Masalah terbesar bangsa adalah ketika massa digulingkan pada arena konflik politik. Massa dipecah belah pada domain kebenaran yang sudah disaring. Kebenaran yang sudah dibeli oleh mereka yang katanya pembawa kebenaran. Faktanya, saat ini tidak ada manusia yang hidup pada kebenaran tetap. Kebenaran sebagai ajang adu domba, bukan sebagai jalur kebaikan.
Karena kebenaran difungsikan sebagai fatwa untuk menuduh salah. Satu pihak mengatakan bahwa pihak lain salah, pihak lain mengatakan bahwa pihak-pihak tersebut salah, dan banyak pihak mengatakan tidak ada yang benar—salah semua. Lantas, seakan-akan kebenaran hanya pilihan ganda untuk menyalahkan pilihan lainnya.
Saya pun tidak tahu ada berapa banyak pilihan ganda kebenaran di dunia ini dan di Indonesia ini. Terlalu rumit untuk dipertanyaakan dan dinyatakan. Benar apa yang dikatakan oleh Heideger, “Kelahiran kita sudah terbeli oleh fakta-fakta”. Namun, fakta yang dimaksud oleh Heideger adalah fakta identitas sebagai manusia.
Anehnya, sekarang fakta itu sudah diputar balikan, silang sengkarut—tidak ada kesepakatan standar mengenai fakta benar. Hebatnya, fakta benar di zaman kita ini tidak hanya terbeli, melainkan sudah diborong oleh mereka yang punya kepentingan pada kekuasaan. Money Politik hal yang lumrah dalam pesta demokrasi kita, “demonstrasi” banyak yang membeli kepala manusia untuk menggerakan massa, dan sogokan uang pelicin agar lolos dari jeratan hukum.
Fakta memang sudah tidak bisa menjadi standar baik dan buruk. Masalahnya, fakta sudah termanipulasi oleh pemborong-pemborong kekuasaan, pemborong-pemborong kepentingan, dan pemborong-pemborong keadilan. Pertempuran bangsa zaman ini adalah pertempuran fakta. Pertempuran membangun opini, fakta opini yang baik akan dianggap baik, fakta opini yang buruk akan dianggap buruk.
Akhir-akhir ini muncul beberapa fakta yang bertentangan di negera tercinta kita ini (Indonesia). Fakta pertama diseretnya Ahok sebagai penista agama, dan fakta kedua kemenangan dari basis Islam Radikal yang sempat menguasai perpolotikan kita pada Aksi Bela Islam III, lanjutnya fakta ketiga ditangkapnya beberapa orang yang dituduh makar (menggulingkan pemerintahan sekarang), dan fakta yang terbaru adalah pembubaran KKR di Bandung, serta beberapa fakta-fakta mencengangkan lainnya. Apakah semua fakta itu nyata? Apakah semua fakta itu sesuai dengan kondisi lapangan? Walllahu ‘alam bishawab. Susah menebak fakta dalam kerangka duniawi ini.
Pada persepsi terbalik, Ahok dianggap sebagai penista/bukan penista, selanjutnya Aksi Bela Islam III dianggap damai/tidak damai secara sosial, dan seterusnya. Sebenarnya, yang membuat kisuh Negara ini adalah fakta opini yang dibangun oleh media, oleh orang-orang berkepentingan, dan oleh mafia-mafia berdasi.
Sekarang saya berani berkesimpulan, bagi Samuel P. Huntington bahwa dunia ini akan mengalami “benturan peradaban”; peperangan budaya, politik, agama, dan sebagainya. Dalam bahasa saya, dunia ini sedang berperang opini, satu sama lain saling mengunggulkan kebenarannya masing-masing. Sebagai bukti, ringan sekali orang mengatakan kafir terhadap orang lain, ringan sekali orang mengatakan masuk neraka terhadap orang lain, ringan sekali orang mengatakan halal darahnya terhadap orang lain.
Perang media sosial sebagai contoh paling konkret bahwa dunia informasi kita telah kacau. Tidak berhenti sampai di sini, perang media televisi, perang media cetak, perang media online, dan perang media chating, sungguh menggambarkan bahwa banyak pemborong yang sedang membeli fakta hidup kita, banyak pemborong yang ingin membeli opini kita—tujuannya, agar kita terseret pada kebenaran fakta menurut pemborong-pemborong tersebut. Lantas kita harus duduk dimana sebagai anak bangsa?
Pertanyaan yang memang susah untuk di jawab. Tetapi, sebaiknya kita harus kembali kepada fitrah kita sebagai manusia, fitrah kita yang sudah terlempar ke bangsa besar ini (Indonesia)—Bangsa yang menganut pada asas kebhinekaan, bangsa yang menganut pada asas Pancasila, dengan budayanya yang ramah lingkungan.
Kita sebagai anak bangsa harus kembali kepada nilai-nilai luhur kita. Sudah saatnya kita paham, bahwa kita sedang dipecah belah oleh kepentingan “pemborong”. Nilai budaya kita mulai digerus (dis-nilai), ketaatan terhadap hukum mulai luntur (dis-order), keharmonisan sirna (dis-harmonisasi), kesatuan luntur (dis-organisasi), kehancuran diambang pintu (dis-integrasi).
Jika kita tidak sadar akan hal ini, kita akan hancur lebur pada propaganda-propaganda “pemborong”. Mulai sekarang, sebagai anak bangsa berkewajiban untuk membangun ulang, berkewajiban untuk menata ulang (kesatuan yang sempat hilang, keramahan yang sempat ditiadakan, dan keselarasan yang sempat dipermainkan).
Indonesia sudah terlalu “kusut” dijadikan tontonan. Kebangkitan bukan lagi diawali dari revolusi, bukan lagi diawali dari reformasi, tapi kepahaman kita akan pemahaman, ketahuan kita akan pengetahuan, dan amal kita akan apa yang diamalkan. Siapa pun mereka, darimana pun mereka harus bisa membedakan, mana pemintaran dan pembodohan, mana ketulusan dan keserakahan, mana kebaikan dan kemunafikan, dan mana-mana yang lainnya. Pikiran dan pandangan bangsa ini tertutup oleh tabir-tabir kesenangan fakta, tapi tak melihat ujung dari lautan cinta, yaitu kesatuan untuk kedamaian.
Semoga bangsa kita menjadi pemenang, bukan mereka kaum kepentingan, semoga bangsa kita menjadi aman, bukan mereka kaum kerusuhan, semoga bangsa kita tetap sejahtera, bukan mereka kaum penjarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H