Di sebuah desa kecil di kaki bukit Mandalika, hiduplah sepasang suami istri yang sederhana. Mereka adalah Inaq Tegining dan Amaq Teganang, pasangan penggembala sapi yang terkenal ulet dan sabar. Setiap pagi, mereka menggiring sapi-sapi mereka ke padang rumput hijau di lereng bukit. Mereka hidup dari hasil jual susu dan anak sapi, cukup untuk makan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan sederhana mereka.
Namun, hidup mereka tidak sepenuhnya damai. Tetangga mereka, Bu Julaeha, terkenal sebagai orang yang suka bergosip dan selalu memandang rendah pekerjaan orang lain. Baginya, pekerjaan menggembala sapi adalah pekerjaan rendah yang tidak pantas dibanggakan.
"Orang seperti Inaq Tegining dan Amaq Teganang itu tidak punya ambisi. Hidup kok cuma menggembala sapi. Tidak malu apa sama tetangga?" ujar Bu Julaeha pada suatu pagi, kepada beberapa ibu-ibu di warung kopi.
Kabar tentang sindiran Bu Julaeha sampai ke telinga Inaq Tegining. Namun, ia hanya tersenyum tipis. "Biarkan saja, Amaq. Kita jalani hidup kita sendiri. Rezeki itu datang dari Allah, bukan dari omongan orang," katanya sambil melanjutkan pekerjaannya menganyam tali untuk sapi.
Beberapa bulan berlalu. Suatu hari, Amaq Teganang mendengar kabar bahwa desa mereka akan mengadakan lomba tahunan untuk mencari sapi terbaik. Hadiahnya besar: uang tunai, emas, dan pengakuan sebagai penggembala terbaik di desa. Amaq Teganang melihat ini sebagai kesempatan emas.
"Inaq, bagaimana kalau kita ikut lomba itu? Kita bawa si Leman," kata Amaq Teganang, menyebut salah satu sapi jantan mereka yang besar dan kuat.
Inaq Tegining setuju. Mereka mulai merawat si Leman dengan lebih telaten. Setiap pagi, Amaq Teganang memandikannya di sungai, sementara Inaq Tegining menyiapkan makanan terbaik untuk si Leman. Mereka juga melatih si Leman agar tetap tenang di hadapan keramaian.
Hari lomba pun tiba. Desa itu penuh dengan keramaian, dan hampir semua tetangga datang untuk menyaksikan. Bu Julaeha, yang sebelumnya mengejek, hanya melirik sinis ketika melihat Inaq Tegining dan Amaq Teganang datang membawa si Leman.
"Ah, sapi kampung seperti itu mana bisa menang," gumamnya.
Namun, hasilnya mengejutkan semua orang. Si Leman dinobatkan sebagai sapi terbaik di lomba itu. Tubuhnya yang besar, bulunya yang mengilap, dan kesigapannya membuat para juri kagum. Amaq Teganang dan Inaq Tegining menerima hadiah dengan senyum lebar di wajah mereka.
Bu Julaeha terdiam. Ia tak menyangka pasangan yang selama ini ia pandang rendah bisa membuktikan bahwa kerja keras dan ketulusan lebih berharga daripada sekadar kata-kata.
Sejak saat itu, Bu Julaeha berhenti bergosip tentang pasangan tersebut. Ia bahkan mulai belajar dari mereka untuk lebih menghargai pekerjaan sederhana, karena di baliknya tersimpan pelajaran hidup yang luar biasa.
Dan Inaq Tegining serta Amaq Teganang? Mereka terus menggembala sapi dengan damai, membuktikan bahwa kesabaran dan kerja keras selalu berbuah manis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H