Riuh gemuruh penonton pecah saat tiga pasang sapi karapan melesat dari garis start. Sorak-sorai memenuhi udara, berpadu dengan debu yang beterbangan di arena. Di tengah derap kaki sapi yang berpacu kencang, perhatian tertuju pada joki yang berusaha keras memacu sapi-sapinya menuju garis finish.Â
Suasana semakin mendebarkan ketika mendekati akhir lomba, sang joki yang duduk di atas gerobak mini beroda dua, tiba-tiba menggigit ekor sapi untuk menambah kecepatannya.
Karapan sapi di Sigi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, memiliki tradisi unik yang sedikit berbeda dengan karapan sapi Madura. Jika di Madura joki berdiri di kereta kayu sederhana, di Sigi diperlukan dua orang joki: satu bertugas mencambuk punggung sapi, sementara satu lagi mengemudi dan, tentu saja, menggigit ekor sapi.
Hery Aprianto, seorang peternak sekaligus pemilik sapi karapan legendaris bernama Kamandanu, menjelaskan alasan tradisi menggigit ekor ini.Â
"Saat mendekati garis finish atau ketika kecepatan sapi mulai menurun, joki menggigit ekor untuk memberikan rasa kejut pada sapi. Rasa itu biasanya membuat sapi kembali berlari lebih kencang," ujar pria bertubuh gempal asal Desa Binangga ini sambil tersenyum.
Namun, menggigit ekor sapi tentu bukan tanpa risiko. Meski sapi-sapi umumnya dimandikan sebelum bertanding, tetap saja tidak ada jaminan kebersihan ekor mereka. Tetapi bagi para joki dan pemilik sapi karapan, hal itu adalah bagian dari perjuangan dan tradisi yang harus dijalani.
"Ya, walaupun sapi-sapi ini dimandikan sebelum lomba, tetap saja ekor mereka belum tentu bersih," candanya.
Prestasi Kamandanu yang Membanggakan
Hery berbicara penuh bangga tentang Kamandanu, sapi kesayangannya yang telah mencatatkan rekor luar biasa.
Dengan total 22 kali berlaga, Kamandanu berhasil memenangkan 21 di antaranya, termasuk tiga kali menjadi juara umum.Â
"Kalau ada yang menawar hingga Rp100 juta pun, saya tidak akan melepas Kamandanu. Dia sudah seperti keluarga," ungkapnya.
Menurut Hery, tidak semua kemenangan ditentukan oleh tradisi menggigit ekor.Â
"Kira-kira 25 persen kemenangan karena gigitan ekor, sisanya 75 persen dari cambukan. Tapi yang juara, sudah pasti menggigit ekor," jelasnya.
Kini, Kamandanu adalah satu-satunya sapi karapan milik Hery yang masih aktif bertanding. "Dulu saya punya tiga pasang sapi, tapi sekarang tinggal Kamandanu. Yang lain sudah berkembang biak," tambahnya.
Karapan sapi di Sigi adalah lebih dari sekadar perlombaan. Tradisi ini menggambarkan kebersamaan, kegigihan, dan kecintaan masyarakat terhadap budaya lokal.Â
Suara riuh penonton, debu yang beterbangan, hingga momen ikonis menggigit ekor sapi menjadi bukti bahwa tradisi ini tetap hidup dan menjadi kebanggaan warga Sigi.
"Selama kita terus menjaga tradisi ini, karapan sapi akan tetap ada. Ini bukan hanya soal menang atau kalah, tapi soal bagaimana kita menjaga budaya kita tetap hidup," tutup Hery dengan penuh semangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H