Lantas, kita memandang satu sama lain. Saat sinar senja hadir menelusup dari kisi-kisi jendela. Dulu, aku ingat sekali. Saat senja mulai tergerai di sehamparan cakrawala. Kau selalu menyambutnya dengan begitu antusias. Bahkan puluhan puisi romantis tentang senja telah kau cipta dan tentu saja kau selalu merengek manja, memintaku untuk mendengarkan puisi-puisi yang kau baca.
Namun, kali ini senja terasa asing bagiku, tak ada binar di ceruk matamu, tak ada senyum di raut wajahmu. Mengapa ini bisa terjadi padamu? Bukankah dulu kau sangat mengagumi senja?
Hening, bahkan aku hampir tak menyadari, tiba-tiba saja dua cangkir espresso telah tersaji di atas meja.
"Bang, a-aku mengundang abang untuk datang besok lusa di acara pernikahanku," katamu yang terlihat sangat gugup.
Aku terperanjat tak percaya. Kucoba sekuat mungkin untuk tetap bersikap tenang. Meski ada sesak yang teramat sakit di dalam dada. Entah perasaan apa ini?
"Bagaimana bisa secepat itu?"
Kau tertunduk, menyeka air mata yang tak lagi mampu kau tahan. "Aku terpaksa dijodohkan dengan bos pengepul ikan di desa sebelah, karena abah sudah tak berdaya untuk membayar semua hutang-hutangnya."
Aku terdiam. Tak ada yang bisa kukatakan untuk merespon perkataanmu.
"Kau tahu, apa yang lebih menyakitkan? Aku mencintaimu, Bang."
Pikiranku semakin kalut kehilangan kata-kata.
***