Kebijakan baru di sektor pendidikan, yang dikenal dengan istilah RTG (Ruang Talenta Guru) tengah menjadi topik panas di kalangan tenaga pendidik. Kebijakan ini bertujuan memberikan peluang bagi pendaftar untuk memilih lokasi mengajar sesuai kebutuhan dan mengatasi kekurangan guru di daerah terpencil atau wilayah yang kurang diminati. Namun, meskipun tujuannya terlihat positif, banyak guru profesional menilai kebijakan ini membawa lebih banyak kekhawatiran dibandingkan manfaat yang nyata.
Fleksibilitas lokasi yang ditawarkan RTG memang menjadi daya tarik tersendiri, tetapi implementasinya menuai banyak kritik. Salah satu persyaratan dalam kebijakan ini adalah pendaftar harus aktif mengajar selama empat semester berturut-turut, tetapi dalam kasus tertentu aturan tersebut bisa saja diabaikan.Â
Contohnya terlihat dalam kasus Erlinda Alyanuari pada seleksi PPPK tahun 2024, di mana ia diterima meski tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini memicu perdebatan dan menimbulkan rasa tidak adil di kalangan guru yang telah mematuhi semua ketentuan.
Kasus seperti ini memunculkan keresahan di kalangan guru profesional yang merasa bahwa kebijakan ini tidak konsisten dan tidak adil. Mereka yang telah lama berjuang memenuhi syarat tersebut kini merasa pengorbanan mereka tidak dihargai. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini membuka celah bagi rekrutmen yang serampangan tanpa mempertimbangkan kualitas pengajar yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Banyak guru profesional menilai kebijakan ini justru mengancam kestabilan dunia pendidikan. Fokus pada solusi instan untuk mengisi kekosongan tenaga pengajar dianggap mengabaikan pentingnya pengalaman dan sertifikasi yang telah lama diperjuangkan oleh guru-guru senior. Mereka khawatir, jika kondisi ini terus dibiarkan, kualitas pendidikan akan semakin menurun.
Ketidakjelasan regulasi dan penerapan RTG semakin memperkeruh suasana. Minimnya transparansi dalam proses seleksi membuat banyak guru merasa tidak memiliki kesempatan untuk didengar. Kegelisahan ini semakin memuncak ketika kasus-kasus seperti yang dialami Erlinda Alyanuari mencuat ke publik. Para guru mulai mempertanyakan sejauh mana kebijakan ini benar-benar bertujuan untuk memperbaiki sistem pendidikan, atau hanya sekadar mengejar target angka.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa RTG memiliki potensi untuk mengatasi kekurangan guru di daerah terpencil. Namun, pelaksanaannya yang terburu-buru dan kurang matang menimbulkan lebih banyak masalah daripada solusi. Banyak pihak berharap pemerintah dapat memperbaiki mekanisme ini, agar tujuan awal dari kebijakan tersebut tidak kehilangan maknanya.
Para pengamat pendidikan turut memberikan kritik terhadap kebijakan ini. Mereka menilai bahwa pendidikan bukanlah sektor yang bisa diperlakukan seperti program eksperimen. Keputusan seperti ini seharusnya melibatkan lebih banyak dialog dengan para pemangku kepentingan, terutama guru profesional, agar setiap kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Kebijakan RTG memang memerlukan evaluasi mendalam. Proses pengambilan keputusan yang transparan dan partisipatif sangat dibutuhkan untuk menghindari keresahan lebih lanjut. Tanpa itu, kebijakan ini hanya akan memperparah konflik di dunia pendidikan, menciptakan ketidakpercayaan antara pemerintah dan tenaga pendidik.
Pemerintah diharapkan segera merespons keluhan dari para guru dan memperbaiki mekanisme RTG secara menyeluruh. Jika fleksibilitas lokasi pengajaran adalah salah satu tujuannya, maka kualitas pendidikan tetap harus menjadi prioritas utama. Tanpa perhatian terhadap kualitas, kebijakan ini dikhawatirkan justru akan menjadi bumerang bagi sistem pendidikan.
RTG seharusnya menjadi peluang untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia, tetapi langkah yang diambil harus lebih terencana dan adil. Kegelisahan para guru profesional ini adalah sinyal bahwa ada banyak hal yang perlu diperbaiki. Jika pemerintah tidak segera bertindak, kebijakan ini berpotensi meninggalkan dampak jangka panjang yang merugikan masa depan pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H