Kurasa, kedai ini terlalu sesak untuk kita. Terlihat, ada banyak anak-anak resah yang bergelantungan di juntai rambutmu. Ada banyak keluh kesah yang bersembunyi di balik kemejamu. Dan ada banyak kisah yang membuntut di punggung sepimu.
Mengapa kau menabung air mata itu sendirian? Mengapa kau hanya menyajikan basa-basi dalam sepiring diksi. Tanpa sedikit pun remah-remah jujur yang sudi kau bagi? Bukankah kau mengajakku ke sini untuk berbagi rasa, barang secangkir air mata?
Katakan saja apa-apa yang sedang mengganggu pikiranmu. Tanpa basa-basi atau pun kode-kode yang penuh interpretasi ambigu. Sebab, aku tak selalu peka untuk menyigi ringkih sikapmu, aku tak selalu paham membaca inginmu, dan aku tak selalu bisa mengeja apa pun dari dirimu.
Seorang pelayan datang membuyarkan kediaman ini. Mungkin ia telah kesal dengan kita, karena sudah hampir satu jam kita duduk di sini. Tanpa sedikit pun kepastian, apa sebenarnya yang ingin kita pesan.
"Jadi, Tuan dan Nyonya mau pesan apa?" tanya pelayan itu lembut.
Kita kebingungan. Pelayan itu kemudian membuka buku menu yang sebenarnya belum kita lirik sama sekali.
"Ris ...." Aku hampir saja memesan Ristretto, tapi terpotong oleh jemarimu yang menunjuk satu nomor menu yang bertuliskan 'espresso'.
"Ya, kami pesan dua cangkir espresso," kataku.
"Tunggu sebentar ya, Tuan," pungkasnya yang kemudian berjalan mendekati barista yang terlihat sibuk dengan aksinya.
Aku mengangguk.
Mengalah? tidak, aku pikir setidaknya kita harus mempunyai kesamaan. Agar kecanggungan ini mencair seperti gula yang diaduk dalam cangkir.