Oleh: Ikhsan Bawa AM
Teori psikoanalisis menggambarkan, kepribadian manusia terdiri atas tiga pilar; id, ego, dan superego, yakni unsur hewani, akali, dan moral (akhlak). Perilaku manusia menurut Freud merupakan interaksi dari ketiga pilar tersebut. Namun, Freud menegaskan—manusia adalah homo valens, yaitu makhluk yang berkeinginan dan tingkah lakunya dikendalikan oleh dorongan “alam bawah sadar”-nya. Kritik terhadap teori psikoanalisa Freud ini adalah yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang tidak merdeka. Karena manusia dalam teori ini menjadi tunduk pada keinginan “alam bawah sadar”-nya sendiri. Tentu, ini kesimpulan yang merendahkan martabat manusia.
Dalam pandangan Islam, kepribadian merupakan interaksi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, ‘aql, dan bashirahnya, atau interaksi antara jiwa, hati, akal, dan nuraninya. Kepribadian manusia awal mulanya hanya bersumber dari fitrah (bawaan lahir)—warisan genetika orang tuanya. Manusia terbentuk melalui proses panjang sejarah hidupnya, persilangan lingkungan, pengatahuan, agama, dan keluarga. Dalam perspektif ini, semua yang diterima dijadikan pengalaman—menginstal ke dalam sturuktur kepribadian seseorang/manusia. Akan tetapi, setiap pengalaman keagamaan dan pengetahuan tidak melulu dapat membangun karakter manusia yang unggul. Orang yang menguasai ilmu agama atau ilmu akhlak (sebagai ilmu), tidak otomatis memiliki kepribadian baik, karena kepribadian baik, bukan hanya ditentukan oleh aspek pengetahuannya. Melainkan, apakah manusia mampu memanusiakan manusia secara manusiawi.
Obsesi membangun karakter manusia dengan akhlak bisa melalui orang tua terhadap anaknya, guru terhadap anak didiknya, atau oleh seseorang yang memiliki perhatian khusus terhadap orang lain. Membangun karakter bukanlah pekerjaan yang sederhana. Ia membutuhkan situasi psikologi dan sugesti yang kondusif bagi internalisasi nilai. Infrastruktur psikologis yang harus disediakan bagi pembentukan insan yang berakhlak antara lain: Pertama, Pengetahuan tentang nilai, Kedua, lingkungan yang kondusif, Ketiga, adanya sosok panutan yang diidolakan (Tokoh Masyarakat, Ulama, atau orang terdekat yang bisa menjadi teladan baik), Keempat, adanya pembiasaan-pembiasaan positif, Kelima, pembiasaan tingkah laku yang sopan, Keenam, pembiasaan hidup bersih, tertib, dan rukun, dan Ketujuh, pembisaan sikap jujur dan disiplin. Melalui proses pembiasaan ini lah seseorang mampu membangun karakter manusia yang berakhlak—khususnya dalam hukum pergaulan sosial sehari-hari. Yang muda akan menghormati yang tua, dan yang tua akan menyayangi yang muda.
Jadi, pengetahuan tentang nilai akhlak besar pengaruhnya dalam membangun karakter kepribadian seseorang, apalagi dalam kondisi masyarakat kompleks seperti sekarang ini. Banyak kemajuan diberbagai bidang, tekhnologi, ekonomi, dan sebagainya—yang sejatinya menggerus nilai-nilai akhlak manusia, dan ini tidak disadari oleh kita. Manusia semakin amburadul dengan gaya hidupnya, manusia semakin tidak punya kontrol dalam melakukan suatu hal, dan manusia mudah menyepelakan orang lain (yang derajatnya lebih rendah). Kondisi sosial seperti ini jika terus dibiarkan akan membawa manusia pada gerbang perpecahan. Dengan demikian, kita sebagai manusia harus kembali kepada fitrah kita sebagai orang baik, orang yang berakhlak, dan berbudaya. Selain itu, kita fungsikan dan kendalikan setiap perangkat yang kita miliki, seperti; akal, nafsu, dan hati nurani.
Berkaca pada sejarah suksesnya dakwah Nabi Muhammad tidak terlepas dari peran akhlak yang dominan, kita semua pasti tahu—mengenai cerita Nabi diludahi, Nabi dilempari batu, Nabi menyuapi seorang buta walaupun Nabi Muhammad selalu dimaki-maki, dan Nabi selalu menghadapi siapapun dengan ramah. Bukankah Rasulullah sendiri telah bersabda, “Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Ini sebagai bukti, bahwasanya karakter manusia yang benar-benar berakhlak mulia akan menjadi sosok yang disegani. Semua kejadian-kejadian itu, akhirnya menjadi berubah karena Nabi menghadapinya dengan baik.
Poin penting membangun karakter manusia dengan akhlak adalah kontrol manusia terhadap nafsunya, agar manusia selalu mengarahkan nafsunya kepada hal-hal yang positif, agar manusia tidak serakah dan manusia punya filter terhadap mana yang baik dan mana yang buruk. Janji Allah dalam Al-Qur’an: "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)."(Q.S. An-Nazia'at 40- 41).
Selanjutnya mengeluarkan potensi hati nurani. Ini adalah simbol dari kebaikan manusia. Akan tetapi, kadang hati nurani menjadi tidak berfungsi, karena hati nurani manusia sering tertutup oleh virus-virus amal soleh, seperti; menghina orang, menggunjing, takabur, dan sebagainya. Sejatinya, potensi kebaikan ini lagilagi harus dijaga dan diarahkan kepada perilaku-perilaku baik, menolong orang lain, menjaga lisan, dan menjaga sikap. Firman Allah: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” (Q.S. Al-Ma’idah 2]
Yang terakhir ialah memfungsikan akal sesuai fungsinya. Ini adalah titik pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Akan tetapi, pembeda ini kadang menjadi berbahaya jika kita tidak hati-hati mengendalikannya. Apalagi di zaman yang serba ada ini, akal bisa saja menghancurkan sendi kehidupan melalui kemajuan tekhnologi dan ekonomi. Namun, akal menjadi hal mulia ketika digunakan sesuai tempatnya, ia akan menjadi promotor kreatif dalam kehidupan kita, ia bisa membuat segala sesuatu yang bermanfaat.
Yang pasti, Akhlak mulia harus menjadi sebuah perilaku, pilihan hidup, kepribadian, dan karakter yang dapat diperlihatkan dalam rutinitas hubungan sehari-hari. Implementasi akhlak mulia dimanapun akan memperkuat integritas pribadi, untuk memahami apa yang baik dan apa yang tidak baik dalam satu persepsi. Akhlak mulia selalu menjadi landasan yang kuat dalam membangun hubungan yang harmonis, dan juga menjadi kekuatan untuk membangun keyakinan dalam menyelesaikan konflik di manapun (tanpa nafsu amarah), dengan akal yang paling sehat dan paling jujur, sehingga setiap persoalan dapat diselesaikan melalui hati nurani yang paling bersih.
Dalam konsep akhlak tersebut sudah jelas, kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang terpenting, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat (kelompok). Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera rusaknya masyarakat, tergantung bagaimana akhlak penghuninya. Apabila akhlaknya baik, akan sejahteralah lahir-batinnya, akan tetapi apabila akhlaknya buruk, rusaklah lahir-batinnya. Ini adalah pilihan wajib kehidupan, apakah kita ingin menjadi orang baik atau tidak, yang pasti kebaikan sampai kapanpun tak akan pernah merugi. Dengan demikian, akhlak adalah gaya hidup masa kini dan masa yang akan datang.
Salah satu tulisan di buku "Catatan Telunjuk", Penulis: Ikhsan Bawa AM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H