Pernahkah Anda memperhatikan bahwa kebanyakan orang gila yang terlihat di jalanan adalah laki-laki? Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan cerminan dari berbagai faktor sosial, psikologis, dan biologis yang saling terkait. Meskipun masalah gangguan mental dapat dialami oleh siapa saja, ada alasan mengapa laki-laki lebih rentan untuk menjadi kelompok yang terlihat terabaikan dalam konteks ini.
Salah satu penyebab utama adalah ekspektasi sosial terhadap laki-laki. Dalam banyak budaya, laki-laki diharapkan menjadi sosok yang kuat, tangguh, dan tidak menunjukkan kelemahan, termasuk dalam hal emosional. Sayangnya, tekanan ini sering kali membuat mereka enggan untuk mencari bantuan ketika menghadapi masalah mental. Alih-alih mendapatkan perawatan, banyak dari mereka justru terjebak dalam lingkaran depresi yang semakin memburuk.
Tidak hanya itu, stigma terhadap kesehatan mental juga lebih berat bagi laki-laki. Ketika seorang pria mengakui bahwa dirinya sedang mengalami gangguan mental, ia sering dianggap lemah atau kurang mampu. Akibatnya, banyak dari mereka memilih untuk menyembunyikan masalahnya, hingga akhirnya kondisi tersebut berkembang menjadi gangguan yang lebih serius.
Selain tekanan sosial, faktor biologis juga memiliki peran. Penelitian menunjukkan bahwa hormon testosteron dapat memengaruhi cara seseorang merespons stres. Laki-laki cenderung memiliki respons yang lebih agresif atau destruktif ketika menghadapi tekanan. Hal ini dapat membuat mereka lebih rentan terhadap gangguan mental yang tidak terkelola dengan baik.
Faktor ekonomi juga tidak bisa diabaikan. Banyak laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga mengalami tekanan besar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketika mereka gagal memenuhi ekspektasi ini, perasaan tidak berharga dan frustrasi bisa memicu gangguan mental. Bagi sebagian orang, kegagalan ekonomi bahkan menjadi titik awal keterpurukan yang berujung pada kehilangan tempat tinggal dan hidup di jalanan.
Gaya hidup juga berperan dalam menjelaskan fenomena ini. Laki-laki cenderung lebih sering terlibat dalam kebiasaan yang merusak, seperti konsumsi alkohol berlebihan atau penggunaan narkoba, sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah. Sayangnya, kebiasaan ini justru memperburuk kondisi mental mereka dan dapat menyebabkan kerusakan permanen pada otak.
Kurangnya dukungan emosional juga menjadi alasan mengapa laki-laki lebih rentan terhadap gangguan mental yang tidak tertangani. Dalam banyak kasus, perempuan memiliki jaringan dukungan sosial yang lebih kuat, seperti teman-teman atau kelompok komunitas. Sebaliknya, laki-laki sering kali merasa sulit untuk berbicara secara terbuka tentang masalah mereka, sehingga mereka merasa sendirian dalam menghadapi beban hidup.
Di sisi lain, akses terhadap perawatan kesehatan mental juga menjadi kendala. Banyak laki-laki yang enggan atau tidak mampu mendapatkan bantuan profesional karena faktor biaya, stigma, atau kurangnya informasi. Hal ini menyebabkan gangguan mental mereka tidak pernah didiagnosis atau ditangani dengan benar.
Fenomena ini juga dapat dilihat dari sudut pandang budaya. Dalam beberapa masyarakat, laki-laki yang tidak produktif sering kali dianggap tidak berguna. Hal ini membuat mereka merasa tidak memiliki tempat dalam komunitas, yang akhirnya mendorong mereka untuk menarik diri dari kehidupan sosial dan jatuh dalam keterasingan.
Kondisi mental yang tidak tertangani sering kali membawa dampak fisik yang serius. Laki-laki yang hidup di jalanan sering kali kehilangan akses ke makanan bergizi, kebersihan, dan tempat tinggal yang layak. Kombinasi antara gangguan mental dan kondisi fisik yang buruk memperparah situasi mereka, hingga mereka sulit untuk kembali ke kehidupan normal.