Sengaja, kubuka kembali kitab-kitab kelam yang telah usang dimangsa zaman. Tentang semua kenangan yang tersimpan dalam perigi ingatan. Kutandai bab-bab yang dibubuhi luka berhias lara. Lalu, menjahitnya satu persatu, sebagai upaya untuk memaafkan masalalu. Hingga lembaran kertas baru terbuka, tanpa bayang-bayang kenangan yang kerap bersemayam di dalam tinta.
Sebagai prolog, kupulangkan terlebih dahulu anak-anak doa yang selama ini telah salah alamat, tersesat dalam rumah orang-orang yang tidak tepat. Menyimpannya pada kata harapan yang kutuliskan di halaman pertama dalam cerita baru yang kunamai historiografi cinta.
Dimulai pada fragmen senja kala hujan telah mereda. Saat bias pelangi menandai awal mula kisah-kisah penuh gelora. Setebar harap, sebanyak dekap yang kutitipkan pada tiap detailnya.
Di mana, tepat pada searah lengkungan pelangi di altar senja kala itu. Muncul seorang perempuan bergaun merah jambu dengan manik-manik yang berpendar menghiasi setiap lekuk indahnya.
Gadis pelangi, sebuah nama yang kusematkan padanya, sebagai pengenalan dini. Bahwa padanya, secercah harapan telah tertambatkan untuk bersama menyongsong masa depan.
Bersambung.
Angsana, 19 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H