Covid 19 menghadapkan kita pada semua hal yang baru, salah satunya fenomena ekonomi baru. Respon manusia terhadap hal baru tentunya bisa reaktif ataupun sejenak diam dan memantau. Hal itu yang mungkin berlaku juga untuk para ilmuwan/pengambil kebijakan ekonomi.Â
Frasa Keynesian lahir pada saat krisis ekonomi Amerika 1936, karena berhasil menemukan racikan kebijakan yang berhasil membebaskan Amerika dari cedera krisis kala itu. Dan sekarang bukan tidak mungkin akan lahir sebuah teori baru dan ilmuwan terkenal baru.Â
Dalam kacamata geopolitik dunia, episentrum fenomena ekonomi tidak hanya ditemui di Amerika. Covid 19 membuat semua negara di dunia menghadapi perangnya masing-masing. Perang ekonomi dan kemanusiaan. Tentunya hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan pengampu kebijakan.Â
Di satu sisi kemanusiaan tidak bisa ditawar, namun jika ekonomi hancur negara juga bisa bubar karena lapar. Prinsip ekonomi bersabda bahwa manusia selalu menghadapi trade off. Memilih satu dan mengorbankan yang lain, namun bagaimana caranya supaya yang dikorbankan tidak terlalu banyak. Hal itulah yang menjadi khasanah observasi baru yang akan menjadikan keilmuan kita semakin kaya.
Bicara soal angka, IMF di awal tahun sudah mengeluarkan prediksinya tentang pertumbuhan ekonomi global, yaitu 3,3 % naik 4% dari 2019 yang berada di 2,9%. Alasan yang dicatut dalam prediksi IMF ialah tensi perang antara Amerika - Iran dan Amerika - China serta ancaman bencana.Â
Dan benar saja belum lama dari rilis forecast IMF, pada bulan Januari Covid 19 menyebar ke seluruh penjuru dunia. Forecast IMF sudah memasukkan risiko bencana, sehingga mestinya di akhir tahun besok kita tidak jauh dari angka tersebut. Akan tetapi, bagaimana jadinya jika magnitude dari bencana ini melanda seluruh dunia. Negara donor maupun resipien sama-sama kalut hingga setiap negara hanya bisa memilih "choose lesser evil", antara kemanusian dan ekonomi.Â
Menyoroti bagaimana pemerintah Indonesia menyikapi hal ini, satu kata yang terpintas, yaitu bingung. BI mengatakan akan landing di 2,3 % setelah merevisi dari sebelumnya 5,1-5,5% dan di Februari 5-5,4%. Sementara jika dari kacamata kementerian keuangan masih yakin di 5%-an karena support BLT yang cukup besar dinilai menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi.Â
Sebagai kacamata ilmuwan tentu hal seperti menjadi sebuah fenomena ekonomi. Keynesian menjadi terlihat superior kala itu karena racikan dan prediksinya benar. Tentu kita bisa lihat dari kebingungan kita, mana yang bisa benar-benar menyelamatkan ekonomi kita dari risiko jurang resesi.Â
Kacamata makro terlihat jauh dari apa yang terjadi di masyarakat. Angka hanyalah angka, tetapi apa sebenarnya pengaruhnya untuk kita sebagai pribadi ataupun rumah tangga. Buntut dari sebuah krisis ialah kenaikan harga dan pengangguran, jika menilik rule of thumb perekonomian kita.Â
Hal ini yang menggeret hati kita untuk lebih bersyukur di masa seperti ini. Manusia yang sebagai hakikatnya adalah homo socius (bersosialisasi dan bermasyarakat) dipaksa untuk #dirumahsaja. Hal ini membuat roda ekonomi agak seret. Akan tetapi juga membuat manusia dilecut untuk lebih cerdas.Â
Sebagai contoh kebijakan untuk Working From Home (WFH). Bagi beberapa perusahaan/kantor WFH ini bukan lah hal baru, tetapi beberapa yang lain menganggap ini sebuah hal yang memukul operasional. Terciptanya laptop adalah awal dari budaya agile working, yang membuat  manusia bisa fleksibel untuk bekerja di mana saja dan kapan saja. Tentunya perusahaan yang sudah membawa budaya agile working ini tak begitu khawatir dengan paksaan kondisi seperti ini.Â