Profesi guru selama ini dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang menjadi ujung tombak dalam mencerdaskan bangsa. Namun, di balik kemuliaan tugas mereka, ada realitas pahit yang semakin mencuat: banyak guru di Indonesia terjerat utang pinjaman online (pinjol). Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar---mengapa profesi yang seharusnya dihormati justru terjebak dalam lingkaran utang yang menghimpit?
Salah satu faktor utama yang memicu keterlibatan guru dalam utang pinjol adalah masalah penghasilan yang tidak sebanding dengan kebutuhan hidup. Gaji guru, terutama yang berstatus honorer, sering kali jauh dari layak. Ketika penghasilan bulanan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok atau mendukung pendidikan anak-anak mereka, pinjol menjadi solusi instan yang mudah diakses.
Kemudahan akses pinjol juga menjadi jebakan besar bagi para guru. Hanya dengan menggunakan ponsel dan data pribadi, mereka bisa mendapatkan pinjaman dalam hitungan menit. Sayangnya, di balik kemudahan itu tersembunyi bunga yang mencekik. Bagi guru yang tidak memiliki literasi keuangan memadai, jebakan ini sering kali tidak disadari hingga utang mereka membengkak di luar kendali.
Faktor lain yang memperparah situasi ini adalah kurangnya pengelolaan keuangan yang baik. Banyak guru tidak memiliki perencanaan keuangan yang matang, sehingga ketika ada kebutuhan mendadak seperti biaya kesehatan, perbaikan rumah, atau pendidikan, mereka terpaksa mencari solusi cepat seperti pinjol. Kondisi ini diperburuk oleh tekanan sosial yang sering kali memaksa mereka untuk memenuhi ekspektasi tertentu, seperti memiliki kendaraan atau gadget baru.
Tekanan pekerjaan juga memainkan peran penting. Guru sering kali dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang berat, mulai dari mengajar, administrasi, hingga pelatihan tambahan. Dalam kondisi mental yang lelah, mereka lebih rentan membuat keputusan keuangan yang impulsif, termasuk meminjam uang tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang.
Selain itu, ada juga faktor budaya di mana guru sering kali dianggap sebagai figur panutan di masyarakat. Mereka merasa harus menjaga citra tertentu, bahkan jika itu berarti mengambil utang untuk memenuhi ekspektasi lingkungan. Banyak guru yang terjebak dalam lingkaran ini, merasa malu untuk mengakui kesulitan finansial mereka dan akhirnya mencari jalan pintas melalui pinjol.
Sistem pinjol yang agresif dalam mempromosikan layanan mereka juga berkontribusi pada masalah ini. Dengan iklan yang menjanjikan solusi cepat tanpa syarat rumit, banyak guru tergoda untuk mencoba, tanpa memahami konsekuensi yang mereka hadapi. Bahkan, beberapa oknum pinjol ilegal menggunakan taktik intimidasi dan penyebaran data pribadi untuk menekan peminjam, membuat situasi semakin mencekam.
Tidak hanya itu, kurangnya pengawasan terhadap praktik pinjol, terutama yang ilegal, membuat para guru semakin rentan. Regulasi yang ada sering kali tidak mampu melindungi mereka dari bunga yang tidak wajar dan ancaman penagihan yang tidak manusiawi. Guru yang sudah terjebak merasa sulit keluar karena beban bunga yang terus menumpuk.
Masalah ini juga menunjukkan adanya celah besar dalam sistem kesejahteraan guru di Indonesia. Dengan tugas yang begitu penting dalam membangun generasi penerus, seharusnya para guru mendapatkan jaminan kesejahteraan yang lebih baik. Ketika kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi, risiko mereka terjerat pinjol akan terus meningkat.