Menurut Hery, tidak semua kemenangan ditentukan oleh tradisi menggigit ekor.Â
"Kira-kira 25 persen kemenangan karena gigitan ekor, sisanya 75 persen dari cambukan. Tapi yang juara, sudah pasti menggigit ekor," jelasnya.
Kini, Kamandanu adalah satu-satunya sapi karapan milik Hery yang masih aktif bertanding. "Dulu saya punya tiga pasang sapi, tapi sekarang tinggal Kamandanu. Yang lain sudah berkembang biak," tambahnya.
Karapan sapi di Sigi adalah lebih dari sekadar perlombaan. Tradisi ini menggambarkan kebersamaan, kegigihan, dan kecintaan masyarakat terhadap budaya lokal.Â
Suara riuh penonton, debu yang beterbangan, hingga momen ikonis menggigit ekor sapi menjadi bukti bahwa tradisi ini tetap hidup dan menjadi kebanggaan warga Sigi.
"Selama kita terus menjaga tradisi ini, karapan sapi akan tetap ada. Ini bukan hanya soal menang atau kalah, tapi soal bagaimana kita menjaga budaya kita tetap hidup," tutup Hery dengan penuh semangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H