Akhir April lalu, dunia sempat dikejutkan oleh tindakan Kim Jong-Un melintasi garis demarkasi militer 38 LU untuk bertemu dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-In. Padahal, biasanya Presiden Korsel-lah yang pergi ke Korea Utara (Korut) untuk bertemu dengan pemimpinnya. Dengan melakukan itu, Kim Jong-Un telah menjadi pemimpin Korut pertama yang menginjakkan kaki di tanah Korsel.
Pertemuan Moon-Kim berlangsung selama 12 jam. Pada awalnya pertemuan tersebut terlihat seperti pertunjukan pamer kedekatan Korut-Korsel. Moon dan Kim banyak berpelukan dan berbincang-bincang, seakan-akan pertemuan tersebut merupakan reuni dua sahabat yang sudah lama terpisah. Selama tahap awal pertemuan, belum jelas apa sebenarnya tujuan pertemuan tersebut.
Baru diakhir pertemuan tersebut Kim Jong-Un mengutarakan tujuannya repot-repot pergi ke Korsel, yaitu mengumumkan keinginan Korut untuk melakukan denuklirisasi. Pengumuman tersebut tentu saja dimaksudkan untuk meminta perhatian dunia internasional, khususnya Amerika Serikat (AS).
Maka tidak salah kalau kita menyebut pertemuan Moon-Kim sebagai sebuah batu loncatan untuk pertemuan yang lebih besar, yaitu Pertemuan Trump-Kim.
Ibarat gayung bersambut, tak lama kemudian Trump menyebut keinginannya bertemu Kim. Maka direncanakanlah Pertemuan Trump-Kim yang akan dilaksanakan di Singapura pada 12 Juni mendatang.
Respons Trump ini bisa dibilang menarik. Sebab, kedua pemimpin dunia ini acap kali bersitegang dalam beberapa kesempatan. Pernah Kim Jong-Un mengancam AS dan sekutunya dengan mengancam akan menekan tombo nuklir di mejanya untuk meluluh lantakkan Korsel dengan rudal nuklir. Trump merespons dengan mengatakan, "Aku (Trump) juga punya tombol (nuklir) di mejaku, dan punyaku lebih besar dari pada miliknya (Kim Jong-Un)".
Dalam perjalanannya rencana pertemuan Trump-Kim tidak lepas dari tantangan. Wakil Presiden Mike Pence, Penasihat Keamanan Nasional John Bolton, dan beberapa orang disekitar Trump menolak pertemuan tersebut. Bahkan dalam suatu kesempatan Pence menyebut Kim Jong-Un 'Bodoh' dan John Bolton menyatakan Korut harusnya diselesaikan seperti Libya.
Merasa tersinggung, pejabat Korut balas menyebut Pence sebagai 'Badut Politik'. Puncaknya adalah pemberitahuan dari The White House bahwa pertemuan Trump-Kim dibatalkan karena sikap permusuhan Korut, tapi Trump tetap menyimpan harapan untuk pertemuan di masa yang akan datang.
Melihat sikap Trump, Kim Jong-Un tidak berdiam diri begitu saja. Kim memutuskan untuk membebaskan 3 warga AS dan memerintahkan penghancuran lokasi uji coba nuklir Pyungge-ri, suatu tanda bahwa Korut serius menginginkan denuklirisasi. Terakhir, Kim Jong-Un mengirimkan penasihat terpercayanya, Kim Yong-Chol, untuk menyampaikan surat berukuran raksasa dari dirinya untuk Trump.
Setelah menerima surat itu, sikap Trump melunak. Trump bersedia bekerja sama dan mengumumkan kembalinya pertemuan Trump-Kim, di waktu dan tempat yang sama, dengan rincian tambahan di Pulau Sentosa, Singapura.
Akankah ada lagi yang menghalangangi pertemuan Trump-Kim? Mungkin saja, tapi rasanya pertemuan tersebut akan tetap berjalan.