Di sebuah gubuk di tengah sawah yang sudah mengering. Seorang kakek tua bernama Murdi duduk termenung melihat Bakri, kerbau kesayanganya.
"Ya, tahun ini aku harus berqurban," gumamnya sambil menyeka bulir bening yang hampir jatuh dari sudut matanya.
Bakri menghampiri kakek Murdi seolah ia tahu apa yang sedang tuannya rasakan.
"Hey ... untuk apa kau mendekatiku, ingin menghiburku heh? Percuma, kau tahu, kau sudah kudaftarkan jadi hewan qurban. Kenapa kau tidak lari saja? Pergi dari sini!" Kakek Murdi terlihat sangat kesal, matanya memerah, tapi berkaca-kaca.
Beberapa detik kemudian isak tangis terdengar. Semakin lama tangisnya semakin menjadi-jadi.
Kakek Murdi sadar betul bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi. Sedangkan amalnya belum mencukupi untuk bekal di akhirat nanti. Maka dari itu ia berkeinginan untuk berqurban tahun ini. Namun berat sekali rasanya menjadikan satu-satunya teman hidup yang paling ia sayangi sebagai hewan qurban.
Bagaimana tidak, selama ini Bakri lah yang selalu menemani di usia senjanya. Istri dan anak telah lama meninggal akibat dari tragedi gempa 10 tahun lalu. Sehingga Bakri lah tempat bercurah hati, tempat berkeluh kesah tentang pahit getirnya hidup dan kehidupan.
"Mungkin ini jalan terbaik untukku, semoga kau, Bakri, akan menjadi tungganganku kelak ketika meniti jembatan Sirathal Mustaqim," ucap kakek Murdi sambil mengelus-elus punggung Bakri yang juga tampak sekali sudah tidak muda lagi.
Sore menjelang. Mereka berdua masih asik bercengkrama. Seakan tidak mau menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Sebab hari ini adalah hari terakhir untuk mereka. Besok Bakri akan dibawa oleh panitia qurban menuju tempat penyembelihan.
Ketika matahari sudah hampir tenggelam. Barulah kakek Murdi beranjak dari tempat duduknya. Menuntun Bakri menuju kandang. Tak lupa pula ia memasukkan banyak sekali rumput benggala kesukaan Bakri ke dalam kandang. Sebagai tanda perpisahan sekaligus makanan terakhir darinya untuk Bakri.
***