Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia menyambut perayaan Imlek dengan gegap gempita. Lampion merah menghiasi jalan, pertunjukan barongsai ramai digelar, dan angpao dibagikan kepada anak-anak. Namun, di balik kemeriahan ini, masih banyak kesalahpahaman mengenai makna Imlek itu sendiri. Salah satu yang paling sering terjadi adalah anggapan bahwa Imlek merupakan hari besar keagamaan, padahal kenyataannya, Imlek lebih tepat disebut sebagai perayaan tahun baru dalam kalender Tionghoa.
Imlek sejatinya bukan hari raya keagamaan seperti Idul Fitri bagi umat Islam, Natal bagi umat Kristiani, atau Nyepi bagi umat Hindu. Imlek adalah perayaan pergantian tahun dalam penanggalan lunar yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa. Dalam hal ini, Imlek lebih mirip dengan tahun baru Masehi yang dirayakan pada 1 Januari atau tahun baru Hijriah yang menjadi awal kalender Islam. Meski memiliki unsur budaya dan tradisi yang kental, Imlek tidak berkaitan dengan ritual ibadah agama tertentu.
Kesalahpahaman ini berawal dari anggapan bahwa semua yang berkaitan dengan tradisi Tionghoa harus dikaitkan dengan ajaran agama tertentu, seperti Konghucu atau Buddha. Padahal, perayaan Imlek telah berlangsung jauh sebelum agama-agama tersebut berkembang di Tiongkok. Kalender yang digunakan dalam Imlek adalah kalender lunisolar yang sudah dipakai selama ribuan tahun, dan tradisi perayaannya lebih bersifat kultural ketimbang spiritual.
Dalam praktiknya, memang ada unsur keagamaan yang kadang dikaitkan dengan perayaan Imlek, seperti doa syukur kepada leluhur dan ritual sembahyang tertentu. Namun, hal ini lebih kepada tradisi keluarga dan adat istiadat yang diwariskan turun-temurun, bukan sebuah kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka ibadah kepada Tuhan. Bahkan, banyak orang Tionghoa yang beragama Kristen, Islam, atau kepercayaan lain tetap merayakan Imlek tanpa melakukan ritual keagamaan.
Jika ditelusuri lebih dalam, Imlek memiliki kesamaan dengan perayaan tahun baru dalam berbagai budaya lain di dunia. Tahun baru Hijriah, misalnya, merupakan momen pergantian tahun dalam kalender Islam yang digunakan oleh umat Muslim di seluruh dunia. Meskipun tidak dirayakan dengan pesta besar, tahun baru Hijriah tetap menjadi titik penting dalam sistem penanggalan Islam. Hal serupa juga berlaku untuk tahun baru Waisak bagi umat Buddha, yang menandai kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Buddha Gautama.
Tahun baru dalam berbagai budaya selalu membawa semangat baru bagi masyarakatnya. Perayaan Imlek pun demikian, di mana filosofi yang terkandung di dalamnya adalah harapan akan keberuntungan, kemakmuran, dan kebahagiaan di tahun yang baru. Warna merah yang mendominasi Imlek bukan sekadar hiasan, tetapi melambangkan keberuntungan dan perlindungan dari energi negatif. Begitu pula dengan tradisi memberikan angpao, yang memiliki makna berbagi rezeki dan doa baik bagi penerimanya.
Kesalahpahaman lainnya yang sering muncul adalah anggapan bahwa Imlek hanya dirayakan oleh penganut agama tertentu. Padahal, di banyak negara, Imlek telah menjadi bagian dari budaya nasional yang dirayakan oleh berbagai kalangan, terlepas dari latar belakang agamanya. Di Indonesia, Imlek telah diakui sebagai hari libur nasional sejak era reformasi, yang menegaskan bahwa perayaan ini adalah bagian dari kebhinekaan bangsa.
Banyak orang Indonesia dari berbagai etnis turut merayakan Imlek, meskipun mereka bukan keturunan Tionghoa. Hal ini menunjukkan bahwa Imlek bukan hanya milik satu kelompok, melainkan perayaan bersama yang dapat dinikmati oleh siapa saja. Sama seperti tahun baru Masehi yang dirayakan oleh hampir seluruh masyarakat dunia tanpa memandang agama, Imlek pun memiliki karakter inklusif yang dapat dinikmati semua orang.
Dalam beberapa dekade terakhir, pemahaman mengenai Imlek di Indonesia telah mengalami perkembangan yang lebih positif. Jika dulu perayaan ini sempat dilarang pada era Orde Baru, kini Imlek telah kembali menjadi bagian dari kebudayaan nasional yang diakui secara resmi. Meskipun demikian, masih ada sebagian masyarakat yang belum sepenuhnya memahami esensi dari perayaan ini, sehingga masih sering muncul perdebatan mengenai statusnya sebagai hari besar keagamaan.
Salah satu cara untuk mengatasi kesalahpahaman ini adalah dengan edukasi yang lebih luas mengenai sejarah dan filosofi di balik Imlek. Media, lembaga pendidikan, dan komunitas budaya dapat berperan dalam menyebarkan informasi yang lebih akurat mengenai Imlek agar masyarakat tidak lagi salah kaprah dalam memahaminya. Dengan demikian, perayaan ini dapat dihargai sebagai bagian dari kekayaan budaya tanpa harus disalahartikan sebagai ritual keagamaan tertentu.