Mohon tunggu...
Ikhsani Retnoningtyas
Ikhsani Retnoningtyas Mohon Tunggu... -

Paramadina University Student's of International Relations 2011. Love nature green, adventure, and music so much. Having a high tolerance in differences. Wanna be an international journalist. Quote : simple makes perfect, dream is something that you will never let go of.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Logika & Perasaan, Paradigma Pilihan!

22 Juni 2012   06:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:40 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apakah memang selayaknya perasaan itu kita yang mengendalikan? Bukan perasaan yang mengendalikan kita? Jika memang benar begitu adanya, bukankah justru berarti membiarkan diri kita sendiri dikuasai oleh ego dan logika-logika yang absurd dalam menghadapi kehidupan? Bukankan perasaan justru menjadi substansi yang mengandung esensi dari kebenaran? Ah, mungkin aku terlalu berkutat dengan landasan filosofis yang telah dituliskan dan diperdebatkan selama berabad-abad oleh sejarah. Yang justru membuatku muak sendiri adanya. Kenapa manusia berpikir sesuatu yang terkadang tidak perlu dipikirkannya? Kenapa sulit untuk menjalani hidup apa adanya yang seperti orang-orang katakan? Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang benar-benar menjalani hidup apa adanya. Slogan tersebut hanya berfungsi sebagai paradoks untuk hiburan semata. Untuk menghidupkan kembali semangat-semangat yang sempat tertidur atau bahkan mati suri. Akankah benar demikian adanya?



Aku mendapati diriku terkendali oleh adanya pemikiran filosofis yang mengatakan bahwa tidak adanya kebenaran yang hakiki di dunia ini, yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran. Lantas pantaskah Tuhan tidak kita sebut sebagai kebenaran yang hakiki? Jika eksistensi Tuhan dilepaskan dari sifat keduniawian aku rasa hal itu hanyalah satu bentuk skeptisme semata dari sifat alamiah manusia. Bagaimana bisa Tuhan dilepaskan dari sifat keduniawian sedangkan kita sendiri hidup dalam dimensi tersebut. Siapa yang bisa melepaskan atau setidaknya memilah dimensi nyata dengan yang abstrak? Jika memang kita bisa memilahnya kenapa kita berkoar-koar bahwa kita hidup di keduanya? Jika memang dimensi tersebut telah tercampur menjadi satu lantas kenapa kita harus dapat mendefinisikannya dalam ruang yang berbeda?

Logika, sebuah konteks yang mau tidak mau telah terlarut dalam campuran perasaan. Terkadang aku berpikir, betapa bodohnya orang yang berbicara atas nama logika dan menghina perasaan. Memangnya mereka pikir substansi apa yang membuat mereka memilih logika? Akal? Darimana kalian bisa menelusuri bentuk akal itu sendiri? Bukankah akal merupakan runtutan dari insting kalian? Darimana asalnya insting? Bukankah insting itu sendiri merupakan perwujudan abstrak yang tersistematis dari suara jiwa? Bagaimana jiwa bisa terkumpul? Bukankah berasal dari eksistensi perasaan juga? Apakah kalian pikir yang dinamakan perasaan itu hanyalah sikap dan sifat yang lembek semata? Yang bisa diluluhkan dan membuat otak kita berputar lagi untuk berpikir kedua kalinya? Aku rasa tidak, perasaan adalah satu-satunya substansi yang eksis yang manusia tidak akan pernah tau. Sebut saja ilmu-ilmu pengetahuan atau sains yang mencoba memperagakan stimulus-stimulus dalam setiap syaraf kita tentang perasaan. Sejauh apa mereka mengerti? Mungkin memang mereka bisa menjelaskan bagaimana proses itu berlangsung? Tetapi mereka tidak akan pernah tahu bagaimana dapat berlangsungnya proses tersebut!

Manusia diberi akal untuk mengimbangi perasaan, untuk dapat meraba-raba sejauh mana definisi benar dan salah dapat dikategorikan. Tetapi bukan berarti yang namanya akal dan logika menjadi dasar tersendiri atas kebenaran. Aku tidak menolak keberadaan kebenaran yang hakiki, juga tidak menolak keberadaan kebenaran-kebenaran, setiap hal yang dimiliki dan diutarakan manusia pasti memiliki maknanya masing-masing tanpa perlu ada pengujian secara sains atau fakta. Bukan berarti aku orang yang bersifat abstraksi pula, hanya saja menurutku dari sesuatu yang abstrak itulah kita baru bisa menemukan rangkaian sistematis yang membentuk bentuk-bentuk nyata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun