jauh dari jangkauan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun