Mohon tunggu...
Khairul Ikhsan
Khairul Ikhsan Mohon Tunggu... Guru - Selamat datang di media masa seputar perkembangan ilmu pengetahuan

Disini kita akan membahas terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi dan Pungli: Ironi Sosial yang Membelenggu Masa Depan Bangsa

26 Januari 2025   06:44 Diperbarui: 26 Januari 2025   06:44 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang sedang melakukan praktek korupsi dan pungli (Sumber: PeopleImages via istockphoto)

Realitas sosial kita hari ini menghadirkan ironi yang menyakitkan. Ketika kalangan atas sibuk memperkaya diri melalui korupsi, di tingkat akar rumput, pungutan liar menjadi cara bertahan hidup. Di tengah hiruk-pikuk ini, mereka yang memegang integritas hanya bisa menghela napas panjang, seolah tak berdaya melawan arus yang menghancurkan fondasi moral bangsa.

Korupsi di kalangan elit bukan sekadar isu ekonomi, tetapi juga cerminan dari bobroknya sistem yang memungkinkan hal ini terus terjadi. Ketika pejabat yang seharusnya menjadi teladan justru terlibat dalam praktik kotor, rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan. Apa yang tersisa ketika penguasa tak lagi menunjukkan kepedulian terhadap rakyat?

Sementara itu, di tingkat bawah, pungutan liar menjadi fenomena sehari-hari yang dianggap "wajar". Pungli muncul sebagai respons atas kesenjangan ekonomi yang begitu lebar, di mana banyak orang merasa tidak punya pilihan selain mencari celah untuk bertahan hidup. Meski salah, pungli sering kali menjadi opsi terakhir bagi mereka yang terpinggirkan.

Orang baik yang menolak ikut serta dalam arus ini sering kali merasa frustrasi. Mereka menyaksikan sistem yang rusak, tetapi tak mampu berbuat banyak untuk memperbaikinya. Dalam kondisi seperti ini, menjaga diri tetap bersih menjadi perjuangan tersendiri yang membutuhkan keberanian luar biasa.

Korupsi dan pungli tidak hanya merugikan ekonomi, tetapi juga merusak moralitas bangsa. Ketika kedua praktik ini dianggap "biasa", nilai-nilai kejujuran dan integritas menjadi semakin langka. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan bahwa uang bisa membeli segalanya, bahkan keadilan.

Tidak heran jika korupsi dan pungli dianggap sebagai lingkaran setan. Ketika kalangan atas korupsi, mereka menciptakan tekanan ekonomi yang memaksa kalangan bawah mencari cara bertahan hidup, termasuk dengan pungli. Siklus ini terus berulang tanpa ada tanda-tanda perubahan berarti.

Namun, benarkah tidak ada harapan untuk memutus rantai ini? Tentu ada. Harapan terletak pada pendidikan dan kesadaran kolektif. Jika generasi muda diajarkan tentang pentingnya integritas sejak dini, mungkin kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik. Namun, ini membutuhkan upaya besar dari semua pihak, termasuk pemerintah, sekolah, dan keluarga.

Penting juga untuk memperkuat penegakan hukum. Ketika pelaku korupsi dan pungli dihukum dengan tegas, pesan yang disampaikan adalah bahwa kejahatan tidak akan ditoleransi. Sayangnya, sering kali hukuman bagi koruptor terasa ringan, sehingga tidak memberikan efek jera yang signifikan.

Masyarakat juga memiliki peran besar dalam memberantas praktik ini. Jangan biarkan korupsi dan pungli menjadi bagian dari budaya. Ketika rakyat bersatu untuk menolak keduanya, tekanan sosial bisa menjadi kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan perubahan.

Namun, kita juga perlu realistis. Perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam. Sistem yang rusak selama puluhan tahun membutuhkan waktu dan upaya bersama untuk diperbaiki. Yang terpenting adalah tidak menyerah, meskipun tantangannya besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun