Mohon tunggu...
Julak Ikhlas
Julak Ikhlas Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah dan Fiksi

Julak Anum - Menulis adalah katarsis dari segenap sunyi. IG: https://www.instagram.com/ikhlas017 | FB: https://web.facebook.com/ikhlas.elqasr | Youtube: https://www.youtube.com/c/ikhlaselqasr

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dalam Hening

11 Mei 2019   17:33 Diperbarui: 9 Juni 2019   20:11 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku rindu kamu, Mas. Tetaplah di sini, jangan pergi lagi!" bisiknya lirih.

Ami, perempuan paling keras kepala yang pernah kutemui itu menangis di hadapanku. Dia terus saja mengucapkan kalimat-kalimat rindu, lebih tepatnya meracau. Ingin sekali merespons, menyatakan bahwa aku pun sama, tapi apalah daya, aku tak bisa. Aku hanyalah ... ah, siapa aku? Bahkan aku tak mengenali diri sendiri.
 
Ini tahun ketiga sejak pertemuan yang tak disengaja. Pertemuan yang harusnya bisa kuhindari. Terpaut cinta dengan orang kaya dan terpandang itu sungguh sangat menyakitkan. Di satu sisi aku sangat ingin memiliki Ami seutuhnya, tapi di sisi lain keadaan tak berpihak sama sekali untuk terus melanjutkan kisah ini. Dari orang tua, hingga alam pun saat ini tak mau merestui. Bahkan hanya untuk mengucapkan sepatah rindu, aku tak bisa.

Dalam hening aku menangis menatap wajah sayunya. Ingatan yang menakutkan itu tiba-tiba kembali terproyeksi. Sebuah kejadian dua tahun lalu yang telah merenggut semuanya, semua harapan dengan jalan yang disepakati. Kami nekat pergi dari rumah masing-masing untuk kawin lari. Namun nahas, bus yang ditumpangi mengalami kecelakan. Hingga menewaskan semua orang termasuk aku dan hanya menyisakan Ami seorang diri.

Kini, seperti hari-hari biasanya. Di kamar yang tertata rapi dengan warna putih yang mendominasi ini, aku selalu di samping Ami. Selalu menemaninya meski dalam keterbatasan. Aku ingin Ami hidup seperti manusia biasa lagi. Tanpa belenggu khayalan yang tak nyata.

Aku benar-benar tak kuasa melihatnya tersiksa. Halusinasi yang tak berujung itu telah membuatnya menderita. Bagaimana tidak? ketika bayangan kesedihan menghantui ingatan, semua kulit termasuk wajah tak lepas dari cakaran kuku-kukunya. Kadang darah yang mengalir dari tubuhnya, dia tanggapi dengan gelak tawa yang bercampur dengan raungan paling sedih yang pernah ada.

Ami, sadarlah!

Angsana, 11 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun