Catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan verbal yang sering dialami perempuan di ruang publik. Ini mencakup tindakan seperti bersiul, memanggil dengan julukan merendahkan, hingga melontarkan komentar seksual yang tidak diinginkan. Meski sering dianggap sepele oleh sebagian orang, catcalling sebenarnya adalah wujud nyata dari budaya toxic yang membahayakan keamanan dan kenyamanan perempuan.
Banyak yang tidak menyadari bahwa catcalling adalah bentuk pelecehan yang bisa menimbulkan dampak psikologis serius. Perempuan yang menjadi korban sering kali merasa terintimidasi, cemas, bahkan takut untuk keluar rumah. Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat yang aman berubah menjadi area yang penuh ancaman dan ketidaknyamanan.
Budaya ini tidak hanya merendahkan perempuan, tetapi juga menciptakan ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Ketika seseorang merasa berhak melontarkan komentar seksual tanpa izin, hal itu mencerminkan dominasi patriarki yang mengakar dalam masyarakat. Perempuan dipandang sebagai objek yang bisa dinilai dan dinikmati tanpa memedulikan hak atau perasaannya.
Ironisnya, banyak pelaku catcalling yang tidak menyadari kesalahannya. Mereka sering beralasan bahwa tindakan tersebut hanya bercanda atau bentuk pujian. Padahal, pujian yang tulus tidak akan disertai dengan nada intimidasi atau komentar yang menjurus seksual. Alasan ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan batasan privasi dan rasa hormat terhadap perempuan.
Dampak catcalling tidak hanya dirasakan secara individu, tetapi juga secara kolektif. Ketika tindakan ini dianggap wajar, masyarakat secara tidak langsung melegitimasi budaya pelecehan. Perempuan dipaksa untuk beradaptasi, seperti memilih pakaian tertentu atau menghindari lokasi tertentu, demi melindungi diri. Hal ini menguatkan gagasan bahwa tanggung jawab keamanan ada di pundak perempuan, bukan pelaku.
Lebih parahnya lagi, catcalling sering kali dianggap sebagai bagian dari budaya populer atau tradisi di beberapa tempat. Norma sosial yang membiarkan perilaku ini terus berkembang menjadi penghalang bagi terciptanya ruang publik yang setara dan aman. Jika tidak diatasi, hal ini dapat menormalkan pelecehan dalam skala yang lebih besar.
Untuk melawan budaya catcalling, diperlukan perubahan pola pikir yang dimulai dari edukasi. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, perlu diajarkan sejak dini tentang pentingnya menghormati orang lain dan memahami batasan privasi. Pendidikan tentang gender dan pelecehan harus menjadi bagian dari kurikulum untuk menciptakan generasi yang lebih sadar dan peduli.
Selain itu, hukum dan regulasi yang tegas juga memainkan peran penting. Negara perlu menghadirkan kebijakan yang melindungi perempuan dari segala bentuk pelecehan, termasuk catcalling. Penegakan hukum yang adil akan memberikan efek jera kepada pelaku dan menjadi langkah awal untuk menghapus budaya ini.
Namun, perubahan tidak hanya bisa bergantung pada hukum. Dukungan komunitas juga sangat dibutuhkan. Kampanye untuk melawan catcalling, baik di media sosial maupun di lapangan, bisa menjadi platform untuk meningkatkan kesadaran dan solidaritas. Semakin banyak orang yang berbicara tentang isu ini, semakin besar peluang untuk menciptakan perubahan.
Di sisi lain, perempuan perlu diberdayakan untuk melawan catcalling. Ini bisa dimulai dengan membekali mereka dengan keberanian untuk menegur pelaku atau melaporkan tindakan tersebut. Namun, tanggung jawab utama tetap ada pada masyarakat luas untuk menghentikan perilaku ini dari sumbernya.